Islam dan Politik


Hubungan Islam dan politik kembali ramai dibicarakan, seperti saat menjelang Pilkada DKI. Seruan menolak pemimpin kafir dituduh sebagai seruan SARA yang tidak pantas, apalagi kalau dibahas dalam khutbah-khutbah Jumat, ceramah agama, termasuk ibadah haji. Mereka menyebut hal itu sebagai “politisasi agama” yang berbahaya. Pemimpin harus dilihat dari kinerjanya, bukan dari agamanya, ujar mereka.
Sudah sejak lama, upaya memisahkan Islam dengan politik dilakukan secara sistematis dan gencar. Berbagai argumentasi disampaikan. Agama itu suci, sementara politik itu kotor. Kalau politik dikaitkan dengan agama, itu akan mengotori agama. Demikian kata mereka. Ada juga yang mengatakan, Islam bukanlah agama politik, tetapi agama ibadah dan akhlak.

Sekali lagi kita perlu menegaskan bahwa Islam dan politik tidak bisa dipisahkan. Pertama: Islam adalah agama syâmil (menyeluruh) yang mengatur berbagai aspek kehidupan. Syariah Islam bukan hanya mengatur masalah ibadah ritual, moralitas (akhlak), ataupun persoalan-persoalan individual. Syariah Islam juga mengatur mu’âmalah seperti politik, ekonomi, sosial-budaya, pendidikan, dsb. Islam pun mengatur masalah ‘uqûbah (sanksi) maupun bayyinah (pembuktian) dalam pengadilan Islam. Bukti dari semua ini bisa kita lihat dalam kitab-kitab fikih para ulama terkemuka yang membahas perbagai persoalan mulai dari thaharah (bersuci) hingga Imamah/Khilafah (kepemimpinan politik Islam).

Dalam al-Quran, Allah SWT, bukan hanya mewajibkan shaum Ramadhan, kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (QS al-Baqarah [2]: 183), tetapi juga mewajibkan hukum qishâsh dalam perkara pembunuhan, kutiba ‘alaykum al-qishâsh (QS al-Baqarah [2]: 78). Di dalam QS al-Baqarah [2]: 216 Allah SWT pun mewajibkan perang (jihad) dengan firman-Nya: kutiba ‘alaykum al-qitâl. Menurut para mufassir, semua frasa kutiba ‘alaykum dalam ayat-ayat tersebut memberikan makna furidha ‘alaykum.

Al-Quran juga tak hanya membahas shalat, aqim ash-shalah (QS al-Baqarah [2]: 43), tetapi juga bicara ekonomi saat menghalalkan perdagangan dan mengharamkan riba (QS al-Baqarah [2]: 275], juga mewajibkan pendistribusian harta secara adil di tengah masyarakat (QS al-Hasyr [59]: 7).

Kedua: Apa yang dipraktikkan langsung oleh Rasulullah saw. saat menjadi kepala negara di Madinah, menunjukkan hal yang jelas, bahwa Islam dan politik tidak dipisahkan. Tampak jelas peran Rasulullah saw. sebagai kepala negara, sebagai qâdhî (hakim) dan panglima perang. Rasul saw. pun mengatur keuangan Baitul Mal, mengirim misi-misi diplomatik ke luar negeri untuk dakwah Islam, termasuk menerima delegasi-delegasi diplomatik dari para penguasa di sekitar Madinah.

Masjid Nabawi sendiri, pada masa Rasulullah saw., bukan hanya digunakan untuk urusan ibadah ritual, tetapi juga menjadi tempat Rasulullah saw. bermusyawarah bersama para Sahabatnya untuk membicarakan segala urusan rakyatnya, termasuk mengatur strategi perang. Hingga kini di Masjid Nabawi berdiri kokoh ustuwanah wufud (tiang delegasi). Di sinilah Rasulullah saw. menerima tamu-tamu kenegaraan. Posisinya paling ujung dari sudut mihrab tahajud. Terdapat pula ustuwanah haris (tiang penjaga). Di sinilah Ali bin Abi Thalib mengawal Rasulullah saw. dan ditugasi menyampaikan pesan kepada para tamu.

Pentingnya penyatuan hubungan Islam dan politik ini dinyatakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, “Agama dan kekuasaan adalah dua saudara kembar…Agama adalah pondasi (asas) dan kekuasaan adalah penjaganya. Segala sesuatu yang tidak punya pondasi niscaya akan roboh dan segala sesuatu yang tidak memiliki penjaga niscaya akan musnah.”

Senada dengan itu, Ibnu Taymiyah menegaskan, “Jika kekuasaan terpisah dari agama atau jika agama terpisah dari kekuasaan, niscaya keadaan manusia akan rusak.” (Ibnu Taimiyah, Majmû’ al-Fatawa, XXVIII/394).

Bagaimana dengan tudingan politisasi agama? Perlu kita tegaskan bahwa menggunakan agama sebagai dasar politik dan pengaturan politik bukanlah politisasi agama. Itulah yang memang diperintahkan oleh Islam. Yang layak disebut “politisasi agama” adalah saat agama digunakan untuk kepentingan politik jangka pendek memenangkan Pemilu, lalu setelah menang Pemilu agama kemudian ditinggalkan. Inilah yang selama ini terjadi. Elit-elit politik cenderung mendadak islami menjelang Pemilu; mulai dari pakai kopiah (meskipun tidak selalu mencerminkan Islam), shalat Jumat sampai kunjungan ke pesantren dan majelis taklim. Setelah menang Pemilu, wassalam. Mereka tetap menolak Islam sebagai dasar pengaturan politik dengan berbagai alasan.

Demikian pula adanya fakta politik yang kotor. Itu terjadi justru karena politik tidak diatur berdasarkan syariah Islam, tetapi berdasarkan ideologi Kapitalisme, yang menjadikan manfaat dan pragmatisme sebagai asas terpenting. Politik hanya ditujukan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi demi mempertahankan kekuasaan politik. Dalam politik seperti ini sikap pragmatisme, menghalalkan segala cara, menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan dari politik.

Politik kapitalis yang kotor ini memberikan jalan bagi para perampok negara seperti yang dilakukan Freeport. Jalan rampok legal ini merupakan produk sistem demokrasi. Tidak mengherankan pula, saat rakyat miskin, segelintir orang menguasai kekayaan yang sangat banyak. Berdasarkan laporan Bank Dunia pada 15 Desember 2015, sebanyak 74 persen tanah di Indonesia dikuasai oleh 0,2 persen penduduk. Ini termasuk penguasaan lahan 5 juta hektar oleh Grup Sinar Mas yang pernah dinobatkan sebagai orang terkaya di Indonesia.

Dalam carut-marut politik seperti saat ini, kesalihan individual elit politik tentu tidak cukup dijadikan dasar pilihan politik; tidak cukup pula untuk menyelesaikan masalah bangsa dan negara ini. Sebab, masalah bangsa dan negara berakar pada sistemnya, yakni sistem Kapitalisme. Inilah yang menjadi pangkal kerusakan dan kehancuran negara ini.

Karena itu kita membutuhkan bukan sekadar pemimpin yang soleh secara individual, namun juga ideologi dan sistem yang sahih. Itulah ideologi dan sistem Islam yang diterapkan dalam segala aspek kehidupan. Itulah Khilafah Rasyidah ‘ala minhâj an-nubuwwah. AlLâhu Akbar! [Farid Wadjdi]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*