Skema Konflik Amerika vs Cina dalam Bingkai Kapitalisme

AS vs Cina

Oleh: Umar Syarifudin – Syabab HTI (Pengamat Politik Internasional)

Dalam sebuah artikel yang berjudul Waspada Politik Cina Raya. M. Hatta taliwang (Dir. Institut Soekarno Hatta) disebutkan Pemerintah Indonesia harusnya waspada dengan pengiriman besar-besaran tenaga kerja Cina ke Indonesia. Apalagi  pembelian/pemasukan senjata secara ilegal ke Indonesia telah terjadi dan bisa mendaratnya pesawat secara sembarangan di Jakarta yang pemiliknya Cina. Belum lagi penguasaan pantai utara Jakarta secara sistematis dengan proyek reklamasi dll.

Adapun menurut sebuah sumber, pada tahun 2020 Pentagon telah berencana untuk mengkonsentrasikan 60 persen angkatan lautnya ke kawasan Asia, terutama Darwin dan Subik di Filipina. Aneh, bila seorang kepala negara merasa tidak terancam dan terusik dengan aktifitas politik dan militer negara asing di dekat rumahnya sendiri. Kita pertanyakan, ke mana slogan NKRI harga mati? Kelihatannya hanya digunakan untuk menggertak kelompok Islam, tapi bukan untuk menyelamatkan keutuhan negeri.

Jika ada pernyataan Indonesia sedang dicaplok Cina ataupun Amerika, ataupun membahas konflik Amerika vs Cina maka sesungguhnya bukan membicarakan tentang etnis. Tapi apa yang mendasari semua ini bahwa ideologi Kapitalisme sebagai pangkal dari segala macam permasalahan ini. Semua itu muncul dari tabiat Kapitalisme yang senantiasa ingin menguasai dengan cara apapun termasuk yang terjadi di Indonesia dan Konflik di Laut Cina Selatan (LCS) yang akhir-akhir ini menguat.

Sejak dekade 60-an abad lalu, Amerika telah khawatir atas munculnya Cina sebagai kekuatan global. Amerika berupaya melemahkan ambisi-ambisi Cina dalam permasalahan-permasalahan regional. Disamping upaya Amerika untuk membatasi perluasan militeristik Cina, Amerika juga berupaya kuat membangun kemampuan India, baik sipil maupun militer untuk menghadapi Cina. Politik inilah yang digunakan Amerika dengan seluruh pemerintahan di India hingga yang loyal kepada Inggris sekalipun dan bukan loyal kepada Amerika seperti pemerintahan partai Kongres.

Cina saat ini melakukan pergerakan-pergerakan. Semua pergerakan itu adalah untuk menggagalkan upaya Amerika mengisolir Cina dari para tetangganya dan menampakkan Cina sebagai negara musuh. Amerika yang selalu memprovokasi ketegangan terus menerus antara India dengan Cina dengan jalan menciptakan masalah-masalah terus menerus diantara keduanya.  Sehingga maneuver politik Cina dengan mendekat  ke India adalah upaya pemadaman api ketegangan yang ingin dinyalakan Amerika di antara Cina dan India.

Kini menyoal Laut Cina Selatan, AS ingin membendung pengaruh RRC di Asia Tenggara khususnya dalam persoalan Laut Cina Selatan. Wilayah ini amat strategis bagi AS maupun RRC, baik sebagai jalur perdagangan maupun sumberdaya alamnya yang berlimpah. Oleh karena itu AS terus menjalin hubungan dengan sekutu-sekutunya, termasuk Indonesia, untuk mengeliminir pengaruh Cina.

Wilayah Laut Cina Selatan memang menjadi rebutan banyak negara. Letaknya yang strategis sebagai jalur perdagangan dunia akan menghasilkan keuntungan bagi negara yang menguasainya. Selain itu kandungan kekayaan sumber daya hayati dan mineral yang terkandung di dalamnya juga menjadi pemicu sengketa. (http://katadata.co.id, 13/7/2016)

Amerika dan Cina sama-sama mengincar Selat Malaka dan Laut Cina Selatan (LCS). Malaka memang selat paling sibuk setelah Hormuz. Dan peningkatan pelayaran merupakan keniscayaan seiring gegap dinamika baik kebutuhan maupun kepentingan pribadi, kelompok dan juga bangsa-bangsa di dunia. Zhao Yuncheng, ilmuwan dari China‘s Institute of Contemporary International Relation:  “Whoever controls the Straits of Malacca and the Indian Ocean could threaten China‘s oil supply route.”

Masuk akal jika Presiden Cina Hu Jiantao menegaskan, “Malacca-Dilemma” merupakan persoalan kunci untuk jaminan pasokan energi mengingat 80% impor minyak Cina melewati Selat Malaka, oleh karena itu keamanan jalur di “selat basah” ini menjadi urgen bagi kelanjutan ekonomi Negeri Paman Mao.

Maka Cina pun menerapkan konsep String of Pearls. Yaitu strategi Cina dalam rangka mengamankan suplai energi. Strategi ini mempunyai konsekuensi dibutuhkannya militer modern yang progresif, juga memerlukan akses lapangan terbang dan pelabuhan-pelabuhan. Target jalur yang diincar ialah bentangan perairan dari pesisir Laut Cina Selatan, Selat Malaka, melintasi Samudera Hindia, Laut Arab dan Teluk Persia. Sehingga dalam peta, terlihat mirip untaian mutiara atau gambar kalung (Pearls).

Inilah yang diprediksikan akan semakin menajamnya konflik terbuka AS versus Cina di kawasan Asia Pasifik, utamanya Asia Tenggara. Karena Amerika pun sudah merekomendasikan hal ini lewat Council of Foreign Relations (CFR) pada 2002, dan bahkan sudah digodok secara lebih matang lewat beberapa think thank di Washington. Sehingga kemudian dirumuskan sebagai dasar kebijakan luar negeri Preisden George W Bush yang kemudian kita kenal sebagai Project New American Century (PNAC). Pihak perancang kebijakan stretegis Keamanan Nasional di Washington tentunya mencermati dengan seksama strategi String of Pearls tersebut.

Implementasi String of Pearls ini memang tergantung fasilitas militer yang memadai di Pulau Hainan; landasan terbang darurat di Pulau Woody, Kepulauan Paracel, jaraknya sekitar 300 mil dari laut timur Vietnam; kontainer fasilitas pengiriman di Chittagong, Bangladesh; pembangunan pelabuhan air dalam di Sittwe, Myanmar; pembangunan basis angkatan laut di Gwadar, Pakistan; pipa melalui Islamabad dan Karakoram Highway ke Kashgar di Xinjiang; fasilitas pengumpulan intelijen di pulau-pulau di Teluk Benggala dekat Selat Malaka dan pelabuhan Hambantota di Sri Lanka, dan lainnya.

Dalam beberapa kasus, ia memberi subsidi pembangunan pelabuhan baru dan fasilitas lapangan udara di negara-negara target dengan kompensasi fasilitas dibuat sesuai standar Cina. Sehubungan dengan tarik-menarik pengaruh antara AS dan Cina ini, menarik mencermati pengamatan dan prediksi Jean Paul Rodrigue. Menurut Rodrigue, jalur transportasi minyak dan gas untuk kebutuhan energi di Asia Timur selain melalui Selat Malaka, juga melintas di Selat Sunda, Selat Lombok dan lainnya. Tak boleh dipungkiri, ketiganya merupakan selat vital bagi negara-negara Asia Timur, khususnya Cina dan Jepang.

Isyarat Rodrigue, jika terjadi hambatan pelayaran di Selat Malaka maka alternatif jalur paling singkat adalah Selat Sunda. Inilah sisi paling krusial dari wilayah seputar Laut Cina Selatan dan Selat Malaka dalam beberapa tahun ke depan. Cina sudah mengisyaratkan bahwa hambatan utama implementasi Strategi String of Pearls adalah bercokolnya kapal-kapal perang AS dan sekutu di Singapura.

Semakin menegangnya hubungan politik antara AS vs Cina,  niscaya memiliki implikasi negatif atas hilir-mudik pelayaran Cina di Selat Malaka. Shock and awe pun telah ditebar, melalui janji mengirim kapal tempur pesisir (LCS) USS Freedom di Selat Singapura, ujar Laksamana Thomas Rowden (10/5/2012). USS Freedom ialah kapal perang jenis terbaru AS, memiliki kecepatan hingga lebih 40 knot serta handal untuk perang di lautan dekat pesisir, mampu menyapu ranjau laut dan menyerang kapal selam.

Setidaknya fakta-fakta di atas sudah bisa dijadikan mapping sementara tentang kondisi geopolitik Asia Pasifik menjelang friksi terbuka sebagaimana ramalan PNAC 2002, baik terkait implementasi String of Pearl atau dinamika kapal-kapal negara pesaing Cina, yaitu Amerika dan Australia. Dari sudut pandang strategis kepentingan nasional Cina di Laut Cina Selatan, implementasi string of pearls akan terkendala bila kelak memuncak friksi antara AS dan Cina karena penerapan strategi di atas mutlak melalui rute Selat Malaka.

Singapura dan Filipina yang dalam orbit AS niscaya menghambat gerak laju (pelayaran) Cina via selat tersebut. Oleh karena itu rute alternatif seperti Selat Sunda, Selat Lombok dan berbagai ALKI lain di Indonesia merupakan kebutuhan bagi Cina guna mempertahankan skema “energy security” selama ini.

Keserakahan ideologi kapitalisme ini yang saat ini diemban oleh dua negara  besar yaitu AS dan Cina sebagai dasar konflik. Satu-satunya cara menghadapi negara adikuasa ialah dengan negara yang sepadan yakni Khilafah. Karena Khilafahlah yang akan menerapkan syariah Islam yang akan menjadi musuh yang mampu menghadapi Kapitalisme dan yang akan menghancurkannya, karena itu penting bagi kita sama-sama ikut berdakwah mengajak umat untuk taat kepada syariah Allah dan menerapkannya dibawah naungan Khilafah.[]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*