MUI Riau Tolak Kehadiran Nasr Abu Zayd

Mejelis Ulama Indonesia (MUI) Riau, menolak kehadiran Nasr Hamid Abu Zayd, intelektual Mesir yang pernah divonis murtad ulama-ulama besar.

Hidayatullah.com— Umat Islam dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Riau menyatakan menolak kehadiran Nasr Hamid Abu Zayd. Penolakan itu dilakukan oleh MUI Riau melalui rilis bernomor A-187/MUI-R/XI/2007 yang dikirimkan ke redaksi www.hidayatullah.com, Jumat siang ini. Dalam siaran pers yang dikirim ke redaksi, MUI keberatan dengan kehadiran tokoh yang selama ini paling dipuja-puja dan banyak dijadikan rujukan kaum liberal itu.

Semula, pihak Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Agama memang menjadwalkan akan menghadirkan Abu Zayd dalam acara Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII, yang secara resmi telah dibuka oleh Menteri Agama, H. Maftuh Basuni pada Rabu malam 21 November di hotel Sahid Pekan Baru.

Sebagaimana diketahui, Nasr Hamid Abu Zayd, adalah intelektual Mesir yang pernah divonis murtad oleh para ulama besar di negerinya.

Akibat penolakan yang begitu besar dari umat Islam Riau, Abu Zayd akhirnya batal hadir. Dalam pidato sambutan pembukaan ACIS VII, Direktur Pendidikan Tinggi Islam Depag RI, Prof. Dr. Abdurrahman Mas’ud, MA, menjelaskan bahwa Abu Zayd tidak bisa datang karena satu hal. Namun katanya, Abu Zayd berjanji akan hadir pada acara International Seminar di UNISMA Malang, 26 November minggu depan.

Nasr Hamid Abu Zayd adalah tokoh liberal yang pendapat-pendapatnya sangat ekstrim, sehingga dia divonis murtad oleh Mahkamah Mesir. Dia lalu melarikan diri ke Leiden University.

Dari sanalah, dengan dukungan negara-negara Barat, dia mulai mendidik beberapa dosen UIN/IAIN. Beberapa muridnya sudah kembali ke Indonesia dan menduduki posisi-posisi penting di UIN/IAIN.

Di Indonesia, para penghujat Al-Quran di kampus-kampus UIN/IAIN hampir selalu menjadikan Abu Zayd sebagai rujukan. Dalam hasil penelitiannya terhadap perkembangan paham-paham keagamaan Liberal di sekitar kampus UIN Yogyakarta, Litbang Departemen Agama menulis:

“Al-Quran bukan lagi dianggap sebagai wahyu suci dari Allah SWT kepada Muhammad saw, melainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi) sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah hermeneutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini dianggap telah melenggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kurikulum resmi di UIN/IAIN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan oleh perguruan tinggi Islam di nusantara ini hermeneutika makin digemari.” (Lebih lengkap tentang kekeliruan pemikiran Abu Zayd bisa dilihat dalam buku “Al-Qur’an Dihujat“, karya Henri Shalahuddin, MA (GIP, Jakarta: Mei 2007).

Sebelumnya, MUI Riau bersama MUI pusat telah menghimpun data-data pelecehan dan penghujatan Al-Quran di lingkungan UIN/IAIN.

Karena itulah, MUI Riau sangat berkeberatan dengan kehadiran orang-orang seperti Abu Zayd dan antek-anteknya yang secara jelas-jelas telah begitu melecehkan Kitab Suci Al-Quran. Pola pikir orientalis Yahudi-Kristen sangat mewarnai tulisan-tulisan di berbagai jurnal, tesis, buku, dan artikel-artikel para penghujat Al-Quran tersebut.

Dalam acara ACIS VII ini pun, sekali pun Abu Zayd tidak datang, tetapi buku karya murid kesayangannya, yaitu Dr. M. Nur Kholis Setiawan (dosen UIN Yogyakarta, yang disertasinya diterbitkan dengan judul ”Al-Quran Kitab Sastra Terbesar”, telah diproyekkan untuk dibagikan kepada semua peserta ACIS VII.

Yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah relevansinya bagi kemajuan studi Al-Qur’an di Indonesia sehingga buku Nur Kholish itu dijadikan proyek untuk dimiliki semua peserta? [mui/cha/www.hidayatullah.com]

Sumber: http://hidayatullah.com

2 comments

  1. Hatim Gazali

    Berbeda dengan Agustus 2004 yang lalu, kehadiran Abu Zayd tahun ini mendapat respon negatif di Menteri Agama Maftuh Basyuni dan Majelis Ulama Indonesia.
    Intelektual asal Mesir itu gagal menyampaikan pemikiran-pemikiran progresifnya dihadapan peserta International Conference di Malang dan Annual Conference on Islamic (ACIS VII) Studies di UIN Riau. Ini tentu sangat ironis. Agustus 2004 yang lalu, Abu Zayd tidaklah menghadapi hal seperti ini. Maklum saja yang mengundang adalah ICIP dan JIL.

  2. apakah relevansinya bagi kemajuan studi Al-Qur’an di Indonesia sehingga buku Nur Kholish itu dijadikan proyek untuk dimiliki semua peserta?

    Ya biar semua peserta tahu: keren kan kalo jadi agen barat.. Bukunya pasti terbit dan brani gratisin lagi. Uangnya melimpah. Kalo ide liberal makin berkembang, kan kehidupan ekonomi para agen makin maju. itulah maksud kemajuan itu. itulah relevansinya…

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*