[Al-Islam No. 826-13 Muharram 1438 H / 14 Oktober 2016]
Sebagaimana diberitakan oleh banyak media belakangan ini, khususnya media sosial, Ahok dituding telah menistakan al-Quran. Hal itu dia lakukan di hadapan masyarakat saat kunjungannya ke Kepulauan Seribu. Saat itu, sebagaimana bisa disaksikan di Youtube, Ahok menyatakan, “Jadi jangan percaya sama orang. Kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu enggak bisa pilih saya, karena dibohongin pake Surat al-Maidah 51 macem-macem itu. Itu hak bapak ibu ya. Jadi kalau bapak ibu perasaan enggak bisa pilih nih, karena saya takut masuk neraka, dibodohin gitu ya, enggak apa-apa.” (Republika.co.id, 10/10).
Sebagaimana diketahui, Allah SWT di dalam QS al-Maidah ayat 51 memang secara tegas telah melarang kaum Muslim untuk menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka. Ayat inilah yang dituding Ahok sering dijadikan alat untuk membohongi dan membodohi umat Islam agar tidak mau memilih pemimpin kafir, seperti dirinya.
Kontan, reaksi keras bermunculan dari berbagai komponen umat Islam terhadap sikap Ahok yang telah menistakan al-Quran itu. Bahkan muncul petisi penolakan terhadap Ahok di Change.org. Hingga 6 Oktober 2016 saja, petisi online yang mengecam Ahok telah ditandatangani oleh 40.237 orang (Tempo.co, 6/10).
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dalam pernyataan resminya tanggal 7 Oktober 2016, juga mengecam keras pelecehan al-Quran oleh Ahok ini sekaligus menuntut agar Ahok dihukum berat. Puncaknya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Selasa (11/10/2016) juga menyatakan sikap tegasnya, yang langsung ditandatangi oleh Ketua Umum MUI, KH Ma’ruf Amin. Di dalam pernyataan sikapnya, MUI antara lain menyatakan: (1) Al-Quran surah al-Maidah ayat 51 secara eksplisit berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin. Ayat ini menjadi salah satu dalil larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin; (2) Ulama wajib menyampaikan isi surah al-Maidah ayat 51 kepada umat Islam bahwa memilih pemimpin Muslim adalah wajib; (3) Setiap orang Islam wajib meyakini kebenaran isi surah al-Maidah ayat 51 sebagai panduan dalam memilih pemimpin; (4) Menyatakan bahwa kandungan surah al-Maidah ayat 51 yang berisi larangan menjadikan Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin adalah sebuah kebohongan, hukumnya haram dan termasuk penodaan terhadap al-Quran; (5) Menyatakan bohong terhadap ulama yang menyampaikan dalil surah al-Maidah ayat 51 tentang larangan menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin adalah penghinaan terhadap ulama dan umat Islam.
Berdasarkan hal di atas, demikian dinyatakan MUI, maka pernyataan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dikategorikan: (1) menghina al-Quran dan atau (2) menghina ulama yang memiliki konsekuensi hukum.
Menanggapi tuduhan tersebut, Ahok berkilah, “Saya tidak menyatakan penghinaan al-Quran. Saya tidak mengatakan al-Quran bodoh. Saya hanya katakan kepada masyarakat di Pulau Seribu, kalau kalian mau dibodohi oleh orang rasis pengecut menggunakan ayat suci itu dengan tujuan tidak milih saya, silakan jangan milih,” ujar Ahok (Detik.com, 7/10).
Namun, karena amat derasnya arus kecaman dari berbagai komponen umat Islam, Ahok akhirnya meminta maaf. Menanggapi itu, MUI mendesak Kepolisian tetap menindaklanjuti laporan dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok. Menurut MUI, dengan ucapan permintaan maaf Ahok terkait ucapannya itu tidak berarti masalah selesai. Ahok harus tetap mempertanggungjawabkan perbuatannya (Tempo.co, 10/10).
Menistakan al-Quran: Dosa Besar!
Al-Quran adalah kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Setiap Muslim wajib memuliakan dan mensucikan al-Quran. Hal ini telah disepakati oleh para ulama. Karena itu siapa saja yang berani menghina al-Quran berarti telah melakukan dosa besar! Jika pelakunya Muslim, dia dihukumi murtad dari Islam. Allah SWT berfirman:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ – لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Jika kamu bertanya kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sungguh, kami hanya bersenda-gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kalian selalu menistakan? Kalian tidak perlu meminta maaf karena kalian telah kafir setelah beriman.” (TQS at-Taubah [9]: 65-66).
Terkait ayat di atas, Imam Ibnu Qudamah al-Maqdisi berkata, “Siapa saja mencaci Allah SWT telah kafir, sama saja dia lakukan dengan bercanda atau serius. Begitu juga orang yang mengejek Allah, ayat-ayat-Nya, para rasul-Nya, atau kitab-kitab-Nya.” (Ibn Qudamah, Al-Mughni, 12/298-299).
Imam an-Nawawi pun tegas menyatakan, “Ragam perbuatan yang menjatuhkan seseorang pada kekafiran adalah yang muncul dengan sengaja dan menghina agama Islam secara terang-terangan.” (An-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn, 10/64).
Hal yang sama ditegaskan oleh Qadhi Iyadh, “Ketahuilah, siapa saja yang meremehkan al-Quran, mushafnya atau bagian dari al-Quran, atau mencaci-maki al-Quran dan mushafnya, ia telah kafir (murtad) menurut ahli Ilmu.” (Qadhi Iyadh, Asy-Syifâ, II/1101).
Dalam kitab Asnâ al-Mathalib dinyatakan, Mazhab Syafii telah menegaskan bahwa orang yang sengaja menghina—baik secara verbal, lisan maupun dalam hati—kitab suci al-Quran atau Hadis Nabi saw. dengan melempar mushaf atau kitab hadis di tempat kotor, dia dihukumi murtad.
Inilah hukum syariah yang juga disepakati oleh para fukaha dari kalangan Hanafi, Maliki, Hanbali dan berbagai mazhab lainnya.
Tindak Tegas Penista al-Quran!
وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ
Jika mereka merusak sumpah (perjanjian damai)-nya sesudah mereka berjanji dan mereka mencerca agama kalian, perangilah para pemimpin kaum kafir itu (TQS at-Taubah [9]: 12).
Dalam ayat yang mulia ini, Allah SWT menyebut orang kafir yang mencerca dan melecehkan agama Islam sebagai gembong kafir, alias bukan sekadar kafir biasa. Sebagian ulama berdalil dengan ayat ini atas kewajiban untuk memerangi setiap orang yang mencerca agama Islam karena ia telah kafir (Lihat: al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, 8/84).
Karena itu segala bentuk penistaan terhadap Islam dan syiar-syiarnya sama saja dengan ajakan berperang. Pelakunya akan ditindak tegas oleh Khilafah. Seorang Muslim yang melakukan penistaan dihukumi murtad dan dia akan dihukum mati. Jika pelakunya kafir ahludz-dzimmah, dia bisa dikenai ta’zir yang sangat berat; bisa sampai dihukum mati. Jika pelakunya kafir yang tinggal di negara kufur seperti AS, Eropa dan sebagainya, maka Khilafah akan memaklumkan perang terhadap mereka untuk menindak dan membungkam mereka. Dengan begitu, siapapun tidak akan berani melakukan penodaan terhadap kesucian Islam.
Rasulullah saw. sebagai kepala Negara Islam juga pernah memaklumkan perang terhadap Yahudi Bani Qainuqa’—karena telah menodai kehormatan seorang Muslimah—dan mengusir mereka dari Madinah, karena dianggap menodai perjanjian mereka dengan negara. Khalifah al-Mu’tashim pun pernah mengerahkan puluhan ribu pasukan Muslim untuk menindak tegas orang Kristen Romawi yang telah menodai seorang Muslimah. Mereka diperangi hingga sekitar 30 ribu pasukan Kristen tewas dan 30 ribu lainnya berhasil ditawan. Selain itu, wilayah Amuriyah yang sebelumnya dikuasai Romawi jatuh ke tangan kaum Muslim. Tindakan tegas juga ditunjukkan oleh Khilafah Utsmani saat merespon penghinaan kepada Nabi saw. oleh seniman Inggris. Saat itu Khilafah Utsmani mengancam Inggris dengan perang jihad. Akhirnya, mereka pun tak berani berbuat lancang.
Khatimah
Alhasil, keberadaan Khilafah untuk melindungi kesucian dan kehormatan Islam, termasuk kitab suci dan Nabinya, mutlak diperlukan. Demikian sebagaimana ditegaskan oleh Imam al-Ghazali dalam Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd.
Karena itu jika saat ini umat Islam tidak memiliki Khilafah, sementara para penguasa mereka saat ini tidak melakukan tugas dan tanggung jawab untuk membela agama Allah SWT, bahkan berlomba memerangi Allah dan Rasul-Nya demi kerelaan kaum kafir, maka kewajiban umat Islam saat ini adalah menegakkan kembali Khilafah dengan membaiat seorang khalifah. Khilafahlah yang akan menerapkan al-Quran dan as-Sunnah, menegakkan syariah sekaligus menjaga kekayaan, kehormatan dan kemuliaan umat Islam sehingga mereka tidak akan pernah dihinakan lagi. Rasul saw. bersabda:
ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ ﺟُﻨَّﺔٌ ﻳُﻘََﺎﺗَﻞُ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَﺍﺋِﻪِ ﻭَﻳُﺘَّﻘَﻰ ﺑِﻪِ
Imam (Khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya (HR Muslim).
Tanpa Khilafah, al-Quran tidak ada yang melindungi. Penistaan terhadap kitab suci itu akan terus berulang, bahkan di negeri kaum Muslim sendiri, sebagaimana terjadi saat ini. Andai saja Khilafah ada, niscaya penistaan demi penistaan seperti ini tidak akan terjadi. Karena itu sejatinya kita segera bergerak untuk secara bersama-sama mewujudkan kembali perisai/pelindung Islam dan kaum Muslim, yakni Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. []
Komentar al-Islam:
Wakil Ketua DPR: Penegakan Hukum Kasus Ahok Harus Jalan Terus (Republika, 11/10).
- Sepakat, Ahok harus dibuat kapok!
- Tak hanya Ahok, siapapun yang berani menistakan al-Quran, harus dihukum berat, bahkan bisa dihukum mati, sesuai dengan ketentuan syariah Islam.
- Karena itu menegakkan syariah Islam harus menjadi prioritas umat Islam saat ini.