Pengantar Redaksi:
Saat ini sedang digalakkan kembali seruan bela negara. Bela negara tentu penting terutama dalam menghadapi ancaman dan musuh negara. Namun, yang lebih penting lagi adalah merumuskan terlebih dulu apa dan siapa sesungguhnya yang menjadi ancaman dan musuh negara. Sudah tepatkah negara menetapkan pihak-pihak yang mengancam dan menjadi musuh negara? Lalu bagaimana cara menghadapi ancaman dan musuh negara tersebut? Bagaimana pula bela negara menurut Islam?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), M. Ismail Yusanto. Berikut hasil wawancaranya.
Bagaimana bela negara menurut pandangan Ustadz?
Pada dasarnya setiap warga negara memang punya kewajiban untuk membela negaranya. Ibarat rumah, negara adalah tempat seluruh warga negaranya hidup, bernaung atau berlindung, yang semestinya tidak boleh diganggu atau terancam oleh pihak manapun. Karena itu penghuninya harus selalu menjaga dan membela. Jadi seruan bela negara yang sekarang sedang ramai digalakkan sesungguhnya hal yang wajar belaka. Bahkan memang semestinya itu harus terus didengungkan.
Hanya saja, yang jadi soal, dalam kerangka apa bela negara itu diserukan. Maksudnya, bila negara ini harus dibela, dari ancaman apa dan dari siapa yang dianggap lawan atau musuh.
Menurut Ustadz, apa sebetulnya yang menjadi ancaman dan musuh negara?
Sejauh ini saya menilai identifikasi terhadap ancaman terhadap negara ini belum beranjak dari kerangka lama, yakni yang disebut ancaman ekstrem kiri yang datang dari paham komunisme dan ekstrem kanan yang datang dari apa yang mereka sebut Islam radikal. Dalam kerangka ini, liberalisme dan kapitalisme yang melahirkan neoimperialisme, yang nyata-nyata telah mengancam negara ini, tidaklah dianggap sebagai ancaman. Karena itu Barat, tempat paham liberalisme dan kapitalisme berasal, sekaligus yang menggunakan paham itu untuk menjajah negara-negara berkembang termasuk Indonesia melalui model penjajahan baru, tidak dianggap sebagai lawan. Barat malah dianggap kawan, bahkan penolong.
Apa akibat dari kesalahan dalam menentukan ancaman dan siapa yang menjadi musuh itu?
Ya jadi kebalik-balik, jadi paradoks dan ironi. Akibatnya tentu saja sangat fatal. Pasalnya, teman dijadikan musuh, sementara musuh sebenarnya malah dijadikan teman. Kalau begitu, kapan ancaman dan lawan akan bisa diatasi, ya, kan?
Dampak selanjutnya, seruan bela negara menjadi kabur. Tak jelas. Ibarat prajurit yang diperintah bersiap ke medan tempur, mereka tak tahu persis siapa yang harus ditembak.
Saat ini banyak paradoks. Rakyat disuruh bela negara, tetapi Pemerintah menyerahkan tanah air kepada asing. Bicara nasionalisme, tetapi disintegrasi Papua dibiarkan. Bicara bela Negara, tetapi kebijakan penguasa malah menyusahkan rakyat. Mengklaim anti penjajahan, tetapi penjajah justru diundang. Mengapa itu bisa terjadi?
Ya, itu tadi, karena salah identifikasi. Yang semestinya dianggap lawan dan ancaman malah dianggap kawan. Begitu sebaliknya. Kenyataannya lagi, sebagian besar, kalau tidak boleh disebut seluruhnya, penguasa di negeri-negeri Muslim naik ke tampuk kekuasaannya berkat dukungan negara Barat. Kalau sudah begitu, mana bisa mereka kemudian melawan tuannya? Akhirnya, muncul banyak paradoks atau ironi tadi. Hal itu tampaknya akan terus berlanjut mengingat kerangka pandang siapa kawan dan siapa lawan serta ancaman masihlah dalam kerangka lama, seperti yang tadi disebut.
Paradoks atau ironi yang amat menyedihkan adalah ketika negara yang mayoritas Muslim ini justru menjadikan Islam (mereka sebut Islam radikal) sebagai ancaman. Bagaimana bisa agama yang mereka peluk itu, yang dipercaya sebagai agama yang benar dan akan membawa keselamatan dunia akhirat, justru dianggap sebagai ancaman? Menyedihkan sekali, kan?
Dalam konteks bela negara, apakah dalam Islam ada yang disebut semangat kebangsaan?
Bergantung pada apa yang dimaksud dengan semangat kebangsaan itu. Bila semangat kebangsaan diartikan sebagai kecintaan pada tanah kelahiran, dan semangat pembelaan dari segala bentuk ancaman, dalam Islam hal itu dibolehkan. Bahkan Islam mewajibkan setiap Muslim untuk membela bangsa dan negaranya dari serangan musuh dan segala hal yang akan membahayakan bangsa dan negaranya itu. Rasulullah saw. pun sangat mencintai Makkah. Ketika harus meninggalkan tanah kelahirannya untuk hijrah ke Madinah, beliau tampak sangat bersedih. Beberapa tahun kemudian, beliau kembali ke Makkah untuk membebaskan kota itu dari penguasaan kaum kafir Quraisy. Ini yang dikenal dengan peristiwa Fathu Makkah (Penaklukkan Makkah).
Akan tetapi, bila semangat kebangsaan adalah pembelaan terhadap sekularisme, maka jelas Islam menolak keras.
Bagaimana sebenarnya konsep bela negara dalam Islam? Apa wujud nyata bela negara dalam Islam itu?
Dalam pandangan Islam, negara dengan segenap kewenangannya adalah institusi yang mutlak diperlukan, selain individu dan kelompok, untuk penerapan syariah secara kâffah agar terwujud rahmatan lil ‘alamin berupa keadilan, kesejahteraan, kedamaian, ketenteraman, kesucian dan sebagainya. Oleh karena itu, umat Islam wajib mewujudkan negara seperti itu. Bila negara sudah terwujud, maka umat Islam wajib untuk mempertahankan keberadaan negara itu. KH Hasyim Asy’ari dalam Resolusi Jihad-nya yang dikeluarkan pada pada 22 Oktober 1945, menyatakan bahwa membela kemerdekaan Indonesia sebagai negeri Muslim dari kaum penjajah adalah kewajiban syar’i. Inilah jihad, yang diperintahkan Allah SWT, dan pelakunya sangat dimuliakan.
Menurut cucu KH Hasyim, KH Salahuddin Wahid, fatwa atau resolusi itu telah mendorong puluhan ribu Muslim untuk bertempur melawan Belanda yang berlindung di balik tentara Inggris. Tanpa resolusi itu, mungkin semangat jihad melawan Belanda dan sekutu tidak terlalu tinggi. Itulah salah satu jasa pesantren dalam membela negara Indonesia.
Mengenai kewajiban untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 190, jelas sekali terdapat perintah untuk melawan orang-orang yang menyerang kita. “Perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kalian, (tetapi) janganlah kalian melampaui batas karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” Usaha mempertahankan diri ini disebut jihad difâ’i (defensif).
Mengenai jihad membela negeri Muslim, Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan, “Mazhab kami berpendapat, hukum jihad sekarang ini adalah fardu kifayah, kecuali jika kaum kafir menyerang negeri kaum Muslim, seluruh kaum muslim diwajibkan berjihad (fardhu ‘ain). Jika penduduk negeri itu tidak memiliki kemampuan (kifayah untuk mengusir mereka), seluruh kaum Muslim wajib berjihad hingga kewajiban itu tersempurnakan (mengusir orang kafir).
Menyadari kewajiban itu, jauh sebelum kemerdekaan, perlawanan terhadap penjajah pun selalu terjadi. Peperangan yang terjadi pada abad ke-19 melawan Belanda tidak lain juga didorong oleh semangat “jihad” melawan para penjajah. Ketika Pangeran Diponegoro memanggil sukarelawan, kebanyakan dari mereka yang tergugah adalah para ulama dan ustadz dari pelosok desa. Begitu juga pemberontakan petani menentang penindasan yang berlangsung terus-menerus sepanjang abad ke-19 selalu di bawah Bendera Islam. Perlawanan yang dilakukan oleh Tengku Cik Di Tiro, Teuku Umar dan diteruskan oleh Cut Nyak Dien dari tahun 1873-1906 adalah jihad melawan kape-kape Belanda yang menyengsarakan umat Islam. Begitu juga dengan perang Padri. Sebutan padri menggambarkan bahwa perang ini merupakan perang keagamaan.
Bila negara yang ada belum berfungsi sebagaimana mestinya menurut ajaran Islam, maka kita wajib mengubahnya ke arah yang benar, dan selanjutnya berusaha agar negara itu terus tumbuh berkembang semakin maju dan kuat. Inilah dakwah amar makruf nahi mungkar. Inilah konsepsi bela negara dalam Islam yang diuraikan secara sederhana.
Apa ancaman dan musuh yang sebenarnya bagi rakyat dan negara saat ini?
Secara riil, saat ini ada dua ancaman utama terhadap negeri ini, yakni sekularisme yang makin memurukkan negeri ini dan neo-imperialisme atau penjajahan model baru yang dilakukan oleh negara adikuasa.
Sejak Indonesia merdeka, lebih dari 60 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekular, baik bercorak sosialistik pada masa Orde Lama maupun kapitalistik pada masa Orde Baru dan neo-liberal pada masa reformasi. Dalam sistem sekular, aturan-aturan Islam atau syariah memang tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja, misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian. Sebaliknya, dalam urusan sosial kemasyarakatan, agama (Islam) ditinggalkan. Karena itu tengah-tengah sistem sekularistik tadi lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Itulah tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik dan machiavellistik, budaya hedonistik yang amoralistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Alhasil, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi. Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 70 tahun merdeka, sekarang ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup makin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus menerus terjadi. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorong dia untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa makin meningkat tajam. Tak mengherankan bila oleh AFP Indonesia dinobatkan sebagai negara paling liberal setelah Rusia. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 70 tahun merdeka, hidup kok makin susah.
Ancaman kedua: neo imperialisme. Indonesia memang telah merdeka. Namun, penjajahan ternyata tidaklah berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa untuk tetap melanggengkan dominasi mereka atas Dunia Islam, termasuk terhadap Indonesia, demi kepentingan ekonomi dan politik mereka tetap bergelora. Neo-imperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen hutang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk membantu negara berkembang, tetapi sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik. Penentuan pejabat, misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan “tuan-tuan’ mereka. Demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, tidak segan mereka merancang aturan dan membuat kebijakan yang merugikan negara. Lihatlah UU Kelistrikan yang telah dianulir oleh Mahakamah Konstitusi, juga UU Migas dan UU Penamanan Modal yang penuh dengan kontroversi. Lihat pula penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, juga pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir 9 tahun lalu. Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.
Sungguh-sungguh memikirkan problem negeri mencari solusinya yang benar, apakah termasuk bela negara?
Iya, jelas. Itu merupakan bentuk kongkret dari bela negara, seperti yang HTI lakukan dengan menyampaikan pandangan atau solusi Islam tentang berbagai persoalan. Bahkan sejatinya inilah bentuk bela negara yang benar saat ini; bukan sekadar penyelenggaraan acara-acara seremonial disertai slogan-slogan bela Negara, tetapi di belakang itu banyak orang melakukan hal yang sebaliknya.
Apakah bisa dikatakan apa yang dilakukan HTI selama ini sebenarnya merupakan wujud nyata semangat bela negara itu meski HTI tidak berkoar-koar bela negara?
Ya, betul sekali. Bukan hanya membela, HTI bahkan ingin menyelamakan bangsa dan negara ini dari ancaman dan lawan yang nyata. Bila Sosialisme yang pernah diterapkan pada masa Orde Lama, lalu Kapitalisme pada masa Orde Baru dan neoliberalisme hingga sekarang telah gagal membawa negara ini ke arah yang dicita-citakan, kemana lagi kita akan mengadu bila tidak pada Islam, melalui penerapan syariah secara kâffah di bawah naungan Khilafah? Syariahlah yang akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat sistem sekular. Adapun Khilafah akan menghentikan ancaman neo-imperialisme yang kini tengah menimpa negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, yang dilakukan oleh negara adikuasa. Kejahatan adikuasa hanya mungkin bisa dihentikan oleh kekuatan adikuasa juga. Itulah Khilafah.
Jadi, aneh banget kalau ada yang bilang HTI mengancam negara. Mereka yang menuduh begini ini, termasuk golongan salid dan gaham. Salah identifikasi dan gagal paham.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh kaum Muslim dalam konteks bela negara itu ke depan?
Teruslah berjuang untuk melawan neoliberalisme dan neoimperialisme serta penguasa zalim yang tidak amanah. Itulah ancaman nyata terhadap bangsa dan negara ini sekaligus lawan yang harus disingkirkan. Teruslah berjuang untuk tegaknya syariah dan Khilafah karena inilah yang akan sungguh-sunggh menyelamatkan bangsa dan negara ini. Inilah bela negara yang sesungguhnya. Bukan yang lain. []