Pemerintah Indonesia diminta tidak menarik utang baru luar negeri karena hanya akan meningkatkan beban yang harus ditanggung rakyat.
“Selain membani rakyat, anggaran negara juga akan membengkak karena harus membayar utang dalam jumlah lebih besar,” kata Ketua Koalisi Anti Utang (KAU), Dani Setiawan, kepada ANTARA, di Jakarta, Minggu malam.
Menurut rencana, KAU bersama sejumlah organisasi non pemerintah Walhi, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Solidaritas Perempuan (SP), pada Senin (16/3) di Departemen Keuangan akan berorasi memberi masukan kepada pemerintah agar membatalkan pencairan dana “standby loan” dari Asian Development Bank (ADB).
Aksi ini juga untuk merespon rencana Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang akan menghadiri pertemuan G-20, April, di London, dan penyelenggaraan ADB Annual General Meeting di Bali, Mei 2009.
Menurut Dani, kebijakan pemerintah menarik utang baru tidak sensisitif terhadap krisis yang dialami rakyat terutama sektor energi, pangan dan finansial.
“Krisis yang dirasakan saat ini selain karena dampak global, juga karena persoalan utang luar negeri Indonesia yang terus membengkak,” ujarnya.
KAU menilai, bahwa pemerintah gagal mengurangi beban utang luar negeri, tercermin sejak tahun 2004 hingga 2009 stok utang bukan berkurang, tetapi terus bertambah.
Jika tahun 2004 utang luar negeri sekitar Rp200 triliun, maka pada tahun 2008 membengkak hingga Rp1.460 triliun.
Walaupun pemerintah mengkalim rasio utang terhadap PDB meningkat, namun kenyataannya beban utang penduduk per kapita saat ini mencapai Rp11 juta per orang, meningkat dibanding beban utang sebesar Rp5-8 juta pada tiga tahun sebelumnya.
Dani merinci, penambahan stok utang apalagi di tengah krisis seperti saat ini akan semakin membebani karena pinjaman tersebut juga mensyaratkan biaya seperti “commitmen fee”, up-fornt fee yang tidak kecil.
Untuk itu ujarnya, KAU mendesak pemerintah melakukan negosiasi dengan merevisi perjanjian dengan negara-negara donor.
Pasalnya diutarakan Dani, pemberian pinjaman tersebut merupakan instrumen ekonomi negara-negara neo liberalisme untuk menekan negara-negara berkembang termasuk Indonesia untuk menciptakan krisis berkepanjangan. (Antara New, 16/03/2009)