Fakta di Balik Konferensi Meja Bundar
Sudah bukan jadi rahasia bahwa Belanda memperoleh berbagai kenikmatan saat menduduki Kepulauan Indonesia. Boleh dikata selama 3,5 abad berkuasa di Hindia Belanda, seluruh hasil bumi, bahan tambang, dan berbagai produk lainnya diangkut ke negerinya. Untuk kemudian dipasarkan ke Eropa, Amerika, dan pasaran dunia lainnya dengan keuntungan tinggi.
Pada 1942, Jepang membuat Belanda bertekuk lutut di Indonesia. Sementara negerinya diduduki Nazi. Sayangnya, banyak di antara kita yang tidak tahu perbaikan dan pembangunan kembali Negeri Belanda yang rusak berat setelah Perang Dunia II justru dibantu bangsa Indonesia.
Dalam Konferensi Meja Bunda (KMB) di Den Haag, Desember 1949, diputuskan, Belanda mendapat bayaran 4,5 miliar gulden dari Indonesia sebagai imbalan penyerahan kedaulatan. Lambert Gielbels, sejarawan Belanda, dalam sebuah tulisannya yang dikutip sebuah surat kabar di Ibu Kota mengungkapkan, sebenarnya Belanda menuntut 6,5 miliar gulden. Yang berarti uang yang digunakan untuk menindas bangsa Indonesia, termasuk dua agresi militernya selama revolusi fisik, justru harus dibayar pemerintah baru Indonesia.
Pembayaran hasil KMB itu berlangsung terus antara 1950-1956, sampai RI secara sepihak membatalkan persetujuan KMB karena menyadari persetujuan itu berat sebelah. Ketika itu Indonesia telah membayar pada Belanda 4 miliar gulden. Periode tersebut, menurut Gieberls, disebut sebagai “Keajaiban Belanda”. Namun, menurut dia, tidak disebutkan sama sekali hasil itu berkat sumbangan bekas tanah jajahannya.
Belanda Dituntut Minta Maaf kepada Indonesia
Yang menjadi pertanyaan, mengapa justru Indonesia yang harus membayar Belanda dan bukan sebaliknya? Pemerintah Indonesia sendiri selama ini tidak pernah menuntut permintaan maaf atas kekejaman dan penindasan yang dilakukan selama 350 tahun penjajahan, apalagi menuntut ganti rugi.
Namun, di negeri Belanda sejak lama terdengar banyak kalangan yang meminta agar pemerintahnya mau meminta maaf kepada Indonesia. Bahkan, ada yang berpendapat meminta maaf saja tidak cukup karena kerugian dan penderitaan bangsa Indonesia akibat penjajahan sangat besar, tidak dapat terhapus hanya sekadar maaf.
Seperti pada 1995, saat Ratu Beatrix dan suaminya, Pangeran Philip, berkunjung ke Indonesia. Ratu didesak rakyatnya agar mau meminta maaf selama ia berada di Indonesia. Memang, permintaan maaf itu tidak disampaikan. Ratu hanya meminta agar kedua negara mau melupakan peristiwa buruk yang pernah terjadi di masa lampau.
Indonesia Menggugat
Terhadap kekejaman penjajah Belanda itu, Bung Karno mengungkapkan, ketika diadili di depan pengadilan kolonial Bandung, 18 Agustus 1930. Ia memberikan judul “Indonesia Menggugat” dalam pembelaannya.
Bung Karno yang saat itu berusia 29 tahun telah menggugat politik kolonial Belanda, termasuk pengurasan 70 persen dari hasil bumi dan tambang Hindia Belanda yang dilarikan ke negeri mereka. Data-data kekejaman kolonial yang diungkapkan Bung Karno justru dikutip dari kalangan mereka sendiri.
“Tak ada satu negeri pun di dunia kelebihan ekspornya begitu tinggi seperti Hindia Belanda.” Pernyataan ini sebagai gugatan Bung Karno karena sedikit sekali barang impor yang masuk negeri jajahan.
Bagi rakyat Indonesia, baik imperialisme “tua” maupun imperialisme “modern”, kedua-duanya menyedot habis hasil bumi Indonesia. Pernyataannya ini menunjukkan, sejak masa JP Coen hingga sistem tanam paksa, dan kemudian pada masa modern, teror kolonial Belanda terhadap rakyat Indonesia tiada pernah henti.
Mengenai sistem tanam paksa atau cultuurstelsel yang diberlakukan oleh Gubernur Jenderal van der Bosh dan para penggantinya (1830 -1870), Bung Karno menggugatnya sebagai tindakan yang sampai kapan pun sukar dilupakan.
Kerja Rodi Sengsarakan Rakyat Indonesia
Sistem rodi yang ditakuti ini mengakibatkan puluhan ribu rakyat kita meninggal dunia, baik karena kelaparan maupun penyakit. Van der Bosh, karena dianggap berjasa telah menggemukkan uang pemerintah kolonial, mendapat gelar bangsawan Graaf, sebuah gelar yang sangat tinggi dari Kerajaan Belanda. Padahal, ia menari-nari di atas
bangkai beribu-ribu rakyat Indonesia yang harus mati di negerinya yang subur.
Di Grobogan, Jawa Tengah, dari 98 ribu penduduknya, tinggal 9.000 orang akibat sistem ini. Di Demak, dari 336 ribu penduduk hanya tinggal 120 ribu orang. Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, asisten Residen Belanda di Lebak (Banten), telah menyerang negaranya sendiri akibat sistem ini.
“Betul, Tuan Hakim. Kejahatan cultuurstelsel adalah kejahatan kuno, tetapi hati nasional kami tidak gampang untuk melupakannya,” tegas Bung Karno di hadapan pengadilan.
Willard A. Hanna, mantan pimpinan Kantor Penerangan AS (USIS) di Jakarta dalam buku Hikayat Jakarta mengemukakan betapa besarnya ekspor dari Hindia Belanda selama Perang Dunia I. Lebih dari 1 miliar dolar per tahun berupa bahan-bahan mentah.
Bahkan, tulis Hanna, pada zaman malaise atau resesi ekonomi (sekitar 1930-an), waktu nilai ekspor menurun jadi separuh, batas keuntungan masih demikian besarnya sehingga mereka yang berada dan kaya tidak kekurangan apa-apa. Karena itu, apalah salahnya kalau Belanda meminta maaf. (republika.co.id, 12/8/2016)