Oleh: Mahfud Abdullah – Syabab HTI Kota Kediri (Pengamat Media)
“Terhadap negeri-negeri Islam, Agenda Pers Amerika melalui berbagai media direalisasikan dalam banyak bentuk, termasuk program-program deradikalisasi yang merasuk dan menyasar kaum muslim, sekularisasi konten berita, promosi besar-besaran industri periklanan, dan hiburan yang mengagung-agungkan gaya hidup liberal yang mengikis nilai-nilai Islam.” Ujar Umar Syarifudin, politisi HTI asal Kediri.
Sebuah fakta terkini, bahwa sebagian besar warga Amerika tidak percaya pada media berita AS karena persepsi ketidakakuratan, bias dan ketidakadilan, menurut sebuah survei baru, yang menempatkan industri berita di negara itu sama dengan Kongres dan jauh di bawah pandangan publik terhadap lembaga-lembaga lain.
Hanya 6 persen orang dari mereka yang mengatakan mereka percaya media, menurut sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research and the Amerika Press Institute, yang bermitra dengan Media Insight Project.
Menurut jajak pendapat itu, menghadapi semakin meningkatnya sumber informasi, Amerika juga lebih cenderung mengandalkan berita yang up-to-date, ringkas dan dengan mengutip nara sumber ahli atau dokumen.
Sekitar 4 dari 10 orang mengatakan mereka dapat mengingat kejadian tertentu yang bisa mengikis kepercayaan mereka pada media, yang paling sering terkait dengan akurasi atau persepsi bahwa berita tersebut adalah hanya dari satu sisi, menurut penelitian tersebut. Sekitar 6 dari 10 orang Amerika menonton, membaca, atau mendengar berita beberapa kali sehari, dari komputer, ponsel dan tablet sehingga membuat lebih mudah bagi orang untuk mengikuti berita yang diinginkan.
Sebagian besar orang mendapatkan berita dari media sosial seperti Facebook dan Twitter. Namun hanya 12 persen dari mereka yang menggunakan Facebook mengatakan mereka sangat percaya pada berita dan informasi yang mereka lihat di situs-situs.
Media berita AS telah mengalami serangkaian blunder pada berita-berita berprofil tinggi mulai dari berita putusan Mahkamah Agung tahun 2012 tentang UU jaminan kesehatan Presiden Barack Obama hingga pemboman di Boston Marathon yang telah membantu memberikan persepsi negatif terhadap media. (presstv.com, 18/4/2016)
Tahun 1985 baru diakui adanya Hari Pers Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden No. 5/1985. Tapi, kita ketahui perkembangan Pers di Indonesia sudah ada semenjak awal abad 20 yang digagas oleh kaum intelektual yang menjadikan Pers sebagai ranah atau alat perjuangan rakyat. Namun mengapa 9 Februari 1985 ini baru diresmikan sebagai Hari Pers Nasional?
Ini tidak terlepas dari pergeseran politik ke arah demokrasi ala orba yang otoriter yang sepenuhnya mengadi kepada imperialisme AS serta merepresentatifkan kepentingan kapitalis. Maka perjuangan Pers dimana akan hidup berdampingan dengan pengungkapan kebenaran, akan bertentangan dengan rejim Soeharto yang memberangus nilai-nilai dan merampas hak rakyat itu sendiri. Ini juga yang kemudian menjadikan perkembangan Pers di Indonesia mengalami stagnasi. Bagaimana tidak, berita-berita yang disuguhkan oleh jurnalis ataupun wartawan terhadap masyarakat harus melalui lembaga sensor negara di bawah kementerian Penerangan. Maka saat itu berkembang frasa, “Menurut Petunjuk Bapak (Harmoko)”. Sementara berita-beritanya harus mendukung pemerintahan Soeharto dan tidak bisa melakukan protes ataupun mengkritik.
Kemudian jatuhnya rejim Soeharto yang ditandai dengan gerakan reformasi 1998, setidaknya ini memberi angin segar atas perkembangan demokrasi yang diraih rakyat. Kebebasan Pers juga mengalami perkembangan sedemikian rupa. Pers mulai memuat berita-berita yang berisikan kehidupan masyarakat dan juga kritikan terhadap pemerintahan. Akan tetapi, kebebasan dalam berekspresi yang dimiliki Pers juga sesungguhnya masih tetap terbatas. Tentu ini disebabkan bagaimana sepenuhnya Pers masih dibelenggu kepentingan kekuasaan “Negara” itu sendiri.
Pers bahkan berkembang menjadi Bisnis yang mengiurkan yang memberi keuntungan besar. Maka tak ayal, melihat sejumlah Pers di Indonesia saat ini dikuasai oleh pengusaha-pengusaha besar. Artinya perkembangan Pers saai ini tetap mengalami persoalan untuk menjalankan tugasnya dalam menyajikan berita-berita guna memberikan pendidikan dan kesadaraan maju bagi masyarakat. Pers masih dikontrol penuh oleh Negara dan pemilik-pemilik modal yang berorientasi untuk menguasai politik dan ekonomi.
Tantangan kini, pekerja-pekerja Pers harus mampu mendidik massa, oleh sebab itu pers akan selalu dikaitkan menjadi instrumen edukasi terhadap umat. Pekerja Pers harus mampu menjelaskan kepada masyarakat di surat-surat kabar, di media elektronik, apa yang menjadi akar persoalan masyarakat dan apa jalan keluarnya. Pers sekali-sekali harus mampu membantah mitos Orba “Pers milik penguasa”, dan mengembalikan roh yakni “Pers membela kebenaran”.
Pers akan berguna, apabila mampu menginformasikan sebuah kebenaran kepada masyarakat. Bersandar pada banyak orang, dan membantu banyak orang untuk sadar dan mau bergerak untuk maju. Tugas sejatinya Pers yaitu, membangkitkan dan menggerakkan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Pers harus mampu mendompleng pemikiran masyarakat yang masih dibelenggu dari keterbelakangan dan kemiskinan akibat sistem demokrasi yang menindas.
Pekerja-pekerja Pers adalah berasal dari kaum intelektual. Maka sebagaimana tanggung jawab kaum intelektual yang bekerja di ruang-ruang Pers, sudah saatnya menyuguhkan kebenaran tanpa takut terhadap intervensi ‘penguasa dan pengusaha’. Sehingga Pers bukan menjadi semata-mata menjadi mainan penguasa atau mainan pebisnis untuk meraup keuntungan saja.[]