Irfan Abu Naveed (LTS DPD II HTI Kab. Sukabumi)
Hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, tibalah saatnya kembali berjumpa dengan Ramadhan Syahr al-Mubarak, keberkahannya terkumpul dalam hikmah shaum itu sendiri yakni takwa, dimana Allah SWT berfirman didalamnya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman difardhukan atas kalian shaum sebagaimana telah difardhukan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Ayat yang agung ini jelas menyeru orang-orang beriman untuk menunaikan ibadah shaum yang merupakan salah satu amal shalih, ini mengandung isyarat yang agung dari konsekuensi keimanan yakni beramal shalih, yang menggambarkan konsep penyatuan iman dan amal shalih yang tak terpisahkan satu sama lain, pemahaman ini sebagaimana digambarkan dalam QS. Al-‘Ashr, dimana iman dan amal shalih dihubungkan dengan wâw al-‘athf yang menunjukkan penyatuan (لمطلق الجمع) sebagaimana ditegaskan oleh para ulama ahli bahasa[1], ushul dan fikih. Atau dengan kata lain mengandung konsep penyatuan akidah dan syari’ah. Itu pula yang tergambar dalam hadits dari Abu Hurairah r.a.:
«مَنْ صَامَ رَمَضَانَ، إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ»
“Siapa saja yang shaum Ramadhan, berdasarkan keimanan dan mencari keridhaan Allah, diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. Al-Bukhari, Ahmad)
Penegakkan akidah dan syari’ah ini dalam kehidupan merupakan gambaran ketakwaan yang menjadi hikmah dari menegakkan shaum yang dilandasi keimanan. Takwa itu sendiri digambarkan sebagian sahabat:
الخوف من الجليل والعمل بالتنزيل والاستعداد ليوم الرحيل
“Rasa takut terhadap al-Jalîl (Allah Yang Maha Mulia), beramal dengan al-Tanzîl (al-Qur’an al-Karîm) dan mempersiapkan diri untuk Yawm al-Rahîl (akhirat).”
Rasa takut terhadap siksa Allah diwujudkan dalam keta’atan demi mengharap keridhaan-Nya, namun keta’atan tak mungkin terwujud kecuali dengan menunaikan apa yang Allah perintahkan dan menjauhi apa yang Allah larang, dimana itu semua hakikatnya merupakan bekal untuk menapaki Hari Perjumpaan. Yang terwujud dengan menerapkan al-Qur’an dan al-Sunnah dalam kehidupan. Dan luar biasanya, al-Qur’an diturunkan pertama kali di Bulan Ramadhan dengan gambaran yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Inilah al-Qur’an yang Allah gambarkan, pertanyaannya sudah sejauhmana al-Qur’an dan al-Sunnah itu sendiri diterapkan dalam kehidupan?!
[1] ‘Ali bin Abi ‘Ali al-Amidi, Al-Ihkâm fii Ushûl al-Ahkâm, Beirut: Dâr al-Kitâb al-‘Arabi, cet. I, 1404 H, juz I, hlm. 96.