Oleh: Umar Syarifudin (Syabab Hizbut Tahrir Indonesia)
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menilai beberapa hari ini publik diperlihatkan dengan berbagai peristiwa yang bukan hanya mencoreng komitmen Presiden Joko Widodo untuk penegakan hukum dalam kasus kebakaran hutan dan lahan, namun juga mengusik rasa keadilan bagi publik.
Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dikeluarkan oleh Kepolisian Daerah dengan berbagai alasan, antara lain tidak cukup bukti. Namun di ruang yang lain, penangkapan besar-besaran dilakukan terhadap masyarakat kecil, seakan tidak ada kompromi. Lemahnya wibawa negara di hadapan korporasi juga ditunjukkan dengan peristiwa penyanderaan petugas KLHK dan penghalangan sidak Badan Restorasi Gambut.
Walhi menilai bahwa dari hulu hingga hilir, korporasi melakukan berbagai tindak kejahatan, baik kejahatan lingkungan maupun kejahatan kemanusiaan. Di hulu, di berbagai kasus yang diadvokasi oleh Walhi, korupsi dilakukan untuk mendapatkan izin.
Dalam analisa yang Walhi lakukan bersama dengan organisasi masyarakat sipil lainnya menemukan, berbagai bentuk modus operandi kejahatan korupsi yang dilakukan oleh perusahaan. Korporasi juga melakukan kejahatan dalam rantai produksinya, dalam land clearing dengan membakar yang mengakibatkan penghancuran ekosistem, kematian, dampak kesehatan masyarakat yang buruk, kerugian negara dan kerugian non materi lainnya.
Walhi juga mempertanyakan peran penegak hukum dalam hal ini Kepolisian dalam kasus-kasus struktural lingkungan hidup, terutama dalam kasus kebakaran hutan dan lahan. (republika.co.id 9/9/2016)
Berdasarkan pemberitaan dari situs mongabay.co.id (22/6/2013), sebelumnya, World Resources Institute telah merilis sebuah data terkait kebakaran hutan yang terjadi di hutan Sumatera. Data ini memperlihatkan lokasi-lokasi kebakaran yang terjadi pulau Sumatera, dan menurut pihak WRI ada pola-pola khusus yang terjadi dalam kebakaran hutan ini. Secara umum, hanya sedikit api yang muncul di kawasan lindung dan beberapa lokasi penebangan pilih. Sebagian besar kebakaran hutan bersumber dari lokasi perkebunan HTI (Hutan Tanaman Industri) dan perkebunan kelapa sawit.
Masih maraknya praktek tebang habis dan membakar lahan menyebabkan lokasi-lokasi ini sangat rentan terjadi kebakaran lahan.
Lewat data yang didapat dari Active Fire Data milik NASA dan peta konsesi milik Kementerian Kehutanan RI, World Resources Institute berhasil menemukan beberapa catatan penting di lokasi kebakaran hutan saat ini.
- Sebagian besar peringatan bahaya kebakaran hutan berada di propinsi RIau, dan sebagian besar berada dalam batas perkebunan HTI dan kelapa sawit. Sekitar 52% dari total api yang muncul dalam kebakaran ini, berada di dalam wilayah konsesi. Sementara, di lokasi hutan lindung jumlah titik api jauh lebih sedikit.
- Dalam data WRI, dua konsesi perusahaan dari grup Sinar Mas dan Raja Garuda Mas mendominasi jumlah titik api yang ditemukan. Dua grup ini menguasai lebih dari 50% titik api yang terjadi di dalam peta kebakaran hutan di Riau.
- Dalam peta ini titik api bisa terbaca secara jelas dan lokasinya mampu diidentifikasi dengan baik oleh satelit, namun peta ini tidak bisa menunjukkan penyebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan. Lembaga pemerintah terkait harus melakukan investigasi lebih lanjut untuk mencari penyebab terjadinya kebakaran di titik-titik api yag dimaksud.
Jargon demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat” adalah utopis. Faktanya, sebagaimana diketahui oleh umum, partisipasi dalam demokrasi membutuhkan dana besar. Dalam konteks inilah politisi kemudian membutuhkan kucuran dana segar dari kelompok bisnis. Kolaborasi penguasa dan pengusaha akhirnya menjadi pilar penting dalam sistem demokrasi.
Semakin lama Indonesia tenggelam dalam format corporation state. dalam negara korporasi tak ubahnya perusahaan yang hanya memikirkan keuntungan. Rakyat pun diposisikan layaknya konsumen dan negara sebagai penjual. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa dilepaskan dari sistem pemerintahannya: demokrasi. Dengan demikian negara korporasi telah mengubah demokrasi menjadi: “dari korporasi, oleh korporasi dan untuk korporasi”.
Asing telah menguasai pengelolaan sumberdaya alam negeri ini. Liberalisasi finansial dan investasi akan membuat asing makin leluasa menguasai semua sektor kehidupan negeri ini. Penguasaan asing yang besar di sektor SDA, perdagangan, industri, kehutanan, perkebunan, perbankan, telekomunikasi, dan sektor lainnya akan makin dalam. Pembukaan ruang yang lebar bagi investor asing untuk turut membangun infrastruktur baik jaringan kereta api, jalan, pelabuhan, transportasi dan sebagainya akan memperdalam penguasaan asing di negeri ini. Dengan itu, berbagai pelayanan publik akan berada di bawah penguasaan swasta (asing).
Dengan semua itu negeri ini akan makin dicengkeram oleh korporasi/perusahaan (asing). Korporasi-korporasi asing akan bisa semakin dalam memengaruhi kebijakan negeri ini mulai dari perumusan hingga penerapannya. Semua gambaran itu menunjukkan penjajahan atas negeri ini akan terus terjadi bahkan makin dalam. Lawan kezaliman![]