Labbaik Allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wan ni’mata laka wal mulk laa syarika lak (Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, aku penuhi panggilan-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu, aku penuhi panggilan-Mu. Sesungguhnya segala puji, nikmat, dan kerajaan bagi-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu).
Ucapan talbiyah dilantukan lebih dari 2 juta jamaah haji dari seluruh dunia. Mereka berkumpul di Makkah Mukarramah sebagai tamu Allah, untuk memuji Allah SWT, mengakui seluruh nikmat yang dilimpahkan Allah SWT kepada manusia, dan mengakui seluruh kekuasaan hanyalah milik Allah semata.
Ucapan talbiyah yang bukan hanya dibacakan oleh manusia, juga diikuti seluruh makhluk hidup maupun yang tidak bernyawa. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Tidaklah seorang Muslim menyampaikan talbiyah, kecuali ikut bertalbiyah juga di kanan kirinya, dari bebatuan, pepohonan, dan makhluk bernyawa, hingga berbagai belahan di sini dan di sini (maksudnya di kanan dan kiri).” (HR. Tirmizi, no. 828 dan Ibnu Khuzaimah)
Banyak pelajaran yang bisa kita ambil dari ibadah haji ini, yang terpenting di antaranya adalah persatuan umat. Inilah umatnya Rasulullah SAW yang dipersatukan oleh akidah Islamiyah, tidak ada sekat-sekat yang menghalangi, semuanya merupakan hamba Allah SWT yang tunduk kepada Allah. Semuanya memakai pakaian ihram yang sama, putih tanpa jahitan, tanpa memandang bangsa, ras, warna kulit kekayaan, maupun jabatan. Bergerak bersama dengan arah yang sama saat melaksanakan thawaf mengelilingi Ka’bah, berjalan bersama antara bukit Shafa dan Marwa saat melaksanakan sa’i. Wukuf di tempat yang sama di Arafah, pada hari yang sama 9 Dzulhijjah. Melempar jumrah dengan cara yang sama, di waktu dan tempat yang sama. Subhanallah.
Sungguh ini mencerminkan persatuan umat Islam. Namun sayangnya, persatuan ini hanya tampak saat menunaikan ibadah haji. Setelah selesai ibadah haji, umat Islam kembali ke negara masing-masing. Dibelenggu oleh sekat-sekat negara bangsa (nation state), seolah tidak saling kenal, dan tidak saling peduli. Berhala nasionalisme telah memecah belah umat Islam. Akibatnya, meskipun jumlah umat Islam lebih dari 1,5 milyar di seluruh dunia, namun lemah tak berdaya.
Meskipun jumlah kita 1,5 milyar, kita tidak bisa membebaskan umat Islam di Palestina dari penjajahan Yahudi yang jumlahnya tidak lebih dari 6 juta orang. Umat Islam begitu lemah membebaskan penderitaan rakyat Suriah yang dibantai penguasanya sendiri. Tidak banyak berbuat, ketika penjajahan Amerika, Inggris dan sekutu-sekutunya Barat-nya, menduduki, menjajah, dan membunuhi umat Islam di Irak, Pakistan, dan wilayah-wilayah lainnya.
Dari ibadah haji kita bisa melihat apa sesungguhnya yang menjadi kunci dari persatuan umat. Pertama, jelas, persatuan umat membutuhkan dasar dan ikatan yang sama, yaitu akidah Islam. Inilah yang melebur dan mempersatukan umat Islam di seluruh dunia. Berbeda dengan saat ini umat diikat dengan persatuan yang sempit dan lemah, nasionalisme! Atas prinsip akidah Islam ini, jutaan umat Islam bisa berkumpul dan bergerak bersama saat menunaikan ibadah haji. Atas dasar yang sama, prinsip tauhid la ilaha illa Allah, Muhammadurrasulullah, umat Islam bersatu.
Kedua, persatuan membutuhkan kesatuan aturan (an nidzam). Mustahil umat Islam bersatu, kalau hidup kita tidak diatur oleh aturan yang satu, yaitu syariah Islam. Kenapa saat thawaf, jamaah haji bergerak berlawanan dengan jarum jam sebanyak tujuh kali putaran? Kenapa jamaah haji berkumpul bersama, di tempat dan waktu yang sama di Arafah pada 9 Dzulhijjah? Tidak lain, karena semuanya tunduk kepada syariah Islam. Untuk bisa bersatu secara politik, ekonomi, sosial budaya, maupun negara, umat Islam juga membutuhkan aturan yang satu dan sama, itulah syariah Islam.
Ketiga, sangatlah jelas perkara persatuan membutuhkan kepemimpinan yang satu. Saat menunaikan shalat berjamaah di depan Ka’bah, semuanya berbaris teratur rapi, merapatkan shaf, takbir, rukuk, sujud, hingga salam secara bersama-sama. Kuncinya, karena saat shalat berjamaah ada satu imam shalat yang diikuti. Pemimpin yang satu inilah yang saat ini hilang di tengah-tengah umat Islam di seluruh dunia. Satu pemimpin yang dipatuhi oleh umat Islam, bukan hanya dalam masalah ibadah ritual,namun juga secara ekonomi, politik, sosial, hukum dan kenegaraan.
Tidaklah mengherankan kalau para ulama di samping mewajibkan umat Islam memiliki khalifah sebagai pemimpin tapi juga mewajibkan umat Islam hanya dipimpin oleh khalifah yang satu. Imam an-Nawawi dalam Syarh an-Nawâwî ‘alâ Shahîh Muslim menegaskan: “Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diakadkan baiat kepada dua orang khalifah pada satu masa, baik wilayah Negara Islam itu luas ataupun tidak.”.
Inilah relevansi, kenapa umat Islam membutuhkan khalifah yang satu untuk seluruh duni. Tidak lain untuk menyatukan umat Islam di seluruh dunia. Tanpa kesatuan kepemimpinan, bagaimana umat Islam bisa bergerak bersama. Dengan keberadaan khalifah yang satu, umat Islam akan patuh dan taat pada pemimpin yang satu. Khalifah-lah yang akan menggerakkan tentara-tentara umat Islam, tanpa melihat bangsa, ras, maupun warna kulitnya, untuk membebaskan Palestina, sebagaimana yang dilakukan panglima perang Shalahuddin al Ayyubi. Khalifah pula yang membebaskan umat Islam yang tertindas di Syam, seperti yang dilakukan Abu Ubaidah bi Al Jarah saat membebaskan Damaskus, atas perintah Khalifah Umar bin Khaththab ra. Kita tentu merindukan hal ini, karenanya kita harus pastikan, kita menjadi bagian dari umat yang memperjuangkannya. Allahu Akbar! []Farid Wadjdi