[Al-Islam No. 827; 20 Muharram 1438 H – 21 Oktober 2016]
Penghinaan terhadap Islam, sebagaimana yang dilakukan oleh Ahok beberapa waktu lalu sebenarnya bukan hal yang pertama. Di Tanah Air, sebelum kasus Ahok yang menistakan al-Quran terkait surat al-Maidah ayat 51, penghinaan terhadap simbol-simbol Islam terus terjadi. Ada sandal bercorak lafal Allah/Muhammad, sajadah untuk menari, terompet dari cover al-Quran, cetakan kue berlafalkan ayat-ayat al-Quran, bungkus petasan berlafalkan ayat-ayat al-Quran, celana ketat bermotif kaligrafi surat al-ikhlas dan lain-lain.
Bahkan jauh sebelum semua itu, pada tahun 1990, Arswendo Atmowiloto, pimpinan redaksi Tabloid Monitor, juga pernah melakukan penistaan terhadap Nabi Muhammad saw. Saat itu Monitor—yang merupakan tabloid gosip dan hiburan murahan, yang sering mengumbar foto perempuan seksi dengan segmen pembaca kalangan menengah ke bawah—memuat hasil survey (jajak pendapat) pembacanya terkait “tokoh idola”. Hasil jajak pendapat itu menempatkan nama Nabi Muhammad saw. di peringkat ke-11 di bawah beberapa nama lain yang diidolakan pembaca. Pencantuman nama Rasulullah saw. di urutan ke-11 inilah—bahkan di bawah nama Arswendo yang berada di urutan ke-10—yang memicu kemarahan umat Islam saat itu. Akhirnya, gerakan massa yang mendemo Arswendo dan Tabloid Monitor (Penerbit Kompas-Gramedia Grup) tak terbendung hingga berhasil mendorong aparat menggirim Asrwendo masuk penjara selama 5 tahun. Tabloid Monitor pun dicabut ijinnya dan ditutup oleh Pemerintah sejak saat itu.
Di luar negeri, Islam, al-Quran dan Rasulullah saw. juga sering mengalami penghinaan secara berulang. Tahun 1989, misalnya, pernah terbit buku The Satanic Verses tulisan Salman Rushdie yang menggambarkan al-Quran sebagai ayat-ayat setan. Tahun 1994, bulan September, dirilis film True Lies garapan sutradara Yahudi Steven Spielberg, yang menggambarkan Islam pimpinan Abdul Aziz sebagai teroris yang memimpin organisasi teror Crimson Jihad‘. Tahun 1997, seorang wanita Yahudi Israel, Tatyana Suskin (26), membuat dan menyebarkan 20 poster yang menghina Islam dan Nabi Muhammad saw. Di antaranya ada poster seekor babi yang mengenakan kafiyeh ala Palestina. Di kafiyeh itu tertulis dalam bahasa Inggris dan Arab kata: Muhammad. Dengan pensil di kukunya, babi itu tampak tengah menulis di atas sebuah buku berjudul: Al-Quran. Tahun 2002. Dimuat tulisan jurnalis Nigeria, Isioma Daniel, tentang Rasul dan Miss World. Tahun 2004, dirilis film ‘dokumenter’ garapan produser film asal Belanda, Theo van Gogh, yang menghina Islam dan Muhammad. Tahun 2005, al-Quran pun dimasukkan ke WC di penjara rahasia Amerika Guantanamo oleh serdadu AS. Tahun ini juga Koran Jyllands-Posten menerbitkan kartun-kartun yang menghina Rasulullah saw. Dalam kartun itu Rasulullah Muhammad saw. digambarkan sebagai seorang Badui yang membawa pedang dan menenteng ‘bom’, diapit oleh dua orang perempuan bercadar hitam di sebelah kiri dan kanannya. Bahkan dalam salah satu kartun itu Rasulullah saw. digambarkan sebagai orang yang bersorban, yang di sorbannya terselip bom (terlihat dari bentuk dan sumbunya). Sebetulnya, masih banyak lagi penghinaan terhadap Islam, al-Quran dan Nabi Muhammad saw. yang dilakukan oleh kaum kafir.
Akar Masalah: Sekularisme
Penghinaan terhadap Allah SWT, al-Quran, Nabi Muhammad saw. atau simbol-simbol Islam lainnya bisa terjadi karena dua faktor. Pertama: Faktor kebodohan, yakni ketidaktahuan akan perbuatan yang merupakan penghinaan; atau ketidaktahuan akan kemuliaan apa yang dihina; atau mengejar materi yang tak seberapa dengan mengorbankan kehidupan yang kekal. Kedua: Faktor kedengkian yang mendominasi akal dan nurani yang mengakibatkan kemuliaan terlihat sebagai kehinaan dan kebenaran terlihat sebagai kejahatan.
Namun, dua faktor ini tidak akan muncul jika tidak ditopang oleh keberadaan negara sekular. Dalam negara sekular, yakni negara yang menjadikan sekularisme sebagai asasnya, sendi-sendi kehidupan rakyat tidak diatur dengan Islam. Sekularisme menurut Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani (1953) adalah pemisahan agama dari kehidupan (fashl ad-dîn ‘an al-hayâh). Sekularisme menjadi asas bagi liberalisme yang diwujudkan dalam hak asasi manusia (HAM), berupa kebebasan berperilaku (freedom of behavior) dan berpendapat (freedom of speech) yang sering dijadikan alasan untuk melakukan penghinaan terhadap Islam. Akibatnya, makin suburlah berbagai penghinaan terhadap Islam.
Sekularisme ini mengakibatkan berkembangnya kebodohan dan/atau pengabaian manusia akan agamanya; tidak tahu hak-hak Allah SWT dan hak-hak manusia yang lainnya. Lembaran al-Quran dijadikan terompet, misalnya, bisa jadi karena pembuatnya tidak bisa baca. Dia mengira tulisan al-Quran tersebut hanyalah ukiran yang akan mempercantik terompet yang dia buat. Bisa jadi dia bisa baca namun tidak tahu kalau itu al-Quran, atau tidak tahu kalau perbuatan yang dia lakukan itu tercela.
Sekularisme juga menumbuh-suburkan paham-paham dan prilaku nyeleneh dengan mengatasnamakan toleransi, pluralisme maupun Islam Nusantara. Demi toleransi azan mengiringi lagu Natal (Jpnn.com, 29/12/15). Untuk menunjukkan Islam menyatu dengan budaya Nusantara dilakukan tarian dengan penari yang membuka aurat, berlenggang lenggok di atas karpet shalat.
Sekularisme telah menjadikan umat Islam yang mulia ini terlihat hina hingga akhirnya benar-benar jadi sasaran penghinaan. Penghinaan bukan saja terhadap umatnya, namun juga Islamnya. Ide sekularisme yang dianut negara telah menggusur sebagian besar hukum syariah Islam. Padahal syariah Allah SWT inilah yang menjadi rahasia kemuliaan umat Islam. Umar bin Khaththab ra. pernah mengatakan:
إِنَّا كُنَّا أَذَلَّ قَوْمٍ فَأَعَزَّنَا اللهُ بِالإِسْلاَمِ فَمَهْمَا نَطْلُبُ الْعِزَّةَ بِغَيْرِ مَا أَعَزَّنَا اللهُ بِهِ أَذَلَّنَا اللهُ
Sesungguhnya kita dulu adalah kaum yang paling hina, kemudian Allah memuliakan kita dengan Islam. Bagaimanapun kita mencari kemuliaan selain dengan Islam yang dengan itu Allah telah muliakan kita, maka Allah pasti akan menghinakan kita (HR al-Hakim).
Pada sisi lain, kasus penghinaan ini menunjukkan wajah asli kebebasan dalam hak asasi manusia (HAM) menurut mereka. Kebebasan menurut mereka adalah kebebasan untuk melakukan apapun termasuk menghina dan melecehkan Islam. Sungguh, ini adalah kebebasan yang penuh dengan kepura-puraan.
Tengok saja, ketika di Prancis Muslimah dilarang mengenakan jilbab, ‘kebebasan’ yang mereka dengungkan tidak terdengar. Saat kaum Muslim lantang menyuarakan Islam yang diterapkan dalam sistem Khilafah sebagai pengganti Kapitalisme yang memang bobrok, mereka dituding sebagai “kelompok garis keras”. Pada waktu kaum Muslim berusaha melawan berbagai kezaliman dan ketidakadilan negara-negara besar, mereka dituduh sebagai teroris. Nyatalah, kebebasan yang didengung-dengungkan sebagai HAM adalah kebebasan yang mengizinkan penodaan terhadap Islam dan umatnya.
Sanksi Tegas!
Jika tidak ada hukum yang tegas yang membuat jera pelaku penghinaan, maka kasus penghinaan ini ibarat virus penyakit. Jika tidak diobati, atau obatnya tidak mujarab, maka virus tersebut akan berkembang. Hukum yang dipakai dalam sistem sekular saat ini tidak akan mampu mengobati virus seperti ini. Bahkan virus penghinaan tidak akan dianggap mengganggu jika masyarakat tidak ‘menggeliat-geliat’ protes. Ini yang terjadi. Respon tegas baru muncul setelah aksi besar-besaran dari umat. Tidak ada inisiatif dari pemerintahan sekular untuk mengusut kasus penghinaan ini.
Di sinilah pentingnya penerapan hukum Islam oleh negara atas pelaku penghinaan ini. Dalam Islam, hukuman bagi orang yang menghina dan melecehkan al-Quran yakni: Pertama, Jika pelakunya Muslim, maka dengan tindakannya itu ia dinyatakan kafir (murtad) sehingga ia layak dihukum mati. Kedua, Jika ia orang kafir dan menjadi ahl al-dzimmah, maka ia dianggap menodai dzimmah-nya, dan bisa dijatuhi sanksi yang keras oleh negara. Ketiga, jika ia kafir dan bukan ahl al-dzimmah, tetapi kafirmu’ahid, maka tindakannya bisa merusak mu’ahadah-nya, dan negara bisa mengambil tindakan tegas kepadanya dan negaranya. Keempat, jika ia kafir harbi, maka tindakannya itu bisa menjadi alasan bagi negara untuk memaklumkan perang terhadap dirinya dan negaranya demi menjaga kehormatan dan kepentingan Islam dan kaum Muslim.
Pentingnya Khilafah
Proses penanganan kasus penghinaan yang berlarut-larut menunjukkan bahwa persoalannya bukanlah sekdar penghinaan itu sendiri. Belum lagi potensi berulangnya peristiwa yang sama terjadi. Semua proses penanganan tidak mampu mencegah dan mengatasi persoalan penghinaan ini dengan tuntas. Persoalan ini baru akan tuntas jika akar masalahnya, yakni sekularisme, dicabut dan dicampakkan dari kehidupan umat. Sebagai penggantinya, ditegakkan sistem Islam yang menjalankan seluruh aturan Allah SWT, yaitu sistem Khilafah. Khilafah akan senantiasa melindungi kesucian dan kehormatan Islam dan umatnya sehingga mereka tidak akan pernah dihinakan lagi. Rasul saw. bersabda:
إِنَّمَا ﺍﻹِﻣَﺎﻡُ ﺟُﻨَّﺔٌ ﻳُﻘََﺎﺗَﻞُ ﻣِﻦْ ﻭَﺭَﺍﺋِﻪِ ﻭَﻳُﺘَّﻘَﻰ ﺑِﻪِ
Sesungguhnya Imam (Khalifah) adalah perisai; rakyat akan berperang di belakangnya dan berlindung kepada dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, tak bosan-bosannya kami mengajak umat ini untuk berjuang bersama-sama mewujudkan kembali perisai/pelindung Islam dan kaum Muslim, yakni Khilafah ‘alâ minhâj al-nubuwwah. []
Komentar al-Islam:
Gus Sholah: Ulama Berperan Ajak Umat Memilih Pemimpin Muslim (Republika, 18/10/2016)
- Ulama pun sejatinya berperan mendorong pemimpin Muslim untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah dalam seluruh tatanan kehidupan.
- Ulama berperan penting dalam mewujudkan cita-cita Baginda Rasulullah saw. yang tentu menghendaki risalahnya (syariah Islam) benar-benar diterapkan di tengah-tengah umatnya.
- Penerapan syariah Islam secara kâffah hanya bisa diwujudkan dalam sistem Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.