Oleh: Umar Syarifudin – Syabab HTI (Praktisi Politik)
Mahkamah Agung Amerika Serikat, Jumat (26/02), memutuskan bahwa pasangan sejenis di seluruh negara bagian kini memiliki hak untuk menikah. Keputusan ini dianggap monumental dan mendapat reaksi besar di media sosial. Mungkin menjadi hari yang bersejarah buat kaum LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender), pasalnya pada hari itu, putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat (AS) diyakini dapat mempengaruhi keputusan banyak negara untuk ikut membuat keputusan serupa. Saat ini pernikahan gay sah di 13 negara bagian Amerika Serikat: Connecticut, Iowa, Massachussets, Oregon, New Hampshire, New York, New Jersey, Vermont, Maryland, Hawaii, Maine, serta bersama dengan ibu kota Washington DC.
Seperti yang kita tahu, sebelum Amerika membuat keputusan yang menggemparkan warga dunia, sebenarnya keputusan melegalkan pernikahan sejenis sudah ada sejak 2001 dengan negara Belanda yang menjadi negara pelopor pelegalan pernikahan sejenis. Tercatat telah ada 22 negara dari 204 negara yang telah diakui secara de facto oleh PBB yang melegalkan pernikahan sesama jenis secara penuh di seluruh wilayah negaranya (Freedom to Marry Organization, 2014).
Penembakan yang menewaskan 50 orang disebuah kelab gay di Orlando, Florida, Amerika Serikat disebut-sebut sebagai pembantaian paling mengerikan dalam sejarah Amerika Serikat. Teror ini pun dikhawatirkan bisa ditiru dan terjadi di pusat-pusat lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) di negara-negara Barat lainnya.
Terompet kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) semakin nyaring terdengar. siapa lagi yang meniupnya kalau bukan kelompok liberalis. Di antara tema liberalisme, isu LGBT termasuk hardcore sehingga cukup sering dilempar ke publik. Lengkingan kencang terompet kaum LGBT tidak berhembus sendiri, tetapi didukung oleh kekuatan di belakang yang meniupnya. Kekuatan ini bukan datang dari arus lokal, tetapi dunia internasional. Sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat, termasuk PBB, sudah menjadi penyokong kaum Sodom ini.
Bereaksi atas insiden tersebut, ribuan orang berpawai di sepanjang jalanan Los Angeles, Amerika Serikat (AS), dalam sebuah acara parade Gay Pride, Minggu (12/6/2016). Acara berlangsung beberapa jam setelah terjadinya penembakan massal di sebuah klub LGBT di Orlando, Florida. Parade tetap digelar sebagai bentuk perlawanan terhadap aksi teror dan kebencian terhadap LGBT.
Tinjauan Historis
Istilah LGBT merupakan kepanjangan dari Lesbian Gay Bisexual dan Transgender, istilah ini digunakan sejak dekade 90-an (Gunderloy, 1989). Gerakan ini mulai mengemuka secara luas pasca Perang Dunia II dibuktikan dengan munculnya kelompok advokasi yang mendukung hubungan gay dan lesbian. Di tahun 1951, Donald Webster Cory mempublikasikan The Homosexual in America (Cory, 1951), menuntut bahwa gay dan lesbian merupakan kelompok yang diakui, dan di 1953, Dr. Evelyn Hooker mendapatkan dana dari National Institute of Mental Health (NIMH) untuk mempelajari gay. Kemudian, di tahun 1973 American Psychiatric Association menghapuskan prilaku homoseksual sebagai penyakit mental (American Psycological Association).
Pada tahun 1975 untuk pertama kalinya negara bagian di Amerika Serikat, California melegalkan homeseksual dengang dikeluarkanya Consenting Adult Sex Bill. Australia Selatan menjadi negara bagian pertama di Australia yang melegalkan perilaku homoseksual dan Panama merupakan negara kedua di dunia yang mengizinkan penduduknya untuk melakukan oprasi pergantian kelamin dan bisa mendapatkan dokumen yang sah dengan kelamin barunya tersebut. Memasuki abad ke 21 golongan LGBT menikmati kemenangan besarnya, pasalnya pada era ini banyaka negara-negara mengakui haknya, seperti Belanda, Denmark, China, Afrika Selatan, Puerto Rico, England, Andorra, New Zealand, dan lain-lain.
Di tahun 2015, tepatnya hari sabtu 26 Juni, Mahkama Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa pernikahan sejenis dijamin oleh Konstitusi Amerika Serikat dan golongan homoseksual yang menikah akan dilindungi oleh hukum. Itu artinya, pemerintah negara bagian dilarang menghalangi pernikahan sesama jenis, dengan demikian golongan homoseksual bisa menikah secara sah di seluruh negara bagian Amerika Serikat (Merdeka.com, 2015). Hal ini menandai kemenangan besar bagi golongan LGBT di Amerika Serikat.
Cikal bakal organisasi dan avokasi LGBT di Indonesia sudah berdiri lama, salah satunya adalah Hiwad (Himpunan Wadam Djakarta), Wadam merupakan istilah pengganti dari banci dan bencong, yaitu wanita Adam. Namun organisasi ini kemudian diprotes oleh MUI. Kemudian pada 1982, pelaku homo mendirikan Lambda Indonesia. Empat tahun kemudian pada 1986 muncul Perlesir, Persatuan Lesbian Indonesia dan Pokja GAYa Nusantara, kelompok kerja Lesbian dan Gay Nusantara. Kemudian pada era 1990-an banyak organisasi yang berdiri dan berkedok pada emansipasi wanita.
Mereka juga mendirikan media sebagai publikasi dan wadah komunikasi antar LGBT. Mereka bergerak dengan organisasi sekutu mereka seperti organisasi feminis (namun tidak semuanya) organisasi kesehatan dan seksual, organisasi layanan HIV dan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia. Kongres Lesbi dan Gay (KLG) juga diadakan oleh mereka setiap 2 tahun sekali semenjak tahun 1993 di tiga tempat besar yakni Jogja, Bandung dan Bali. Salah satu acara besar mereka adalah September Ceria yang merupakan pesta massif pelaku LGBT yang digelar malam minggu pertama pada bulan September.
Setelah reformasi, pada tahun 1998 dengan diamandemennya UUD 1945 organisasi-organisasi LGBT semakin meluas dibuktikan pula dengan adanya keikutsertaan perwakilan dari kaum lesbian, wanita biseksual, dan pria transgender (LBT) yang diundang secara resmi dalam Kongres Perempuan Indonesia. Mereka juga menggunakan pendekatan berbasis HAM yang kemudian membuka peluang kerjasama lebih lanjut dengan organisasi HAM arus utama. Dan enam organisasi LGBT yang berkantor pusat di Jakarta, Surabaya dan Yogyakarta bergabung untuk memperkuat gerakan ini, yang kemudian menjadi awal terbentuknya Forum LGBTIQ (Lesbian Gay Bisexual Transgender Intersex dan Queer) Indonesia. Persatuan tersebut dibentuk pada Januari 2008 pada Konferensi International Lesbian Gay Bisexual Trans dan Intersex Association (ILGA) tingkat Asia yang ke-3 di Chiang Mai, Thailand.
Dalam laporan nasional LGBT, di laman 64 tertulis: “Ada sejumlah Negara Uni Eropa yang mendanai program jangka pendek, terutama dalam kaian dengan hak asasi manusia LGBT. Pendanaan yang paling luas dan sistematis telah disediakan oleh Hivos, sebuah organisasi Belanda. Dimulai tahun 2003 pendanaan ini kadang-kadang bersumber dari pemerintaha negeri Belanda. Kemudian, Ford Foundation bergabung dengan Hivos dalam penyediaan sumber dana organisasi-organisasi LGBT. Kedua badan penyandang dana yang terakhir disebut diatas, mengarahkan pengunaan dananya pada advokasi LGBT dan hak asasi manusia dari pada penanggulangan HIV sebagaimana focus tradisional pemberi dana lainnya.” (Republika.co.id, 2016).
Common Enemy
Sepanjang sejarah peradabannya, kaum Muslim menghadapi banyak tantangan. Namun, belum pernah mereka menghadapi tantangan yang lebih serius daripada tantangan Peradaban Barat. Peradaban Barat terbukti menimbulkan bencana besar bagi umat manusia, tak hanya bagi kaum Muslim
Perilaku golongan LGBT dalam berhubungan seksual ialah unproductable atau tak dapat menghasilkan generasi selanjutnya. Jika prilaku ini banyak dijalankan oleh orang maka lambat laun eksistensi manusia akan terancam. Selain itu, menurut Ann P. Haas, dkk dalam Journal of Homosexuality menyebutkan bahwa kecenderungan bunuh diri semakin tinggi pada populasi LGBT. Hal tersebut praktis mengancam eksistensi manusia itu sendiri. Selain itu, STIs atau Sexual Transmitted Infactions sangat beresiko pada komutias gay (Independent.co.uk, 9/2/2014). Rusia sebagai negara yang menjadikan prilaku LGBT sebagai ancaman terhadap keamanan nasional negarnya dan Indonesiapun menyusul.
Dalam satu dekade terakhir para penganut penyimpangan orientasi seksual ini bisa bernafas lebih lapang. Bila dulu mereka harus menyembunyikan orientasi seksualnya di kamar sunyi, kini hal itu dapat diekspresikan di ruang publik. Perlahan-lahan khalayak seperti sudah menganggap LGBT sebagai hal biasa. Mereka sepertinya mulai bisa menerima kehadiran LGBT. Tentu, bukan karena hal itu benar secara logika apalagi norma agama, tetapi karena ada arus kuat di belakang kaum LGBT ini yang berhasil memanipulasi pikiran publik.
Pemikiran dan kampanye LGBT batil dari akar hingga ke daunnya; bertentangan dengan Islam dan mengancam kemanusiaan. Gay dan lesbian meruntuhkan institusi keluarga yang bertujuan melestarikan keturunan. Padahal secara kodrati manusia telah diberkati kemampuan untuk bereproduksi dan fungsi itu hanya akan berjalan manakala ada ikatan pernikahan pria dengan wanita. Karena itu pernikahan bukan sekadar demi mendapatkan cinta dan pemuasan kebutuhan biologis, tetapi untuk melestarikan keturunan manusia.
LGBT bukan saja mengancam laju pertambahan penduduk, tetapi secara mendasar mengeliminasi hasrat untuk memiliki anak. Tidak adanya hasrat pada lawan jenis berkorelasi lurus dengan menurunnya keinginan untuk memiliki anak sendiri. Apalagi memiliki keturunan lebih dari satu.
Tersebarnya budaya dan pemikiran kufur di tengah-tengah umat ini terjadi karena umat hidup dalam sistem Jahiliah. Itulah sistem demokrasi. Prinsip kebebasan dalam demokrasi menyuburkan pemikiran kufur. Sistem demokrasi juga dipimpin oleh para pemimpin yang mengkhianati amanah Allah dan Rasul-Nya dengan mengenyampingkan syariah Islam dalam mengatur urusan umat. Mereka tidak menjalankan fungsi sebagai junnah (perisai) akidah umat dan malah menjadi penjaga sistem Jahiliah tersebut.[]