[Al-Islam edisi 814, 17 Syawal 1437 H -22 Juli 2016 M]
Dalam waktu-waktu terakhir sejak menjelang Ramadhan setidaknya ada tiga masalah yang menjadi topik pembicaraan masyarakat. Pertama, masalah kemacetan sangat parah pada saat mudik khususnya di Tol Cipali hingga Brebes dan setelah keluar pintu Tol Brebes Timur. Kedua, masalah harga-harga kebutuhan yang tidak terkendali sejak menjelang Ramadhan dan masih terasa hingga saat ini pada beberapa komoditi. Ketiga, masalah beredarnya vaksin palsu.
Ketiga masalah itu paling tidak menunjukkan dua hal: lemahnya pengawasan oleh Pemerintah serta lemahnya aspek perencanaan dan antisipasi oleh Pemerintah. Semua itu menunjukkan manajemen pengaturan urusan rakyat kedodoran dan kepemimpinan pengelolaan negeri ini masih lemah.
Buruknya Perencanaan dan Antisipasi
Buruknya perencanaan dan antisipasi tampak dalam masalah kemacetan saat mudik dan masalah harga-harga yang tak terkendali.
Kejadian macet sangat parah saat mudik semestinya bisa diminimalisasi jika ada perencanaan dan antisipasi yang baik. Pasalnya, semuanya bisa dikendalikan sejak awal, mulai dari pembangunan jalan tol, pembanguan fasilitas pendukung seperti rest area, fasilitas MCK, pom bensin dan sebagainya. Sebagian jalan tol itu sudah dibuka setahun lalu. Semestinya waktu satu tahun lebih dari cukup untuk melengkapi berbagai fasilitas itu. Namun nyatanya, berbagai fasilitas di tol yang sudah dibuka setahun lalu pun masih minim sekali. Adapun untuk ruas tol baru, jika memang belum mungkin digunakan, mestinya tidak perlu dipaksakan untuk digunakan. Jika pun digunakan, mestinya disiapkan berbagai fasilitas sementara.
Lebih dari itu, jadwal libur bersama sudah diketahui jauh hari. Berdasarkan kebiasaan tahun-tahun sebelumnya, puncak arus mudik dan volume kendaraan pun bisa diprediksi.
Berdasarkan semua itu, semestinya segala sesuatunya bisa disimulasikan dengan berbagai skenario dan kondisi dari jauh-jauh hari, serta disusun berbagai rencana untuk meminimalkan risiko sejak awal dan saat kejadian. Namun nyatanya, kemacetan “horor” terjadi. Bahkan ada 13 orang meninggal di tengah kemacetan itu. Terlihat tidak ada perencanaan dan antisipasi yang baik dalam masalah itu. Padahal mudik merupakan tradisi yang terjadi setiap tahun. Semua itu menunjukkan, kepemimpinan dan manajemen yang bertanggung jawab terhadap semua “tragedi” itu gagal mengantisipasi dan gagal mengelolanya dengan baik.
Lebih menyesakkan lagi, ketika semua itu terjadi, tidak ada yang mengugkapkan penyesalan dan permintaan maaf, mengakui kesalahan apalagi menyatakan bertanggung jawab. Justru berbagai pihak, setidaknya Kemenhub dan Kementerian PU, saling lempar kesalahan dan tanggung jawab.
Demikian pula dalam kasus harga-harga barang kebutuhan pokok dan daging yang tidak terkendali. Menjelang Ramadhan, Presiden memang menyatakan bahwa harga daging akan dikontrol tidak lebih dari 80 ribu per kg. Namun nyatanya, hal itu tidak bisa diwujudkan meski Presiden menekan dan sedikit “mengancam” menteri di bawahnya. Tampak, dalam masalah ini, Pemerintah berpikir dengan pola pikir pedagang. Harga diklaim bisa dikontrol dengan mendatangkan daging beku dari luar. Faktanya, meski harga daging beku bisa ditekan hingga 80 ribu per kg, masyarakat enggan membeli dan lebih memilih daging segar.
Pengendalian harga hanya bisa dilakukan dengan pengendalian dan manajemen stok logistik. Hal itu bisa dilakukan dengan merencanakan dan mengatur dengan baik mulai dari pra produksi, produksi hingga distribusi dan menjamin kelangsungannya. Hal itu tentu harus dilakukan dalam jangka panjang dan melibatkan berbagai pihak. Namun, lagi-lagi semua itu belum terlihat dilakukan oleh Pemerintah.
Pengawasan Lemah
Terbongkarnya kasus peredaran vaksin palsu telah menimbulkan keresahan masyarakat. Sejauh ini BPOM menemukan 12 jenis vaksin yang dipalsukan. Pelaku memalsukan vaksin yang diproduksi oleh PT Biofarma, PT Sanofi Grup, PT Glaxo Smith Kline (GSK).
Bareskrim Polri telah menetapkan 23 orang tersangka dalam kasus peredaran vaksin palsu ini; mulai dari dokter, kepala rumah sakit, apoteker, bidan, hingga distributor dan produsen vaksin palsu.
Berdasarkan paparan Bareskrim Polri dan Kementerian Kesehatan di Komisi IX DPR, ada 14 rumah sakit, 8 klinik dan tenaga kesehatan yang menggunakan vaksin palsu. Sebagian besar beroperasi di sekitar Bekasi. Rinciannya, 10 RS di Kabupaten Bekasi dan 3 RS di Kota Bekasi. Setelah ditelusuri, pihak rumah sakit mengaku mencari vaksin selain yang diberikan Pemerintah karena stok yang kerap habis. Di sisi lain, rumah sakit harus melayani banyak anak yang harus diberi vaksin (Kompas.com, 18/7/2016).
Peredaran vaksin palsu sangat mungkin juga terjadi di luar Jakarta dan Bekasi. Penyidik Kepolisian menyatakan bahwa sindikat pemalsu vaksin telah memproduksi vaksin palsu sejak 2003 dengan distribusi di seluruh Indonesia. Wilayah penyebaran vaksin palsu ini tak hanya di Jakarta, tetapi juga Jawa Barat, Semarang dan Medan (Kompas.com, 29/6/2016).
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menemukan vaksin palsu di sejumlah daerah. Temuan itu didapat setelah melakukan penelusuran di seluruh wilayah di Indonesia. Hasilnya, ditemukan 37 fasilitas layanan kesehatan di 9 Provinsi yang mendapatkan vaksin dari sumber tidak resmi. Dari 39 sampel vaksin ditemukan empat sampel yang isinya palsu dan satu sampel diduga palsu karena label tidak sesuai. Namun, tidak diungkap dari povinsi mana keempat sampel yang isinya palsu itu (Kompas.com, 12/7/2016)
Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta mengatakan pernah menemukan vaksin BCG palsu dari Kementerian Kesehatan RI. “Salah satu itu saya temukan dari klinik swasta dapat gratis vaksin BCG dari Pemerintah tahun 2014, ternyata palsu,” ujar Marius di LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (28/6/2016).
Adanya temuan vaksin BCG palsu dari Pemerintah pada Mei atau juni 2014 itu membantah pernyataan Kementerian Kesehatan bahwa semua obat dan vaksin yang berasal dari Pemerintah aman (Kompas.com, 28/6/2016).
Peredaran obat melibatkan jalur yang panjang, mulai dari produen, distributor, penjual, fasilitas layanan kesehatan (RS, klinik, puskesmas dll), tenaga kesehatan (dokter, bidan, perawat), dan sebagainya; juga melibatkan manajemen, administrasi dan pencatatan baik di tingkat lembaga Pemerintah (kementerian kesehatan pusat sampai daerah), manajemen fasilitas pelayanan kesehatan, produsen, distributor dan sebagainya.
Beredarnya vaksin palsu secara luas, apalagi telah berlangsung bertahun-tahun, menunjukkan lemahnya pengawasan Pemerintah atas peredaran obat dan pelayanan kesehatan, termasuk dalam hal penanganan limbah, sebab bisa saja pelaku mendapatkan botol dari limbah. Ini juga menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap fasiltas pelayanan kesehatan terutama swasta; juga menunjukkan lemahnya pengecekan, pelaporan, pengawasan, pembinaan terhadap fasilitas pelayanan kesehatan, terutama swasta.
Hal itu diperparah lagi oleh hukuman terhadap pelaku pemalsuan yang tidak memberi efek jera. Kompas.com (30/6/2016) memuat bahwa hukuman bagi pemalsu obat masih ringan sehingga tak ada efek jera. Misalnya, DS, warga Medan yang memproduksi obat diphenhydramine menjadi serum anti tetanus dan vaksin tetanus pada 2014 hanya divonis dua tahun.
Setelah kasus itu, BBPOM masih menemukan lagi distributor serum antitetanus (ATS) dan vaksin tetanus (TT) palsu. Obat itu juga dibuat dari diphenhydramine yang labelnya diganti seperti kasus sebelumnya.
Peredaran vaksin palsu itu menunjukkan kegagalan negara untuk memberikan dan menjamin pelayanan kesehatan yang baik dan aman bagi masyarakat. Menurut Arist Merdeka Sirait, Ketua Komnas Perlindungan Anak (Komnas PA), Pemerintah telah melakukan pembiaran terhadap peredaran vaksi palsu. “Ini merupakan kegagalan negara. Ini bukan persoalan rumah sakit, bukan persoalan distributornya, tetapi ketika Direktur Reskrim Mabes Polri menyatakan sejak 2003 sudah ditemukan vaksin palsu, itu artinya ada pembiaran dari negara,” ucap Arist (Kompas.com, 18/7/2016).
Perlunya Pemimpin Bertakwa dan Penerapan Sistem Islam
Semua itu makin menyadarkan kita bahwa kita butuh pemimpin Muslim yang bertakwa yang menerapkan Islam. Pemimpin Muslim yang bertakwa akan senantiasa memperhatikan urusan dan kemaslahatan rakyat. Sebab, dia takut kelak pada Hari Kiamat rakyatnya menuntut dirinya di hadapan Allah SWT atas kemaslahatan rakyat yang terabaikan. Dia pun sadar harus bertanggung jawab atas semua urusan rakyat di hadapan Allah SWT kelak. Rasul saw. bersabda:
« فَالأَمِيرُ الَّذِى عَلَى النَّاسِ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ »
Pemimpin yang mengurusi urusan masyarakat adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas urusan rakyatnya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Islam memiliki segenap aturan dan sistem yang bisa menjamin pelayanan kesehatan yang baik untuk seluruh rakyat. Sistem Islam terutama sistem ekonomi Islam akan bisa memberikan jaminan atas pemenuhan kebutuhan pokok untuk seluruh rakyat. Karena itu penerapan syariah secara menyeluruh oleh pemimpin Muslim yang bertakwa itulah yang harus segera diwujudkan bersama. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []
Komentar al-Islam:
Ketua MPR Zulkifli Hasan mengatakan bahwa kesenjangan di Indonesia cukup tinggi, yaitu 1% menguasai 50,3. Artinya, keadilan sosial masih jauh dari harapan. (lipsus.kompas.com, 19/7/2016).
- Itu adalah akibat penerapan sistem ekonomi kapitalisme neoliberal. Selama sistem itu masih diterapkan, kesenjangan akan terus menganga.
- Jika ingin mewujudkan pemerataan, tidak ada jalan lain kecuali dengan menerapkan syariah Islam secara menyeluruh oleh negara.