Oleh: Umar Syarifudin (Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri)
KTT ASEAN-RUSIA di Sochi terbukti ampuh bagi Rusia, untuk mempertegas ekspansi politik dan ekonomi di Indonesia. Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan Chief Executive Officer (CEO) Rosneft, Igor Sechin, di Sochi, Rusia, Jumat (20/5) lalu, telah membuahkan sebuah kesepakatan penting. Raksasa minyak asal Rusia itu akan menjadi mitra PT Pertamina (Persero) untuk membangun kilang minyak di Tuban, Jawa Timur. Padahal, sebelumnya pemerintah disebut-sebut lebih condong kepada Saudi Aramco untuk menggarap proyek bernilai ratusan triliun rupiah tersebut.
Rosneft, memenangkan tender pembangunan kilang minyak di Tuban, dengan nilai investasi mencapai 13 miliar dollar AS, atau setara Rp 175,5 triliun. Rosneft meupakan perusahaan multinasional terbesar yang dimiliki oleh pemerintah Rusia dan menghasilkan berbagai macam produk perminyakan.Presiden Joko Widodo sepakat dengan pilihan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini M Soemarno, bahwa Rosneft yang akan bekerjasama dengan PT Pertamina (Persero) dalam pembangunan kilang Tuban. Menurut Rini, secara keseluruhan potensi ladang minyak milik Rusia mencapai 200 juta barel. Ia berharap dalam sehari setidaknya 35 ribu barel bisa diserap. Selain memiliki kapasitas produksi sebesar 320 ribu barel minyak per hari, kilang tersebut akan diintegrasikan dengan pabrik petrokimia.
Direktur Utama Pertamina Dwi Soetjipto mengatakan, Petamina akan mengumumkan Rosneft sebagai mitra investornya untuk membangun Kilang Tuban pada Kamis mendatang (26/5). Saat ini, Pertamina dan Rosneft masih bernegosiasi untuk memfinalisasi porsi kepemilikan saham masing-masing perusahaan di kilang tersebut.
Jauh sebelum ini, Arab Saudi melalui Vice President of International Operations Saudi Aramco Said Al-Hadrami mengakui, pihaknya telah mendapat tawaran dari Pertamina untuk membangun Kilang Tuban pada 2012 silam. Belakangan, rencana itu kandas karena pemerintah tidak bisa menyanggupi permintaan Saudi untuk memberikan insentif pembebasan lahan kilang tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, Dwi Soetjipto menyatakan, pemilihan Rosneft sebagai mitra membangun Kilang Tuban bukan berdasarkan satu aspek penilaian. Poin lainnya adalah perusahaan asal Rusia itu mampu memasok minyak untuk kebutuhan pengamanan energi di Indonesia.
Bahaya Investasi Asing
Para penganjur investasi asing berargumen bahwa sekali investasi asing masuk, maka hal itu akan menjadi batu alas bagi masuknya investasi lebih banyak lagi, yang selanjutnya menjadi tiang yang kokoh bagi pembangunan ekonomi keseluruhan. investasi asing sebenarnya adalah kedok baru bagi imperilisme di bidang ekonomi. Contoh dalam kasus Papua bisa kita saksikan kehidupan di kompleks Freeport tampak gemerlap, akan tetapi kontras dengan tingkat kemiskinan di Papua.
Dan investor asing, lebih dari investor lokal, sangat mudah merelokasikan investasinya ke tempat-tempat yang lebih menguntungkan dan menciptakan situasi ekonomi yang sangat fluktuatif (boom and bust economy). Studi jangka panjang yang dilakukan oleh Tanushree Mazumdar mengenai dampak investasi asing di India, menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara investasi asing dan pertumbuhan ekonomi.
Merupakan mitos bahwa investasi asing akan menciptakan perusahaan-perusahaan baru, memperluas pasar atau merangsang penelitian dan pengembangan teknologi ‘know-how’ lokal yang baru. Kenyataannya, investasi asing lebih tertarik untuk membeli perusahaan-perusahaan BUMN kategori untung/sehat dan kemudian memprivatisasinya atau membeli perusahaan-perusahaan swasta dalam kategori yang sama, dan menguasai pasar perusahaan tersebut. Sementara dalam soal teknologi, mereka hanya menjual atau menyewakan desain teknologi yang telah dibuat di ‘negara asal,’ yang jumlahnya mencapai lebih dari 80 persen.
Jadi, apa yang disebut alih teknologi itu adalah bagaimana cara-cara baru dalam menjual teknologi, bukan alih kemampuan riset dan desain teknologi. Dalam kasus Amerika Latin, sejak dekade 1980an, lebih dari setengah investor asing hanya membeli perusahaan-perusahaan yang ada, dengan harga di bawah nilai pasar. Setelah itu, alih-alih melengkapi kapital lokal atau kapital swasta domestik, investasi asing ini malah menyingkirkan (crowds-out) kapital lokal dan inisiatif publik, serta meremehkan kemunculan pusat-pusat penelitian lokal.
Dalam kaitannya dengan perluasan pasar, terdapat catatan yang beragam: dalam sektor dimana perusahaan publik butuh pendanaan, seperti telekomunikasi, pemilik asing baru mungkin akan memperluas pasar melalui penambahan jumlah pengguna jasa perusahaan tersebut. Tetapi dalam kasus lainnya, seperti air, listrik, dan transportasi, para pemilik baru ini malah mereduksi pasar, khususnya dari kalangan berpendapatan rendah melalui peningkatan ongkos di luar kemampuan daya beli konsumen tersebut.
Mitos berikutnya bahwa investasi asing akan meningkatkan daya saing industri ekspor, dan merangsang ekonomi lokal melalui pasar kedua (sektor keuangan) dan ketiga (sektor jasa/pelayanan). Faktanya, investor asing lebih tertarik membeli atau menginvestasikan uangnya ke sektor-sektor pertambagangan yang sangat menguntungkan dan kemudian mengekspornya dengan sedikit atau tanpa nilai tambah sama sekali.
Merupakan mitos pula bahwa investasi asing akan meningkatkan pajak pendapatan dan menambah pendapatan lokal/nasional, serta memperkuat nilai mata uang lokal untuk pembiayaan impor. Faktanya, investor asing terlibat dalam penipuan pajak, penipuan dalam pembelian perusahaan-perusahaan publik, dan praktek pencucian uang dalam skala besar.
Sebagai contoh, pada Mei 2005, pemerintah Venezuela mengumumkan bahwa terjadi penghindaran dan penipuan pajak sejumlah milyaran dollar yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan perminyakan asing, sejak mereka menandatangani kontrak pada dekade 1990an. Seluruh perusahaan minyak dan gas Rusia telah dikuasai oleh sebuah kelas baru oligarki, yang berasosiasi dengan para investor asing untuk menghindari pajak sebagaimana terbukti dalam pengadilan dua oligarkh, Platon Lebedev dan Mikhail Khodorkovsky. Keduanya menghindari membayar pajak sebesar US$29 milyar, dengan difasilitasi oleh bank-bank Amerika Serikat dan Eropa.
Sementara itu, dampak dari perusahaan-perusahaan multinasional ini pada keseimbangan neraca pembayaran untuk jangka panjang adalah negatif. Sebagai contoh, sebagai besar pabrik perakitan di zona ekspor mengimpor seluruh bahan-bahan masukan (input) mesin, desain dan ketrampilan, serta mengekspor produk jadi dan semi jadi. Akibatnya, terjadi ketidakseimbangan neraca perdagangan dimana biaya impor tergantung secara relatif terhadap nilai ekspor. Dalam banyak kasus, komponen-komponen impor yang dimasukkan dalam ekonomi lokal lebih besar ketimbang nilai tambah dalam zona ekspor. Selain itu, sebagian besar pendapatan dari platform ekspor dinikmati oleh kelas kapitalis, semenejak kunci sukses dari bisnis ini adalah upah murah.
Mitos palsu berikutnya bahwa sebagian besar negara-negara Dunia Ketiga tergantung pada investasi asing untuk menyediakan kebutuhan modal bagi pembangunan karena sumberdaya-sumberdaya lokal tidak tersedia atau tidak mencukupi. Temuan Petras dalam studinya berjudul Six Myths About the Benefits of Foreign Investment The Pretensions of Neoliberalism (2006), justru menunjukkan hal sebaliknya, dimana mayoritas investasi asing itu adalah investor asing yang meminjam tabungan nasional untuk membeli perusahaan-perusahaan lokal dan membiayai investasinya.
Investor asing dan MNCs (multinasional corporations) melindungi pinjaman luar negerinya melalui bantuan pemerintah lokal, atau secara langsung menerima pinjaman dari dana pensiun lokal dan perbankan. Laporan terkini tentang dana pensiun yang digunakan untuk membiayai MNCs lokal di Meksiko menunjukkan bahwa Banamex, bank swasta kedua terbesar di Meksiko (pada 2001 merger dengan Citigroup Inc), memperoleh jaminan pinjaman sebesar 28.9 milyar pesos (US$2.6 milyar), American Movil (Telcel) 13 milyar pesos (US$1.2 milyar), Ford Motor (untuk pinjaman jangka panjang) sebesar 9.556 milyar pesos) dan 1 milyar pesos (untuk pinjaman jangka pendek), General Motors (sektor keuangan) menerima sebesar 6.555 milyar pesos.
Fakta ini menunjukkan bahwa pinjaman yang dilakukan oleh investor asing untuk mengambilalih pasar lokal dan fasilitas-fasilitas produktif, telah menjadi praktek yang umum, menyanggah gagasan bahwa investor asing membawa ‘modal segar’ ke negara berkembang tersebut. Hal yang sama pentingnya, fakta itu juga membantah gagasan bahwa negara-negara Dunia Ketiga, ‘butuh’ investasi asing karena kelangkaan modal yang dimilikinya.
Yang sebenarnya terjadi, undangan pada investasi asing menyebabkan tabungan lokal dari investor swasta dan publik lokal menjadi terbatas pada peminjam lokal, sehingga memaksa mereka untuk melihat kreditor uang ‘informal’ dengan tingkat suku bunga yang mencekik. Akibatnya, ketimbang melengkapi keberadaan investor lokal, investasi asing justru bersaing untuk memperoleh tabungan lokal dari posisi istimewanya di pasar kredit. Dengan iming-iming jaminan aset (di luar negeri) yang besar dan pengaruh politik, mereka lebih mudah memperoleh jaminan pinjaman dari agen-agen pemberi pinjaman lokal.
Fakta penguasaan oleh asing atas kekayaan negeri ini, kontrol terhadap politik dan kebijakan negeri ini, dan ketergantungan terhadap asing membuat miris siapapun yang peduli dengan negeri ini dan penduduknya. Jika konstitusi mengamanatkan bahwa “tanah air dan segala isinya dikuasai oleh negara dan diguakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, fakta yang ada ternyata sangatlah jauh panggang dari api.
Liberalisasi Migas
Tingginya harga BBM dan gas di Indonesia, jika ditelusuri lebih dalam maka akan ditemukan akar masalahnya yakni amburadulnya kebijakan energi primer (BBM dan Gas) dan sekunder (PLN) di Indonesia.
Problem kelangkaan BBM diakibatkan oleh rusaknya sistem yang digunakan oleh pemerintah. Ujungnya adalah diterapkannya UU 22/2001 tentang Minyak dan Gasbumi yang sangat liberal. Pemerintah, melalui UU ini, lepas tanggung jawab dalam pengelolaan MIGAS.
Sebab dalam UU ini pemerintah pertama, membuka peluang pengelolaan Migas karena BUMN Migas Nasional di privatisasi. Kedua, pemerintah justru memberikan kewenangan kepada perusahaan asing maupun domistik melakukan eksplorasi dan eksploitasi minyak.
Perusahaan asing dan domestik dibiarkan menetapkan harga sendiri. Padahal, di Indonesia dengan 60 kontraktor Migas yang ada terkatagori kedalam 3 kelompok, (1) Super Major yang terdiri dari ExxonMobile, Total Fina Elf, BP Amoco Arco, dan Texaco ternyata menguasai cadangan minyak 70% dan gas 80% Indonesia. (2) Major yang terdiri dari Conoco, Repsol, Unocal, Santa Fe, Gulf, Premier, Lasmo, Inpex, dan Japex telah menguasai cadangan minyak 18% dan gas 15%. Dan (3) Perusahaan independen menguasai cadangan minyak 12% dan gas 5%. Tahun 2016 Rusia mulai menjajaki investasi, sebagai jembatan menuju dominasi politik dan ekonomi besar-besaran di Indonesia.
Walhasil, kita bisa melihat bahwa minyak dan gas bumi kita hampir 90% telah dikuasai oleh asing. Mereka semua adalah perusahaan multi nasional asing dan berwatak kapitalis tulen. Wajar jika negeri berlimpah ruah akan minyak dan gas ini ’meradang’ tatkala harga minyak mentah dan gas dunia naik. Semuanya dijual keluar negeri oleh perusahaan asing tersebut.
Dominasi asing dalam usahanya mengeruk dan menguras habis sumberdaya alam kita bukan disebabkan kinerja mereka sendiri, tetapi karena kekuasaan dan kewenangan besar yang dihambakan oleh pemerintah kepada mereka. Indonesia yang sebelumnya dikenal sebagai negara produsen minyak dunia dan merupakan anggota OPEC, telah menjadi negara pengimpor minyak, yang jumlahnya semakin meningkat setiap tahun. Kondisi ini semakin diperparah ketika Pemerintahan SBY yang baru naik pada waktu itu langsung membuat kebijakan menaikkan harga BBM sebesar 126% pada tahun 2005, dengan alasan untuk menyesuaikan terhadap harga minyak dunia.
Padahal minyak yang diimpor setiap tahunnya hanya sebesar 10 persen dari total kebutuhan BBM Indonesia, sedangkan 90 persen lagi, dapat dihasilkan dari bumi Indonesia sendiri. Semakin naiknya harga minyak dunia setiap tahun, membuat subsidi pemerintah terhadap harga BBM semakin besar.
Menuju Kedaulatan Energi
Kasus minyak Tuban masih dalam spektrum kuatnya dominasi asing terjadi di sektor migas. Meskipun pemerintahan telah berganti, harapan agar pengelolaan sektor migas dikelola secara maksimal oleh BUMN sangat tipis. Pertamina hingga saat ini tetap tidak mendapatkan prioritas dalam mengelola ladang-ladang minyak dan gas, baik pada blok-blok baru maupun pada blok-blok yang telah habis masa kontraknya.
Apa yang dialami oleh Pertamina juga terjadi pada BUMN lain seperti PT Bukit Asam dan PT Antam, PT Perkebunan Nusantara dan Perhutani. Meskipun mereka dituntut untuk menghasilkan laba besar dan menyetor deviden kepada Pemerintah, mereka tidak mendapatkan prioritas dan dukungan dalam berinvestasi. Pada saat yang sama, pemerintah yang baru, sebagaimana rezim-rezim sebelumnya, terus mengobral negara ini dengan memberikan kesempatan yang luas kepada investor asing untuk memanamkan modalnya termasuk menggarap sektor-sektor yang berbasis sumberdaya alam. Akibatnya, sektor-sektor tersebut kian didominasi oleh swasta termasuk asing. Semua ini terjadi lantaran negara telah menjadikan sistem kapitalisme sebagai basis dalam pengelolaan ekonomi.
Dalam pandangan Islam, minyak bumi dan gas merupakan sumberdaya alam yang melimpah sehingga masuk dalam kategori barang milik publik (al-milkiyyah al-‘ammah) yang pengelolaannya harus diserahkan kepada negara secara profesional dan tentu bebas korupsi agar seluruh hasilnya dikembalikan kepada publik. Mari kita stop kapitalisme,kita wujudkan tatanan yang pro rakyat yang hanya bisa terwujud dengan diterapkannya syariah Islam secara kaffah.