Muhammad Rahmat Kurnia: Radikal Itu Istilah Netral

muhammad-rahmat-kurnia
Pengantar Redaksi:
Isu radikalisme dan terorisme kembali diangkat ke permukaan. Tujuannya, apalagi jika bukan untuk terus memojokkan Islam dan kaum Muslim, terutama mereka yang selama ini istiqamah memperjuangkan tegaknya syariah dan Khilafah.Apa sebetulnya latar belakang isu ini diangkat terus ke permukaan? Mengapa pula istilah radikal dan teroris selalu dilekatkan kepada kaum Muslim? Sebaliknya, mengapa tindak kekerasan oleh negera, termasuk AS, yang bahkan telah menimbulkan jutaan korban jiwa di sejumlah negeri Muslim tidak dianggap sebagai terosime?

Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewawancarai salah seorang anggota DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Muhammad Rahmat Kurnia. Berikut hasil wawancaranya.

 

Mengapa kelompok Islam yang ingin memperjuangkan syariah dan Khilafah kerap dituduh radikal oleh kelompok liberal?

Ada beberapa hal yang penting untuk kita pahami. Pertama: Kelompok liberal adalah kelompok yang pro Amerika dan menyebarkan nilai-nilai Barat. Dalam menyebarkan ideologi Kapitalisme, AS menggunakan strategi dengan mendukung jaringan Muslim moderat dan liberal di satu sisi, dan menghancurkan apa yang mereka sebut sebagai Islam radikal di sisi lain. Tentu, radikal yang mereka definisikan sendiri sedemikian rupa sehingga berkonotasi negatif.

Kedua: Kezaliman neoliberalisme dan neoimperialisme di berbagai belahan dunia ini telah nyata. Satu-satunya yang dipandang memberikan ancaman bagi Barat adalah Islam yang diterapkan dalam kehidupan. Itulah syariah dan Khilafah. Mereka meyakini Khilafah akan tegak. Sebut saja, NIC (National Inteligent Council/Dewan Intelijen Nasional) menulis dalam laporannya tahun 2004, The Global Future Mapping 2020, bahwa bakal berdiri The New Islamic Chaliphate (Khalifah Islam yang baru) sebagai salah satu kekuatan dunia pada 2020. “Berdirinya kembali Khalifah Islam, sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan tantangan pada norma-norma dan nilai-nilai global Barat,” tulisnya.

Demikian pula, Prof. Noah Feldman, Dosen Law School, Harvard University, dalam bukunya, The Rise and The Down of Islamic State, menyebutkan “Dapat ditegaskan bahwa meningkatnya dukungan rakyat (Islam) terhadap syariah Islam dewasa ini—meskipun pernah mengalami keruntuhan—akan dapat mengantarkan pada terwujudnya Khilafah Islamiyah yang sukses.”

Dengan demikian, syariah dan Khilafah dianggap membahayakan Barat. Sebab, dengan syariah dan Khilafah umat Islam bersatu. Nilai-nilai Barat akan diganti dengan nilai-nilai Islam. Barat diambang kebangkrutan.

Jadi, tidak mengherankan apabila kelompok liberal ini selalu memojokkan para pejuang syariah dan Khilafah dengan tuduhan radikal. Tujuannya, agar umat Islam menjauh dan tidak mendukung. Siapa yang diuntungkan? Barat dan para pendukungnya.

 

Beberapa ide yang sering dikaitkan dengan pemikiran radikal adalah: syariah, Khilafah dan jihad? Mengapa ide ini sering dipersoalkan?

Beberapa tahun silam The Washington Times pernah menulis: “Though it certainly has spiritual elements, it would be a mistake to think of Shariah as a ‘religious’ code in the Western sense because it seeks to regulate all manner of behavior in the secular sphere — economic, social, military, legal, and political.”

Ini menggambarkan ketakutan Barat, jika syariah Islam diterapkan akan mencakup semua aspek ekonomi, sosial, militer, hukum, dan politik. Bila ini terjadi, tatanan kehidupan sekularisme-kapitalisme terancam. Penjajahan melalui berbagai bidang yang selama ini dilakukan AS, misalnya, tidak dapat lagi dilakukan. Jadi wajar bila syariah Islam dianggap ancaman bagi tatanan politik ekonomi Barat. Padahal bagi manusia secara keseluruhan, syariah Islam itu merupakan rahmatan lil ‘alamin.

Khilafah terbukti dalam sejarah sebagai pelindung umat Islam. Secara imani, sebagaimana sabda Nabi saw., Khilafah adalah benteng (junnah). Dengan Khilafah umat Islam yang selama ini terpecah-belah akan menyatu. Negeri-negeri Muslim seperti Palestina, Pakistan, Irak, Suriah dan sebagainya yang dijajah oleh negara-negara Barat adikuasa saat ini tidak ada yang membela. Bila Khilafah berdiri, Khilafah yang akan melawan negara penjajah tersebut serta membebaskan negeri-negeri Muslim tersebut dari cengkeraman Barat. Khilafah akan berdiri membela umat manusia di hadapan kezaliman negara adikuasa saat ini.

Lalu dengan semangat jihad, umat Islam tidak takut mati dalam menghadapi penjajahan. Umat Islam akan siap mengorbankan apapun termasuk nyawanya demi membela Islam.

Pemikiran terkait syariah, Khilafah dan jihad ini akan merobohkan hegemoni imperialisme negara Barat. Itulah sebabnya, mereka memandang ketiga ajaran Islam ini sebagai ajaran berbahaya. Tentu bahaya untuk mereka, tetapi penyelamat bagi umat Islam dan umat manusia secara keseluruhan. Ingat, pihak yang diinjak-injak oleh penjajahan Barat bukan semata umat Islam, melainkan juga umat manusia secara umum.

 

Kelompok radikal dituding berpikiran sempit, tekstual, hitam-putih, tidak toleran. Bagaimana menurut Ustadz?

Tudingan ini merupakan bagian dari stigma (cap negatif) yang dilekatkan pada pejuang Islam. Bila mereka mempelajari dan membaca buku-buku pihak yang mereka tuduh tersebut dengan jujur, misalnya buku-buku Hizbut Tahrir, niscara mereka akan menemukan betapa di dalamnya terdapat cakrawala berpikir yang luas. Bukan sekedar tekstual (manthûq) melainkan juga ada mafhûm dan konteksnya. Bila terkait iman-kufur, itu hitam putih. Kan tidak ada setengah iman setengah kufur. Namun, banyak persoalan-persoalan yang memungkinkan banyak pendapat. Dalam masalah qath’i jelas hitam-putih, tetapi dalam masalah zhanni tidak.

Tidak toleran? Kalau yang dimaksud adalah tidak toleran terhadap zina, minuman keras, pembunuhan dan penyimpangan terhadap aturan Islam, iya. Itu bukan tidak toleran, tetapi sikap konsisten terhadap ajaran Islam. Siapa yang melarang orang Kristen Natalan? Tidak ada. Siapa yang memaksa mereka masuk Islam? Tidak ada. Justru, orang-orang liberal itu yang tidak toleran. Tudingan negatif seperti itu merupakan salah satu bukti mereka tidak toleran.

 

Kelompok liberal berupaya membangun opini, bahwa pemikiran radikal Islam ini berbahaya, karena menjadi jalan menuju teroris?

Mereka berupaya untuk membuat definisi radikal itu menjurus pada kekerasan dan mengaitkannya dengan teroris. Tujuannya, bila radikal itu dipandang menyatu dengan kekerasan maka masyarakat akan menjauhinya, dan pada saat yang bersamaan tangan kekuasaan dapat digunakan untuk memberangus mereka. Ini adalah politik jahat. Membuat definisi tendensius untuk memaksa penguasa memberangus para pejuang Islam dengan tangan besi.

Bila mereka jujur, apa yang mereka tudingkan dengan teroris itu ada yang merupakan fabricated terrorist, teroris yang sengaja dibuat. Banyak bukti bertebaran dalam berbagai penelitian tentang hal tersebut. Pada sisi lain, coba tengok, Ikhwanul Muslimin dicap teroris di Mesir. Padahal mereka pemenang Pemilu. Perlawanan Hamas di Palestina dituding teroris. Padahal mereka melawan penjajah.

Jadi, tindakan yang mereka sebut ‘terorisme’ tersebut sebagai bentuk perlawanan terhadap ketidakadilan, kezaliman dan penjajahan. Tentu gegabah melinierkan hubungan ‘radikal’ dengan ‘teroris’. Sekadar contoh, Hizbut Tahrir (HT) mereka cap radikal. Faktanya, sejak tahun 1953 hingga kini tidak ada satu pun tindak kekerasan yang HT lakukan.

 

Bukankah ada kelompok yang melakukan pengeboman seperti di masjid di areal kantor polisi Cirebon, yang diketahui ingin memperjuangkan syariah dan Khilafah?

Adanya kemiripan tentang sesuatu tidak boleh digeneralisasi. Mungkin saja ada satu-dua yang memiliki keyakinan demikian, namun tidak boleh di-gebyah-uyah. Jangan sampai mengatakan mentimun sama dengan semangka hanya karena daunnya sama-sama hijau, dan kulit buahnya sama-sama licin.

 

Kita tahu, tudingan radikal dan teroris selama ini sering ditujukan kepada umat Islam. Bagaimana dengan kelompok-kelompok di luar Islam?

Itulah ketidakadilan. Bila pelakunya Muslim langsung dituduh radikal dan teroris. Namun, bila pelakunya non-Muslim disebut kriminal biasa. Charles Kurzman, peneliti terorisme dari Universitas North Carolina, AS menyatakan, “Penegak hukum sebenarnya menyadari bahwa ancaman ekstremis Muslim kepada keamanan negara ini tidak sebesar kaum sayap kanan radikal.”

Data yang dilansir surat kabar The New York Times, Kamis (25/6/2015), membuktikan mayoritas terorisme di Amerika Serikat non-Muslim atau malah warga kulit putih biasa.

Di samping itu, mengapa Bush tidak disebut teroris, padahal dia telah membunuh ribuan rakyat Pakistan, misalnya? Jadi, tudingan itu lebih banyak bersifat politis untuk membungkam perjuangan Islam.

 

Sebenarnya radikal itu keliru atau tidak?

Radikal itu tidak selalu berkonotasi buruk. Secara Bahasa dalam Kamus Bahasa Indonesia, radikal bermakna: secara mendasar (sampai kepada hal yang prinsip), amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir atau bertindak. Dulu, kaum penjajah mengecap pihak pejuang sebagai radikal dengan konotasi negatif. Bukankah Pangeran Diponegoro dulu dituduh Belanda sebagai orang radikal? Nah, saat ini istilah radikal disematkan pada Islam dengan makna negatif, persis seperti dulu penjajah menyematkannya kepada Pangeran Diponegoro.

Di sisi lain, kita mengenal dulu ada yang namanya Radicale Concentratie (Perhimpunan Radikal) yang berupaya melawan Belanda. Masyarakat memandang organisasi ‘radikal’ tersebut dengan makna positif. Jadi, sebenarnya tidak perlu risau dituding radikal.

Toh, itu tudingan untuk membungkam suara kebenaran Islam.

 

Hizbut Tahrir kerap dituding radikal meskipun tak angkat senjata. Namun, pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir dituding mendorong orang lain untuk melakukan tindakan teror?

Ini adalah tudingan keji yang sengaja dibuat untuk menghentikan dakwah penegakkan syariah dan Khilafah. Tidak ada pemikiran-pemikiran Hizbut Tahrir yang mendorong tindakan teror. Mereka tidak mampu menemukan satu pun bukti bahwa Hizbut Tahrir melakukan kekerasan, akhirnya ditudinglah sebagai pendorong orang lain melakukan tindak kekerasan. Bila setiap pemikiran dianggap pendorong tindak teror maka yang paling layak disebut pendorong tindak teror tersebut adalah AS. Bukankah perlawanan tersebut karena ketidakadilan AS, pembunuhan oleh AS di negeri-negeri Muslim seperti Pakistan, kekejaman di Guantanamo?

Memang, Hizbut Tahrir menjelaskan hukum syariah tentang kewajiban jihad mengusir penjajahan Barat dari negeri kaum Muslimin di Irak, Palestina, Afganistan; menjelaskan juga tentang keutamaan mati syahid. Namun, Hizbut Tahrir telah menetapkan garis perjuangannya yang bersifat fikriyah (pemikiran), siyasiyah (politik), dan ghayru ‘unfiyah (tanpa kekerasan).

 

Bukankah, pemikiran Hizbut Tahrir memang radikal?

Bila radikal dalam arti negatif, jelas tidak. Namun, bila radikal dalam pengertian mendasar dan positif, ya.

 

Apa yang harus dilakukan umat untuk menyikapi tudingan radikal ini?

Tudingan ini bagian dari perang pemikiran, opini untuk menjauhkan Islam dari umatnya, dan menjauhkan umat dari Islamnya. Cara menyikapinya? Ikuti sikap Rasulullah saw. saat dituduh tukang sihir, ahli syair, bahkan gila. Anjing menggonggong kafilah tetap berlalu! []

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*