Temuan lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan bahwa vonis bagi terdakwa kasus tindak pidana korupsi periode Januari hingga Juni 2016 adalah yang paling ringan sepanjang periode yang sama dalam lima tahun terakhir.
Catatan ICW, yang didasari pada rilis putusan dari berbagai laman resmi pengadilan di Indonesia, memperlihatkan rata-rata hukuman penjara bagi koruptor sepanjang enam bulan pertama 2016 hanya mencapai dua tahun satu bulan.
Ketika dibandingkan dengan periode yang sama dalam beberapa tahun terakhir, tren penurunan jelas tampak. Pada semester pertama 2015, rata-rata vonis hukuman penjara yaitu dua tahun dua bulan. Pada Januari-Juni 2014 angka rata-ratanya menjadi dua tahun delapan bulan, sedangkan pada semester pertama 2013, rata-ratanya dua tahun 11 bulan.
Hal ini, menurut Lalola Esther dari ICW, memperlihatkan kejanggalan. Dia merujuk pada sejumlah kasus yang berujung pada vonis hukuman penjara selama satu tahun, namun kerugian negara yang ditimbulkan mencapai miliaran rupiah.
Lalu, ada pula dua kasus korupsi yang besaran uangnya hampir sama, namun vonis kasus pertama dua tahun penjara dan vonis kasus kedua enam tahun penjara.
“Kalau begini, publik jadi bertanya-tanya. ‘Kok hukuman koruptor sama dengan hukuman terhadap maling ayam?’ Untuk meminimalisasi hal tersebut, kami berharap Mahkamah Agung mengeluarkan panduan pemidanaan sehingga ada standar-standar yang harus dipenuhi untuk seseorang diputus sekian tahun,” kata Lalola.
Masih dipandang lumrah
Menanggapi temuan ICW, juru bicara Mahkamah Agung, Suhadi, menilai kasus-kasus tindak pidana korupsi tidak bisa dipukul rata.
“Kita lihat kasus per kasus. Kalau kasus besar, hukumannya rendah, tidak lumrah. Tapi kalau kasusnya kecil, hukumannya di bawah empat tahun, ya masih dipandang lumrah,” kata Suhadi.
Meski demikian, Suhadi meminta data temuan ICW diverifikasi ketika dihadapkan pada fakta bahwa ada kasus korupsi yang menyebabkan kerugian negara sebesar Rp12 miliar, namun terdakwa dikenai hukuman satu penjara. Di sisi lain, hukuman serupa dijatuhkan untuk terdakwa kasus korupsi sebesar Rp400 juta.
“Cek dulu kebenarannya,” kata Suhadi.
Soal permintaan ICW agar ada panduan bagi para hakim di Indonesia yang menangani kasus tipikor, Suhadi menegaskan MA berulang kali mengeluarkan surat edaran.
”Untuk tindak pidana korupsi, hendaknya hakim harus serius di dalam mengadili. Sudah berulang kali dilakukan seperti itu, tapi kita tidak bisa menyalahkan kalau kasusnya kecil,” kata Suhadi.
Asep Iriawan, seorang mantan hakim, berpendapat maraknya vonis hukuman penjara di bawah empat tahun memcerminkan kualitas hakim tindak pidana korupsi di Indonesia. Dia kemudian merujuk pada kasus penangkapan dua hakim tipikor di Bengkulu, beberapa waktu lalu.
”Pembentukan pengadilan tindak pidana korupsi awalnya karena ada ketidakpercayaan sama pengadilan negeri. Orang-orang pengadilan tipikor kan harusnya memang orang-orang antikorupsi. Tapi sekarang kalau faktanya menurun dan terbukti beberapa hakim tertangkap tangan menerima suap ketika menangani kasus korupsi, ya paradigma mereka tidak berubah. Dalam otak mereka, duit,” kata Asep.
Dia menegaskan sebuah jargon ketika ditanya apakah undang-undang tipikor yang harus diubah demi memperberat hukuman terhadap koruptor.
“Mau undang-undang sejelek apapun, tapi kalau hakimnya jujur, pintar, berani, selesai kok,” pungkas Asep.
Data vonis korupsi selama Januari hingga Juni 2016 menunjukkan, dari total 384 terdakwa, 275 di antara mereka divonis satu sampai empat tahun penjara. Sedangkan 46 terdakwa divonis bebas. (bbc.com, 25/7/2016)