Fudhail bin ‘Iyadh lahir di Samarqand dan dibesarkan di Abu Warda, suatu tempat di daerah Khurasan, tahun 107 Hijrah. Ia hidup sezaman antara lain dengan Imam Malik, Sufyan bin Uyainah dan Abdullah bin al-Mubarak.
Fadhl bin Musa berkata, Fudhail bin ‘Iyadh dulunya adalah seorang penyamun (perampok) yang cukup ditakuti. Ia biasa merampok orang-orang di daerah antara Abu Warda dan Sirjis. Suatu saat ia pernah terpikat dengan seorang wanita. Saat ia memanjat tembok guna melaksanakan hasratnya terhadap wanita tersebut, tiba-tiba ia mendengar seseorang membaca ayat (yang artinya): “Belumkah datang waktunya bagi kaum beriman menundukkan hati mereka guna mengingat Allah (QS al-Hadid [57]: 16).
Tatkala mendengar itu, kontan tubuhnya bergetar. Ia lalu bergumam, “Rabb-ku, tentu telah tiba saatku (untuk bertobat).”
Lalu malam itu juga ia segera bergegas kembali. Namun, saat ia tengah berlindung dan bersembunyi di balik reruntuhan bangunan, tiba-tiba lewat sekelompok orang. Seseorang dari mereka berkata, “Kita jalan terus.” Yang lain menimpali, “Ya, kita jalan terus sampai pagi karena biasanya Fudhail menghadang kita di jalan ini.”
Mendengar itu, Fudhail bergumam, “Aku melakukan berbagai kejahatan pada malam hari hingga sebagian dari kaum Muslim takut kepadaku. Ya Allah, sungguh aku bertobat kepada-Mu.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 8/423).
Sejak itu Fudhail bin ‘Iyadh benar-benar bertobat. Ia berubah menjadi pribadi yang shalih, ahli ibadah, wara’ dan zuhud. Ia lalu menghabiskan banyak waktunya di Kufah sambil berguru kepada sejumlah ulama terkemuka. Ia kemudian hijrah dan menetap di Makkah sambil terus berguru ke sejumlah ulama besar di sana. Pada akhirnya, Fudhail bin ‘Iyadh menjelma menjadi seorang ulama terkemuka, ahli fikih dan ahli hadis. Fudhail bin ‘lyadh adalah seorang cerdas, kuat hapalannya dan wara’. Tiga sifat ini merupakan modal utama seorang ahli hadis. Ia paham betul sabda Rasulullah saw., “Siapa saja yang berdusta atas namaku secara sengaja, bersiap-siaplah menempati tempatnya di neraka.” (HR al-Bukhari).
Karena itu tidak aneh jika menurut Sufyan bin Uyainah, “Fudhail adalah orang yang tsiqah (terpercaya).”
Imam an-Nawawi pun berkomentar, “Hadis-hadis yang diriwayatkan Fudhail itu sahih.”
Fudhail bin ‘Iyadh pun dikenal karena ketekunan dan kekhusukannya dalam beribadah hingga dijuluki ‘Abid al-Haramayn (Ahli Ibadah Makkah dan Madinah).
Jika malam mulai datang, Fudhail bin ‘Iyadh biasa menggelar sejadahnya untuk menunaikan qiyâmul-layl. Ia terus dalam keadaan shalat hingga rasa kantuknya datang tak tertahankan. Ia pun berbaring sebentar, untuk kemudian kembali shalat. Saat kembali kantuknya datang tak tertahankan, ia kembali berbaring sebentar. Kemudian ia pun kembali bangkit untuk shalat. Begitu seterusnya hingga datang waktu subuh.
Terkait shalat malam ini, Fudhail pernah berkata, “Jika kamu merasa begitu berat untuk menunaikan qiyâmul-layl dan berpuasa di siang hari, ketahuilah, sesungguhnya dirimu telah terbelenggu oleh dosa dan maksiat yang kamu perbuat.”
Fudhail bin ‘Iyadh pun dikenal karena kewaraan dan kezuhudannya. Ia mencukupkan nafkah untuk dirinya dan keluarganya dari hasil mengurus air di Makkah yang tak seberapa hasilnya. Meski hidup pas-pasan, ia menolak segala bentuk pemberian dan hadiah dari Khalifah ataupun para pejabatnya. Ia, misalnya, pernah menolak pemberian uang sebesar 1000 dinar (sekitar Rp 2 miliar) dari Khalifah Harun ar-Rasyid.
Wajah Fudhail pun sering tampak seperti bekas menangis karena kesedihan dan rasa takutnya kepada Allah SWT. Tentang ini Ishaq bin Ibrahim ath-Thabari pernah menuturkan. “Aku belum pernah melihat seseorang yang lebih memperlihatkan rasa takutnya kepada Allah SWT selain Fudhail. Saat ia membaca al-Quran, kitab itu ia baca dengan lembut, syahdu dan begitu menyentuh hati; seolah ia sedang berbicara dengan seseorang.”
Fudhail bin Iyadh banyak memberikan nasihat bijak dan bernas. Tentang ikhlas, misalnya, Fudhail bin ‘Iyadh berkata, “Meninggalkan amal shalih karena manusia adalah riya. Beramal shalih karena manusia adalah syirik. Ikhlas adalah keterbebasan dari keduanya.” (An-Nawawi, Al-Adzkâr, hlm. 7).
Tentang tawaduk, Fudhail berkata, “Tawaduk itu engkau tunduk dan patuh pada kebenaran, dari mana pun datangnya.”
Tentang bagaimana wujud sabar dalam menghadapi musibah, Fudhail berkata, “Dengan tidak menceritakannya.” (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’, 8/91).
Adapun tentang iman yang sempurna, Fudhail berkata, “Seorang hamba tidak akan menggapai hakikat iman kecuali setelah menganggap musibah sebagai nikmat dan nikmat sebagai musibah (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliya’, 8/94).
Seseorang pernah berkunjung kepada Fudhail untuk meminta nasihat. Ia pun berkata, “Kosongkan hatimu dari yang lain kecuali rasa takut dan tangismu kepada Allah SWT. Jika keduanya sudah bersarang di hatimu, takut dan tangis itu akan membentengi kamu dari melakukan maksiat dan menjauhkan dirimu dari api neraka.”
Ia pun pernah berkata, “Manusia yang paling dekat dengan Allah adalah yang paling takut kepada-Nya. Manusia tidak akan sempurna hingga agamanya mampu mengalahkan nafsunya. Manusia tidak akan binasa hingga nafsunya mengalahkan agamanya.” (Syaikh Ahmad Farid, Min A’lam as-Salaf).
Fudhail bin ‘Iyadh termasuk ulama yang berusaha menjauhi para penguasa. Terkait sikapnya ini ia pernah berkata, “Seseorang mendekati bangkai yang berbau busuk jauh lebih baik daripada mendekati para penguasa.”
Namun demikian, terkait para penguasa pula, Fudhail pernah berkata, “Jika aku punya doa mustajab, doa itu akan kupakai untuk mendoakan penguasa.” Orang-orang bertanya, “Mengapa begitu, wahai Abu Ali?” Jawab Fudhail, “Jika doa mustajab tersebut kupakai untuk diriku sendiri, aku tidak akan mendapatkan balasan. Namun, jika kupakai untuk mendoakan penguasa maka baiknya penguasa akan berdampak baik bagi rakyat dan negeri.” (Abu Nu’aim, Hilyah al-Awliyâ’, 8/91).
Fudhail bin ‘Iyadh wafat pada tahun 187 H dalam usia 80 tahun (Lihat: Ibn Asakir, Târîkh Dimasyqi, 32/450; Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 7/386; as-Subki, Thabaqât asy-Syâfi’iyah, 1/287). [Arief B. Iskandar]