[Al-Islam edisi 813, 9 Syawal 1437 H — 15 Juli 2016 M]
Alhamdulillah, kita bersyukur kepada Allah SWT karena telah diberi kesempatan dan kekuatan untuk menyelesaikan puasa Ramadhan. Kita berharap, berpuasa sebulan penuh dapat mengantarkan kita menjadi kaum yang bertakwa sebagaimana dinyatakan dalam firman Allah SWT QS al-Baqarah [2]: 183.
Umar bin Abdul Aziz rahimahulLâh, sebagaimana dikutip Imam as-Suyuthi dalam Ad-Durr al-Mantsûr, berkata, “Takwa kepada Allah itu bukanlah berpuasa pada siang hari, shalat pada malam hari dan memadukan keduanya. Namun, takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan.”
Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah rahimahulLâh dalam kitabnya, Zâd al-Muhâjir ilâ Rabihi, juga berkata, “Hakikat takwa adalah menaati Allah atas dasar iman dan mengharapkan ridha-Nya, baik atas perkara yang Allah perintahkan maupun yang Allah larang.”
Itulah takwa. Itulah yang diharapkan terwujud pada diri setiap Muslim setelah menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Mereka senantiasa menaati syariah-Nya secara kâffah atas dasar keimanan.
Orang yang bertakwa tidak akan berani minum khamr, misalnya, apalagi melegalkan khamr itu dalam kehidupan. Tentu karena Allah SWT telah mengharamkan khamr. Khamr adalah perbuatan najis, termasuk perbuatan setan dan wajib dijauhi (lihat QS al-Maidah [5]: 90-91). Bahkan Rasulullah saw. bersabda:
«الْخَمْرُ أُمُّ الْخَبَائِثِ»
Khamr adalah biang segala keburukan (HR ad-Daruquthni).
Untuk diketahui, di DPR sekarang sedang digodok RUU Minuman Beralkohol. Ironisnya, arus besar yang berkembang di DPR, peredaran minuman beralkohol hanya akan diatur dan dikendalikan, bukan dilarang dan diberantas. Tentu hal itu menyalahi ketakwaan dan bukan termasuk karakter orang bertakwa, apapun alasannya.
Orang yang bertakwa juga tidak akan berani memakan harta dari transaksi riba. Mereka juga tidak akan melegalkan riba, apalagi menjadikan riba sebagai urat nadi perekonomian dan menjadikan utang ribawi sebagai sumber pendapatan negara. Tentu karena Allah SWT telah mengharamkan riba dengan tegas. Pemakan riba diancam untuk dijadikan sebagai penghuni neraka (lihat QS al-Baqarah [2]: 275). Jika mereka tetap tidak mau meninggalkan sisa riba, diumumkan kepada mereka perang dengan Allah SWT dan Rasul-Nya (lihat QS al-Baqarah [2]: 279).
Tentang dosa riba, Rasullah saw. bahkan bersabda:
«الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُونَ بَابًا أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجلُ أُمَّهُ»
Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan (dosanya) adalah seperti seseorang menzinai ibunya sendiri (HR al-Hakim dan al-Baihaqi).
Untuk diketahui, total utang Pemerintah Indonesia pada Mei 2016 ini telah mencapai Rp 3.323 triliun. Semua utang tersebut adalah utang ribawi yang jelas-jelas haram. Orang yang bertakwa niscaya tidak akan berutang dengan utang ribawi, apalagi sampai sebanyak itu. Apalagi lebih dari 700 triliun utang ribawi itu didapat dari kaum kafir penjajah yang sudah terbukti menjerumuskan negara ini ke dalam cengkeraman penjajahan.
Orang yang bertakwa juga tidak akan memilih dan mengangkat orang kafir sebagai pemimpinnya. Apalagi ikut mengkampanyekan calon pemimpin kafir itu. Tentu karena Allah SWT telah mengharamkan umat Islam mengangkat orang kafir sebagai pemimpin mereka (Lihat: QS an-Nisa [4]: 141). Tidak ada ikhtilaf di kalangan para ulama atas keharaman ini. Al-Qadhi Iyadh, sebagaimana dikutip oleh Imam al-Nawawi dalam Syarh Muslim, berkata, “Tidak ada perbedaan di kalangan para ulama bahwa kepemimpinan itu tidak sah bagi orang kafir.”
Ibnu Hazm dalam Marâtib al-Ijmâ’ juga berkata, ”Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada perempuan, orang kafir, anak kecil yang belum balig (dewasa) dan orang gila.”
Namun, sekarang muncul pernyaatan yang dilemparkan ke tengah-tengah umat, “Pemimpin kafir yang jujur dan adil adalah lebih baik daripada pemimpin Muslim yang tidak jujur dan tidak adil.”
Jelas, pernyataan seperti ini tidak mungkin keluar dari lisan orang yang bertakwa. Tentu, selain menyalahi al-Quran, as-Sunnah dan ijmak para ulama, pernyataan itu jelas merendahkan umat Islam. Seolah-olah tidak ada seorang pun dari umat Islam ini yang layak menjadi pemimpin sehingga mereka harus mengemis kepada orang kafir untuk menjadi pemimpin mereka.
Orang yang bertakwa tidak akan mau menerima sistem demokrasi yang telah menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Hukum yang ditetapkan lewat proses demokrasi pun tidak didasarkan pada halal dan haram, tetapi didasarkan pada suara terbanyak. Padahal dalam Islam, pemilik otoritas tunggal untuk membuat hukum hanyalah Allah SWT (Lihat: QS Yusuf [12]: 40).
Suara terbanyak jelas tidak boleh dijadikan sebagai penentu dalam ketetapan hukum. Tentu karena suara terbanyak tidak selalu sejalan dengan kebenaran. Bahkan Allah SWT menegaskan bahwa jika kalian menuruti kebanyakan manusia di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkan kalian dari jalan-Nya (lihat QS al-An’am [16]: 116).
Orang yang bertakwa pasti akan menolak liberalisme. Tentu karena liberalisme meniscayakan kebebasan dan menolak terikat dengan syariah. Liberalisme berlawanan dengan Islam yang justru mewajibkan manusia untuk terikat dengan semua hukumnya.
Orang yang bertakwa juga akan menolak sekularisme yang mempersempit Islam hanya sebagai agama yang mengatur urusan pribadi. Padahal Islam adalah agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan. Semua aturan Islam wajib diterapkan. Allah SWT berfiman:
﴿يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ﴾
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kalian menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh kalian yang nyata (TQS al-Baqarah [2]: 208).
Saat menjelaskan ayat ini, Abu al-Fida Ibnu Katsir rahimahulLâh, berkata, “Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin dan membenarkan Rasul-Nya untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintahnya dan meninggalkan semua larangannya.”
Karena itu orang yang bertakwa pasti menginginkan syariah diterapkan secara kâffah dalam semua aspek kehidupan.
Orang yang bertakwa juga tidak akan menolak Khilafah, apalagi menentang dan menjadi penghalangnya. Tentu karena Khilafah adalah kewajiban yang harus ditegakkan. Imam al-Qurthubi rahimahulLâh dalam kita tafsirnya, Al-Jâmi li Ahkâm al-Qur`ân, menegaskan, “Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat maupun para imam tentang kewajiban mengangkat khalifah, kecuali al-Asham. Dinamakan al-Asham (orang yang tuli) karena dia tuli dari syariah. Demikian pula orang yang sependapat dengan dia serta mengikuti pendapat dan mazhabnya.”
Selain itu, penerapan syariah secara kâffah membutuhkan keberadaan Khilafah. Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama mutabar, Khilafah adalah institusi pelaksana syariah. Imam Abu Zakaria an-Nawawi rahimahulLâh dalam Rawdhah at-Thâlibîn wa Umdat al-Muftîn, berkata:
]لاَ بُدَّ لِلْأُمَّةِ مِنْ إِمَامٍ يُقِيمُ الدِّينَ، وَيَنْصُرُ السُّنَّةَ، وَيَنْتَصِفُ لِلْمَظْلُومِينَ، وَيَسْتَوْفِي الْحُقُوقَ وَيَضَعُهَا مَوَاضِعَهَا[
Umat harus memiliki seorang imam (khalifah) yang bertugas menegakkan agama, menolong sunnah, membela orang yang dizalimi serta menunaikan hak dan menempatkan hak itu pada tempatnya.
Tanpa Khilafah, niscaya banyak sekali hukum syariah yang tidak diterapkan dalam kehidupan, sebagaimana saat ini. Karena itu orang bertakwa akan merindukan dan mendambakan Khilafah, bahkan turut berjuang untuk mengembalikan tegaknya Khilafah Rasyidah ala minhajin nubuwwah.
Orang yang bertakwa juga tidak akan menganggap syariah dan khilafah sebagai ancaman. Tentu karena syariah dan khilafah adalah risalah dari Allah SWT yang dibawa oleh Rasulullah saw., yang akan mewujudkan rahmat bagi alam semesta. Allah SWT berfirman:
﴿وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلاَّ رَحْمَةً لِلْعَالَمِيْنَ﴾
Kami tidak mengutus kamu [Muhammad] kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (QS al-Anbiya [21]: 107).
Menurut Al-Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahuLlâh, ayat ini menjelaskan bahwa tujuan Rasulullah saw. diutus adalah agar risalahnya menjadi rahmat bagi manusia. Konsekuensinya, risalah ini diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan (jalb al-mashalih) mereka dan mencegah kemafsadatan (dar’u al-mafasid) dari mereka.
Khilafah juga akan menjadi junnah (perisai) yang melindungi umat Islam. Tidak seperti sekarang, umat Islam benar-benar seperti anak yatim tanpa pelindung. Agama mereka dilecehkan. Darah mereka ditumpahkan. Harta kekayaan mereka pun dijarah oleh musuh-musuh mereka. Semua itu menimpa mereka tanpa ada yang melindungi. Lihatlah saudara-saudara kita di Suriah yang setiap hari dibombardir oleh rezim kafir Basyar Asad dan negara-negara kafir penjajah. Demikian pula saudara-saudara kita di Palestina dan Rohingnya. Nasib serupa juga dialami oleh kaum Muslim di Afrika Tengah, Irak, Uzbekistan, dan lain-lain. Semua itu terjadi ketika umat Islam hidup tanpa Khilafah sebagai pelindung mereka.
Khilafah juga akan menyatukan umat Islam dalam satu kepemimpinan. Tidak seperti sekarang, umat Islam terpecah-pisah menjadi lebih dari 50 negara yang sibuk dengan urusannya masing-masing. Akibatnya, begitu mudah musuh-musuh Islam menghancurkan Islam dan umatnya.
Karena itu kita semua harus berjuang menegakkan syariah dan khilafah. Hanya dengan tegaknya Khilafah, ketaatan pada syariah secara kâffah dapat diwujudkan. WalLâh alam bi ash-shawâb. []