Kepada Romo, saya memberikan contoh. Imam Samudra disebut teroris setelah ia meledakkan sepenggal jalan di Kota Denpasar dengan tiga ton bom yang mengakibatkan ratusan orang meninggal, ratusan orang luka-luka dan ratusan bangunan hancur. Di pengadilan, ia mengaku keliru. Ia menyangka pengunjung Sari Club di Jalan Legian Denpasar itu kebanyakan turis AS, tetapi nyatanya turis Australia. Untuk kesalahannya itu, ia telah dihukum mati. Sebaliknya, Presiden Bush yang telah menghancurkan bukan hanya sepenggal jalan di Kota Baghdad, tetapi seluruh Baghdad, bahkan seluruh Irak dengan ribuan ton bom, yang mengakibatkan bukan ratusan tetapi ratusan ribu orang tewas, bahkan menurut John Hopkins University, lebih dari 1,4 juta warga sipil meninggal akibat invasi AS, tidak diapa-apakan. Jangankan dihukum, disebut teroris pun tidak. Belakangan Bush pun mengaku keliru, karena senjata pemusnah massal (MDW), yang dijadikan alasan untuk menginvasi Irak, ternyata tidak ada. Bila untuk kesalahannya, Imam Samudra dihukum mati, apa hukuman untuk kesalahan Bush? Tidak ada.
Oleh karena itu, saya menyampaikan kepada Romo, penting untuk memiliki konstruksi dan definisi sendiri tentang terorisme, yang mandiri, yang lepas dari bias kepentingan Barat. Tanpa itu, kita akan terus menari di atas genderang orang lain. Kita juga akan terus menjadi suruhan Barat dalam apa yang mereka sebut war on terrorism. Atas nama perang melawan terorisme, AS seolah boleh melakukan apa saja. Korban terus berjatuhan. Kebanyakan adalah umat Islam. Negeri Islam seperti Irak dan Afganistan hancur. Adapun di dalam negeri, hingga kini telah lebih dari 121 orang, termasuk Siyono, ditembak begitu saja oleh Densus 88 tanpa jelas apa kesalahannya.
Meski setuju, menurut Romo, itu tidak mungkin dilakukan, karena diakui atau tidak Indonesia masih sangat bergantung pada Barat. Namun, dia setuju untuk membuat definisi sendiri tentang terorisme. Tanpa definisi yang mandiri itu, menurut dia, akan banyak keanehan terjadi. Ia menunjuk contoh. Dalam draft RUU Terorisme itu disebut siapa saja orang yang bergabung dengan organisasi yang melakukan usaha disintegrasi atau separatisme di negara lain dikategorikan terorisme. Adapun pihak yang terang-terangan melakukan kegiatan disintegrasi atau separatisme di dalam negeri justru tidak disebut terorisme. Jadi, RUU ini sebenarnya bakal melindungi kepentingan siapa?
Ketiga: Saya juga menyampaikan perlunya membedakan real terrorism dengan fabricated terrorism (terorisme buatan). Hal ini sangat penting diperhatikan, karena bila yang terjadi adalah real terrorism, artinya kita memang tengah menghadapi persoalan nyata. Karena itu harus ada penanganan serius untuk menyelesaikannya. Namun, bila fakta yang terjadi adalah fabricated terrorism (terorisme buatan), maka yang kita hadapi sebenarnya bukanlah para teroris, melainkan pihak yang telah merekayasa adanya teroris itu. Merekalah penjahat sesungguhnya. Celakanya, seperti rumor yang sudah lama berkembang, perekayasa itu diduga keras justru berasal dari kalangan aparat itu sendiri. Bila rumor ini benar, pantas saja terorisme di negeri ini tak pernah selesai.
Lepas dari rumor itu, saya menegaskan pentingnya dilakukan pengawasan dan audit terhadap aparat yang menangani masalah terorisme, dalam hal ini Densus 88. Terhadap Densus 88 harus dilakukan audit operasional dan keuangan karena disinyalir banyak operasi terorisme yang dilakukan secara tidak semestinya, bahkan menuju apa yang disebut fabricated terrorism (terorisme buatan) tadi. Kematian 121 orang menjadi bukti bagaimana penanganan terorisme di negeri ini telah berkembang menjadi teror tersendiri.
Menanggapi hal itu, Romo sependapat. Semua narasumber dan pihak dalam RDPU (Rapat Dengar Pendapat Umum), menurut dia, juga bersepakat tentang pentingnya pengawasan terhadap aparat, baik dalam masalah operasi maupun keuangan.
++++
Melihat respon Pak Syafii, terbit harapan adanya perbaikan dalam penanganan masalah isu terorisme di negeri ini yang telah memakan begitu banyak korban, termasuk untuk mencegah negeri ini terjerumus terlalu jauh dalam apa yang disebut war on terrorism yang hakikatnya adalah war on Islam.
Di atas segalanya, kita jelas mempunyai perhatian tinggi terhadap perlindungan nyawa manusia. Dalam hal ini, Islam telah dengan tegas melarang siapapun membunuh siapapun tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariah. Membunuh manusia tanpa haq, digambarkan oleh al-Quran, bagaikan membunuh manusia di muka bumi seluruhnya, yang saat ini berjumlah lebih dari 7 miliar. Apalagi membunuh seorang Muslim. Lebih berat lagi. Digambarkan oleh Rasulullah saw., hancurnya dunia bagi Allah lebih remeh daripada terbunuhnya seorang Muslim. Ironisnya, hari ini nyawa seorang Muslim justru tampak begitu murah. Atas nama pemberantasan terorisme, seorang Muslim seolah halal dibunuh begitu saja. Ini harus dihentikan. Tidak boleh dibiarkan. [HM Ismail Yusanto]