[Al-Islam edisi 812, 19 Ramadhan 1437 H – 24 Juni 2016 M]
Ibadah puasa diwajibkan kepada kita agar kita semua menjadi kaum yang bertakwa. Puasa akan mendorong seorang Muslim taat. Sebaliknya, puasa bisa mencegah seorang Muslim bermaksiat. Dengan semua itu puasa akan menjadi perisai kokoh bagi seorang Muslim. Nabi saw. brsabda:
«الصَّوْمُ جُنَّةٌ مِنْ النَّارِ …»
Shaum adalah perisai dari neraka (HR an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah).
Junnah artinya perisai (wiqayah) dan penutup (satrah) dari keterjerumusan seseorang ke dalam kemaksiatan yang menyebabkan dirinya masuk neraka. Junnah juga bermakna perisai dari neraka karena menahan syahwat (Al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, II/670).
Sungguh, siapapun yang melaksanakan shaum dengan iman dan berharap pahala dari Allah SWT akan terlindungi dari perbuatan maksiat. Sebabnya, puasa akan membuat pelakunya senantiasa ingat kepada Allah SWT, dan sebaliknya melemahkan syahwatnya.
Namun, harus diakui, meskipun Ramadhan demi Ramadhan telah berlalu, faktanya kemaksiatan di tengah umat masih merajalela;, kezaliman masih menimpa umat Islam; umat Islam masih menjadi korban dari kebuasan dan kerakusan penjajahan. Di Suriah, Irak dan Palestina, misalnya, ratusan ribu umat Islam menjadi korban para penguasa zalim dan keji. Kekayaan negeri-negeri Islam dirampok oleh negara-negara Barat yang rakus. Sikap anti Islam pun masih terlihat kuat. Media-media massa liberal terus-menerus membuat stigma (cap) negatif terhadap kemuliaan syariah Islam.
Lihat saja pada bulan Ramadhan mulia kali ini, rezim Bashar Assad dengan bantuan negara kafir penjajah Rusia masih terus membombardir berbagai wilayah di Suriah. Diperkirakan sudah lebih 300 ribu orang yang terbunuh sejak pecah konflik di Suriah.
Pada bulan Ramadhan ini pula, umat Islam malah diminta untuk bersikap toleran terhadap pihak lain yang tidak puasa. Dengan logika yang sama, mereka akan meminta umat Islam untuk menghormati orang yang berzina atau mabuk. Sungguh menyesakkan dada. Padahal logika seperti itu sungguh sangat berbahaya. Bagaimana mungkin orang taat justru disuruh menghormati orang yang tidak taat; orang yang patuh justru diminta menghormati orang yang melanggar. Itu sama saja dengan mendorong orang untuk melanggar syariah dan bermaksiat.
Perda-perda yang dikatakan sebagai perda syariah pun digugat. Hal-hal yang jelas-jelas baik seperti keharusan bisa membaca al-Quran, kewajiban menutup aurat, larangan miras dan larangan membuka warung pada bulan Ramadhan justru dicabut. Perda-perda itu pun dibatalkan dengan alasan menghambat investasi, mengarah ke diskriminatif atau menyalahi peraturan yang lebih tinggi. Padahal semua itu akan membuat generasi-generasi muda, keluarga dan masyarakat akan semakin baik. Jelas, ini menunjukkan makin pudarnya kepekaan Pemerintah terhadap persoalan yang dihadapi oleh umat. Itu artinya, politik tidak dijalankan sebagaimana semestinya. Sebab, seperti yang dijelaskan oleh Imam an-Nawawi, politik adalah mengatur urusan agar menjadi lebih baik atau paling baik.
Islamophobia, ketakutan terhadap syariah Islam, juga tampak menonjol. Apapun yang mereka anggap terkait dengan syariah Islam, mereka gugat. Rezim liberal sekular sekarang pun menampakkan ketidakjelasannya. Katanya Pemerintah prihatin dengan maraknya pemerkosaan, sementara pemerkosaan banyak dipicu oleh minum-minuman miras. Anehnya, perda larangan miras dan kewajiban menutup aurat malah dipersoalkan. Tampaknya semua itu memperlihatkan bahwa ketakutan terhadap Islam atau islamophobia makin menjangkiti rezim sekular saat ini.
Semua hal itu memperlihatkan bahwa pada intinya umat Islam tidak lagi memiliki pelindung yang menjaga nyawa, kehormatan, kemuliaan dan kekayaan mereka. Apa penyebabnya? Tidak lain karena pelindung yang selama berabad-abad telah melindungi umat Islam telah hilang, yaitu Imam atau Khalifah. Rasulullah saw. dengan tegas menyatakan:
«إِنَّمَا اْلإِمَامُ جُنَّةٌ يُقَاتَلُ مِنْ وَرَائِهِ وَيُتَّقَى بِهِ »
Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai (junnah); orang-orang berperang mengikutinya dan berlindung dengannya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Dalam penjelasannya, Imam as-Suyuthi menyebutkan, Imam (Khalifah) sebagai perisai berarti sebagai pelindung sehingga dapat mencegah musuh menyakiti kaum Muslim, mencegah masyarakat saling menyakiti satu sama lain, juga memelihara kekayaan Islam. Kaum Muslim bersama Imam/Khalifah akan memerangi kaum kafir, pembangkang dan penentang kekuasaan Islam serta semua pelaku kerusakan. Imam/Khalifah melindungi umat dari seluruh keburukan musuh, pelaku kerusakan dan kezaliman.
Inilah perisai yang harus kita bangun kembali. Oleh karena itu umat Islam tidak boleh melupakan perisai ini. Jika umat melupakannya maka itu adalah musibah di atas musibah.
Selain itu berbagai serangan terhadap Islam belakangan ini makin menunjukkan bahwa ide-ide sekularisme, liberalisme dan HAM adalah ide yang berseberangan dengan Islam dan berbahaya. Ide-ide ini menyebabkan umat Islam makin jauh dari syariah Islam. Terbukti, ide-ide inilah yang menjadi dasar penolakan mereka terhadap syariah Islam. Karena itu umat Islam harus tegas menolak ide-ide ini.
Islam bertentangan dengan paham liberalisme. Dalam Islam setiap Muslim wajib terikat dengan syariah Islam kapan pun, di manapun dan dalam aspek apapun. Karena itu apapun yang wajib harus dilakukan dan apapun yang haram harus ditinggalkan. Setiap Muslim akan dituntut pertanggungjawaban oleh Allah SWT tentang keterikatan mereka dengan syariah Islam.
Dalam Islam juga tidak dikenal sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Umat Islam justru harus menerapkan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan; politik, sosial, pendidikan, hukum, kenegaraan, dll; bukan semata-mata dalam ranah ritual.
Sekularisme itu menyebabkan agama diterima hanya dalam urusan pribadi, sebaliknya agama ditolak dalam urusan masyarakat dan negara. Umat Islam tentu sangat tidak layak jika menganut ide ini. Ide sekularisme dan sikap sekular hanya akan menyebabkan kehinaan di dunia dan azab di akhirat. Allah SWT telah memperingatkan:
﴿أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ﴾
Apakah kalian mengimani sebagian Al-Kitab dan mengingkari sebagian lainnya? Tiada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka dikembalikan pada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat (TQS al-Baqarah [2]: 85).
Sekularisme dan sikap sekular juga akan menyebabkan siapa saja yang menganutnya berpaling dari petunjuk dan tuntunan yang diberikan oleh Allah SWT. Padahal sikap seperti itu hanya akan menyebabkan kesengsaraan hidup di dunia. Allah SWT telah memperingatkan:
﴿وَمَنْ أَعْرَضَ عَن ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَىٰ﴾
Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku maka sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit dan Kami akan menghimpun dirinya pada Hari Kiamat dalam keadaan buta (TQS Thaha [20]: 124).
Menurut Imam Ibnu Katsir makna “berpaling dari peringatan-Ku” adalah: menyalahi perintah-Ku dan apa yang Aku turunkan kepada Rasul-Ku; melupakannya dan mengambil petunjuk dari selainnya (Tafsir al-Qurân al-‘Azhîm, V/323)
Dengan demikian umat Islam tidak boleh mengambil sebagian isi al-Quran dan meninggalkan sebagian lainnya. Umat Islam tidak boleh menerapkan sebagian hukum syariah dan meninggalkan sebagian lainnya. Sebab, hal itu akan mengakibatkan umat Islam mengalami kehinaan dan kesempitan hidup di dunia; umat Islam kehilangan kemuliaannya sebagai umat terbaik.
Sebaliknya, umat Islam berkewajiban untuk mengambil Islam secara keseluruhan, menerapkan syariah secara menyeluruh, baik dalam urusan pribadi maupun dalam urusan kemasyarakatan. Itu artinya, umat Islam tidak boleh memisahkan Islam dari negara. Bahkan umat Islam harus menjadikan negara ada untuk merealisasi totalitas dalam mengambil Islam dan menerapkan syariah.
Karena itu peran negara yang berdasarkan syariah Islam sangatlah penting agar syariah Islam bisa diterapkan secara total. Negara dan Islam adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Imam al-Ghazali menggambarkan hal itu dalam buku beliau Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd (hlm. 76), “Agama dan kekuasaan itu ibarat dua saudara kembar. Agama itu pondasi, sedangkan kekuasaan itu adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi akan roboh dan sesuatu yang tanpa penjaga akan hilang.”
Beliau lalu mengatakan, “Karena itu kewajiban mengangkat imam (khalifah) (yakni menegakkan Khilafah, reId.) termasuk perkara syar’i yang mendesak, yang tidak bisa ditinggalkan.”
Seluruh syariah Islam hanya bisa terwujud kalau di tengah-tengah umat terdapat Negara Khilafah. Penerapan syariah Islam secara total dalam isntitusi Khilafah akan menyelamatkan umat Islam dari kehinaan dan kesempitan hidup di dunia serta dari azab pedih di akhirat. Penerapan syariah Islam secara menyeluruh dalam Khilafah akan menjadikan umat merasakan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Inilah wujud takwa sesungguhnya. Inilah yang diharapkan dari ibadah Ramadhan kita. []
Komentar al-Islam:
“Dulu Rasulullah saw. memakai nilai universalitas al-Quran untuk mentransformasi bangsa Arab menjadi beradab dan berkemajuan. Sekarang kita perlu tuntunan al-Quran untuk menata kehidupan bangsa Indonesia agar lebih maju, lebih toleran dan bebas dari kemiskinan,” kata Jokowi (news.detik.com, 21/6).
- Benar, kita memerlukan tuntunan al-Quran untuk mengatur kehidupan masyarakat.
- Pernyataan itu haruslah dibuktikan dengan menerapkan aturan dan hukum-hukum al-Quran (syariah Islam) secara menyeluruh untuk megatur semua urusan masyarakat.
- Jika tidak, pernyataan itu hanya omong-kosong.