Islamofobia dan Syariahfobia


Seorang Inggris, Runnymede Trust mendefinisikan Islamofobia sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan umat Muslim. Orang yang terjangkit Islamofobia biasanya memiliki persepsi bahwa Islam tidak mempunyai norma yang sesuai dengan budaya lain, lebih rendah dibanding budaya Barat dan lebih berupa ideologi politik yang bengis daripada berupa suatu agama.
Adapun Syariahfobia adalah rasa takut dan kebencian terhadap syariah Islam dan menolak apapun yang berasal dari sumber hukumnya. Islamofobia sesungguhnya sudah ada sejak Rasulullah saw. diutus. Saat itu tokoh-tokoh kafir Quraisy menolak dakwah Rasulullah saw. dengan berbagai cara. Mereka mulai dengan cara yang halus yakni lobi dan tawaran harta, tahta dan wanita agar beliau menghentikan dakwah. Saat semua itu gagal, mereka mulai dengan cara yang kasar yakni “black campaign” dengan menyebut Rasulullah sebagai tukang sihir, lalu menganiaya hingga memboikot beliau dan pengikutnya selama sekitar tiga tahun.

Mengapa Muncul Islamofobia dan Syariahfobia?

Kita tahu, saat Rasulullah saw. diutus, masyarakat Arab Jahiliah sudah memiliki keyakinan dan tatanan tersendiri yang sudah berlangsung selama ratusan tahun. Bagi mereka, kedatangan Islam dan Muhammad saw. adalah ancaman terhadap eksistensi dan kedudukan mereka selama ini. Mereka memahami betul, Muhammad saw. datang membawa kebaikan. Mereka pun tidak bisa membantah kebenaran risalah yang dibawa oleh beliau. Namun, mereka pun tahu persis, bahwa lambat-laun tata kehidupan yang selama ini mereka pertahankan akan digantikan oleh Islam. Ini yang mereka khawatirkan.

Saat ini pun kurang lebih demikian. Para elit politik dan ekonomi mati-matian membela sistem Kapitalisme karena mereka sudah mapan dan dibuat nyaman dalam sistem tersebut. Mereka tahu persis, sistem Kapitalisme tidak membawa kebaikan untuk masyarakat luas. Namun, para elit ini khawatir jika sistem Kapitalisme yang selama ini memperkaya kehidupan mereka digantikan oleh sistem Islam, maka eksistensi dan kedudukan mereka pun bisa jadi terancam. Sesungguhnya mereka tahu, sistem Islam akan membawa perubahan ke arah yang lebih baik. Namun, karena alasan pragmatisme dan kepentingan dunia sesaat, mereka harus menolak Islam.

Di Balik Isu Toleransi

Berbicara toleransi sesungguhnya berbicara tentang sejarah gelap Eropa (baca: Barat) sebagai reaksi terhadap kondisi sosial dan politik saat itu. Mereka menyebut masa itu sebagai “zaman kegelapan” (the dark age), yakni ketika Gereja Kristen mendominasi tata kehidupan masyarakat. Mereka banyak melakukan penyelewengan dan penindasan kepada rakyat dengan mengatasnamakan agama. Gereja melakukan inquisisi, yakni hukuman kepada kaum yang disebut heretic (dicap menyimpang dari doktrin gereja), dengan bentuk penyiksaan yang kejam dan brutal.

Merespon kekejaman dan penindasan atas nama agama tersebut, Jhon Lock kemudian menggagas pentingnya toleransi dengan beberapa doktrin pemikiran. Pertama: Hukuman yang layak untuk individu yang keluar dari sekte tertentu bukanlah hukuman fisik melainkan cukup ekskomunikasi (pengasingan). Kedua: Tidak boleh ada yang memonopoli kebenaran sehingga satu sekte tidak boleh mengkafirkan sekte yang lain. Ketiga: Pemerintah tidak boleh memihak salah satu sekte sebab masalah keagamaan adalah masalah privat. Tiga doktrin inilah yang kemudian membentuk doktrin toleransi di dunia Barat.

Jelas sekali, istilah dan gagasan toleransi adalah respon dan reaksi atas kekejaman dan penindasan gereja dengan mengatasnamakan agama. Sayang, gagasan ini kemudian diekspor ke negeri-negeri Muslim dengan menjadikan agama Islam sebagai sasaran tembaknya. Seolah-olah ketika Islam berkuasa dan menerapkan syariah Islam akan terjadi penindasan sebagaimana yang dialami oleh Barat pada zaman kegelapan. Trauma sejarah inilah yang mereka tularkan kepada “intelektual” Muslim di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Karena itu mereka menolak segala bentuk penerapan dan formalisasi syariah Islam.

Padahal dalam sejarah penerapan syariah Islam selama berabad-abad lamanya, tidak pernah terjadi tragedi kelam sebagaimana yang dialami oleh bangsa Barat pada Abad Pertengahan. Sejarah penerapan syariah Islam adalah sejarah kegemilangan di berbagai aspeknya, termasuk kesetaraan perlakuan terhadap warga negara non-Muslim di wilayah kekuasaan Khilafah Islam.

Karena itu ketika mereka mengekspor gagasan toleransi ke negeri Muslim dan menjadikan intelektual Muslim sebagai agennya, selain salah alamat dan tak berdasar, kemungkinan besar ada motif jahat di baliknya, apalagi kalau bukan motif anti Islam dan anti syariah Islam.

Sederet bukti menunjukkan kepada kita akan hal tersebut. Dalam sejarah Indonesia, misalnya, gagasan Piagam Jakarta yang memuat poin “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” ditolak dengan alasan toleransi dengan pemeluk agama yang lain.

Contoh lainnya adalah penolakan dari kalangan sekular dan non-Muslim terhadap RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi yang dinilai kental bermuatan syariah Islam. Setelah terjadi kompromi, akhirnya konten UU tersebut berubah drastis sehingga akhirnya disahkan menjadi UU Pornografi dengan menghilangkan 2 kata pada judul, yakni “Anti” dan “Pornoaksi”. Alasan penolakannya adalah toleransi terhadap beberapa daerah di Indonesia yang pakaian tradisionalnya masih memperlihatkan aurat sebagaimana yang dimaksud di dalam Islam.

Contoh terakhir adalah penolakan terhadap RUU Minuman Beralkohol yang juga karena dianggap kental syariah Islam walaupun kemudian mereka menolak dengan alasan pariwisata, tenaga kerja dan toleransi terhadap agama yang membolehkan minuman beralkohol.

Di Balik Islamofobia dan Syariahfobia

Sesungguhnya isu toleransi hanyalah alat untuk menjegal penerapan syariah Islam dengan cara lebih santun dan lebih diterima semua kalangan. Adapun ide sesat di balik itu semua setidaknya ada tiga: Sekularisme, Hak Asasi Manusia (HAM) dan Pluralisme.

  1. Sekularisme.

Pada intinya sekularisme menolak agama dijadikan dasar negara. Agama hanya berfungsi mengatur urusan-urusan individual, moral dan ritual. Agama dilarang mencampuri urusan politik, ekonomi, pendidikan, sosial dan lainnya. Karena agama urusan pribadi, negara tidak boleh mencampuri keyakinan seseorang. Negara tidak boleh menghakimi keyakinan rakyatnya. Karena itu dalam negara sekular, tidak boleh ada hukum agama yang diterapkan secara formal untuk mengatur urusan masyarakat yang plural. Bagi kalangan sekular, penerapan hukum agama secara formal termasuk syariah Islam dianggap intoleran, alias mengusik toleransi antarumat beragama. Pandangan sekular di atas jelas ditolak oleh Islam sekaligus berbahaya. Bila pandangan ini diterima bukan hanya akan terjadi pengerdilan Islam. Islam akhirnya dibatasi pada urusan individual, ritual dan moral saja. Pada akhirnya, penerapan syariah Islam dalam berbagai bentuknya ditolak.

  1. HAM.

Ide Hak Asasi Manusia (HAM) berasal dari pandangan Barat yang menganggap tabiat manusia pada dasarnya adalah baik, tidak jahat. Kejahatan yang muncul dari manusia disebabkan oleh pengekangan terhadap kehendaknya. Oleh karena itu, kehendak manusia harus dibiarkan bebas lepas agar dia mampu menunjukkan tabiat baiknya yang asli. Dari sinilah muncul ide kebebasan (freedom) yang menjadi salah satu ide yang menonjol dalam ideologi Kapitalisme. Pandangan-pandangan tersebut menjadi dasar bagi apa yang disebut “kebebasan individu”—yang harus dipelihara—sebagai landasan HAM, yang meliputi kebebasan beragama (freedom of religion), kebebasan berpendapat (freedom of speech), kebebasan hak milik (freedom of ownership) dan kebebasan berperilaku (personal freedom). Oleh karena itu negara yang menganut prinsip HAM menolak penerapan syariah Islam karena dianggap intoleran dan mengekang kebebasan individu masyarakat. Pandangan ini jelas berbahaya dan bertentangan dengan Islam.

  1. Pluralisme.

Paham Pluralisme muncul didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan ‘klaim kebenaran’ (truth claim) yang dianggap menjadi pemicu munculnya sikap ekstrem, radikal, perang atas nama agama, konflik horisontal, serta penindasan atas nama agama. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya yang paling benar. Kaum pluralis juga akan menolak dominasi agama tertentu dalam sebuah masyarakat yang plural, termasuk menolak penerapan syariah Islam dalam sebuah negara, karena dianggap intoleran terhadap pemeluk agama lain dan dianggap bertentangan dengan Pluralisme. Paham ini pun jelas berbahaya dan bertentangan dengan Islam.

Toleransi dalam Pandangan Islam

Tudingan Barat dan kalangan sekularis bahwa Islam merupakan ajaran yang intoleran terhadap pemeluk agama lain sama sekali tidak beralasan, tidak sesuai dengan realitas sejarah dan bertentangan dengan konsep Islam dalam memperlakukan non-Muslim.

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam. Mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka.

Berikut ini merupakan konsep perlakuan Khilafah Islam terhadap warga negara non-Muslim:

  1. Non-Muslim berhak menjalankan kepercayaan mereka.

Di dalam Islam, Negara Islam tidak boleh memaksa non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 256). Namun, umat non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah Islam secara intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.

  1. Non-Muslim mengikuti aturan agama mereka dalam hal makanan dan pakaian.

Dalam hal makanan dan pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka. Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan, “Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariah.” Selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik, Negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun, bila, misalnya, seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras untuk umum, dia akan dihukum berdasarkan aturan syariah Islam.

  1. Urusan pernikahan dan perceraian antar non-Muslim dilakukan menurut aturan agama mereka.

Umat non-Islam diijinkan untuk saling menikah antarmereka berdasarkan keyakinan mereka. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau Rabi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka.

  1. Kesetaraan di hadapan hukum.

Di mata hukum, tidak ada perbedaan antara non-Muslim dan Muslim. Hakim (qâdhi) wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan menurut syariah semata, bukan menurut aturan lain. Banyak contoh yang menunjukkan bagaimana non-Muslim dapat mengalahkan seorang Muslim di pengadilan. Pada masa Khalifah Umar bin al-Khaththab ra., pernah sejumlah Muslim menyerobot tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas tanah tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu dzimmah. Khalifah Umar ra. kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.

Dalam kasus lainnya, pada masa pemerintahan Imam Ali ra., seorang Yahudi mencuri baju zirah milik Khalifah. Imam Ali ra. kemudian mengadukan Yahudi tersebut ke pengadilan dan membawa putranya sebagai saksi. Hakim menolak gugatan sang Khalifah dan menyatakan bahwa seorang anak tidak dapat dijadikan saksi dalam perkara yang melibatkan ayahnya di pengadilan. Setelah menyaksikan keadilan tersebut, si Yahudi kemudian mengaku bahwa ia memang mencuri baju tersebut. Ia akhirnya memeluk Islam.

  1. Kesamaan hak ekonomi.

Di dalam Khilafah Islam, “Non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab memiliki hak yang sama dengan Muslim untuk apapun yang berasal dari Baitul Mal.” Karena itu kaum miskin ahlu dzimmah pun berhak mendapatkan bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara).

Selain itu, dalam Negara Khilafah, siapa pun yang memiliki kewarganegaraan dan memiliki kemampuan, lelaki ataupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim, dapat dipilih sebagai direktur atau pegawai departemen administratif. Ini diambil dari aturan tentang pekerja (ijârah), yang membolehkan mempekerjakan orang, terlepas dari apa pun agamanya. Rasulullah saw. sendiri pernah mempekerjakan seorang lelaki non-Muslim dari Bani ad-Dail. Ini menunjukkan bahwa mempekerjakan seorang non-Muslim dibolehkan, sebagaimana mempekerjakan seorang Muslim.

  1. Non-Muslim memiliki hak politik.

Siapapun yang memiliki kewarganegaraan, bila ia dewasa dan berakal sehat, memiliki hak untuk menjadi anggota Majelis Umat. Dalam hal ini, dia memiliki hak untuk memilih anggota-anggota Majelis, baik perempuan maupun lelaki, baik Muslim maupun non-Muslim. Kaum non-Muslim berhak menjadi anggota Majelis Umat, untuk menampung aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa pada diri mereka, atau untuk mengoreksi kesalahan implementasi hukum Islam atas diri mereka.

Toleransi dan Keadilan Islam

Perlakuan adil Negara Khilafah terhadap non-Muslim bukan sekadar konsep, tetapi benar-benar diaplikasikan. Bukan juga berdasar pada tuntutan toleransi ala Barat melainkan karena menjalankan hukum syariah Islam. T.W. Arnold, dalam bukunya, The Preaching of Islam, menulis, “Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka. Perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen.”

Arnold kemudian menjelaskan, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh Pemerintahan Ottoman, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut, juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik. Kaum Protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam…Kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan.”WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Luthfi Afandi, SH, MH; (Humas DPD I HTI Jawa Barat)]

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*