Awal Juli lalu Japan Times melaporkan bahwa Mahkamah Agung Jepang telah mempertahankan (baca: mendukung) pengintaian terselubung (blanket surveillance) oleh pemerintah Jepang terhadap komunitas Muslim di negara itu. Pengadilan menolak upaya banding kedua kalinya oleh sekelompok penggugat Muslim Jepang untuk melawan apa yang mereka anggap sebagai invasi inkonstitusional terhadap privasi dan kebebasan beragama mereka. Sebuah kebocoran terjadi tahun 2010 yang mengungkap 114 berkas kepolisian dalam pengawasan nasional terhadap Muslim Jepang. Berkas-berkas itu mengungkap bahwa tempat ibadah Muslim, restoran halal dan organisasi Islam terkait di Tokyo, sedang dipantau. File yang bocor juga mengungkapkan profiling keagamaan umat Islam di seluruh Jepang, termasuk daftar sejumlah informasi pribadi, termasuk nama individu, deskripsi fisik, hubungan pribadi dan dimana masjid yang mereka datangi, di dalam bagian berkas yang berjudul “mencurigakan”.
Bahkan dilaporkan pekan lalu sebelum Shalat Ied, beberapa Masjid di Jepang mendapat email dari orang tak dikenal berupa ancaman dan peringatan. 120,000 Muslim di Jepang menghadapi semakin banyak tekanan akibat Islamofobia. Terlebih pasca insiden pemenggalan dua orang warga Jepang Haruna Yukawa dan Kenji Goto oleh ISIS tahun 2014 lalu. Namun insiden itu justru semakin meningkatkan ketertarikan dan intensitas kunjungan warga Jepang ke Masjid-masjid di Tokyo. Shogeru Shimoyama, salah seorang imam Masjid Camii Tokyo merasakan betapa hausnya warga Jepang akan informasi tentang Islam dan Muslim.
Komentar:
Kebijakan Islamofobia di Jepang tidak bisa dilepaskan dari narasi anti-terorisme yang dipromosikan secara global oleh Negara-negara Barat. Jun Honna, seorang pakar politik dan keamanan dari Universitas Ritsumeikan, Maret lalu menyampaikan keprihatinannya terkait kebijakan PM Abe; “Kekhawatiran saya adalah Abe membabi buta membebek AS yang memimpin perang global terhadap terorisme menargetkan ISIS” ujar Honna. “Rezim Abe percaya dengan bergabung dengan ‘klub perang’ akan mendongkrak komitmen kontra-terorisme Jepang dan kapasitasnya mempersiapkan konferensi G7 serta Olimpiade 2020.”
Kebijakan pengintaian terselubung terhadap komunitas Muslim Jepang tak pelak adalah bagian dari program counter-terrorism Jepang yang dilegalkan oleh pemerintah Jepang. Tampak jelas dari sikap Mahkamah Agung yang tidak keberatan pada kebijakan profiling atau praktik pengintaian Muslim, dimana pada level pengadilan yang lebih rendah telah ditetapkan sebagai tindakan yang “diperlukan dan tak terelakkan” untuk mengantisipasi ancaman terorisme internasional. Ini persis seperti yang dilakukan oleh pemerintah AS terhadap tujuh juta komunitas Muslim Amerika yang telah berada di bawah pengawasan yang nyata dan virtual sejak 9/11. Setelah 15 tahun menargetkan masyarakat Muslim dan secara ekstensif memantau kegiatannya, FBI menyatakan mengakhirinya pada 18 Juni 2016 ditutup dengan pernyataan “studi menyeluruh tentang budaya mereka yang indah akhirnya selesai.”
Rupanya inilah cara Negara-negara kapitalis sekuler memperlakukan kaum Muslim – yaitu sebagai ancaman dan warga negara kelas dua. Ini jelas menunjukkan impotensi mereka dalam mengamankan hak-hak kewarganegaraan Muslim dan membangun identitas komunitas mereka. Pernyataan seperti “we love Islam and Muslim – its just the terrorists we hate” sebenarnya didesain untuk rekayasa sosial menciptakan atmosfer merendahkan Islam dan pembenaran untuk melanggar kehormatan dan hak Muslim. Upaya pengintaian ini tidak saja menimbulkan salah kaprah tentang Islam bagi non-Muslim di Jepang, tetapi juga bermakna merendahkan umat Islam dengan menanamkan tekanan nilai agar Muslim menerima nilai-nilai sekuler dengan mengorbankan ajaran Islam itu sendiri. Tak dinyana, retorika anti Teroris sebenarnya adalah trik murahan dalam mempropagandakan Islamophobia.
Namun di atas semua itu selalu ada optimisme. Allah Swt selalu punya makar yang jauh lebih hebat, semua trik murahan, labelisasi, cap buruk terhadap Islam justru berbuah manis. Semakin banyak warga Jepang yang penasaran terhadap Islam dan Muslim. Terbukti kunjungan ke masjid-masjid Jepang meningkat lima kali lipat setelah insiden Kenji Goto, seperti ungkapan Shogeru Shimoyama, salah seorang imam Masjid Camii Tokyo merasakan betapa hausnya warga Jepang akan informasi tentang Islam dan Muslim.
وَمَكَرُوا وَمَكَرَ اللَّهُ ۖ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
Ditulis untuk Kantor Media Pusat Hizb ut Tahrir oleh
Fika Komara