Oleh: KH Hafidz Abdurrahman [Khadim Majlis-Ma’had Syaraful Haramain]
Imam Ahmad telah meriwayatkan hadits dari Nu’man bin Basyir, radhiya-Llahu ‘anhu, berkata:
كنا جلوساً في المسجد فجاء أبو ثعلبة الخشني فقال: يا بشير بن سعد أتحفظ حديث رسول الله ﷺ في الأمراء، فقال حذيفة: أنا أحفظ خطبته. فجلس أبو ثعلبة. فقال حذيفة: قال رسول الله ﷺ: تكون النبوة فيكم ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون ملكًا عاضًا فيكون ما شاء الله أن يكون، ثم يرفعها إذا شاء الله أن يرفعها، ثم تكون ملكًا جبرية فتكون ما شاء الله أن تكون، ثم يرفعها الله إذا شاء أن يرفعها، ثم تكون خلافة على منهاج النبوة، ثم سكت.
““Ketika kami sedang duduk di masjid, Abu Tsa’labah al-Khasyani datang. Dia berkata, “Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah Anda hapal hadits Rasulullah saw. tentang kepemimpinan?” Hudzaifah berkata, “Saya hapal khutbah baginda.” Abu Tsa’labah pun duduk. Hudzaifah bertutur, “Rasulullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam pernah bersabda, “Akan ada era kenabian di tengah-tengah kalian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian ia diangkat [diakhiri] oleh Allah, jika Dia berkehendak untuk mengangkat [mengakhiri]-nya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian ia diangkat [diakhiri] oleh Allah, jika Dia berkehendak untuk mengangkat [mengakhiri]-nya. Kemudian akan ada kekuasaan yang zalim. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian ia diangkat [diakhiri] oleh Allah, jika Dia berkehendak untuk mengangkat [mengakhiri]-nya. Kemudian akan ada kekuasaan diktator. Dengan kehendak Allah, ia akan tetap ada. Kemudian ia diangkat [diakhiri] oleh Allah, jika Dia berkehendak untuk mengangkat [mengakhiri]-nya. Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian. Baginda Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam kemudian diam.”
Hadits yang sama diriwayatkan oleh at-Thayalisi, al-Baihaqi dan at-Thabari. Hadits ini disahihkan oleh al-Albani dalam kitabnya, Silsilah al-Ahadits as-Shahihah, dan dinyatakan hasan oleh al-Arna’uth. Hadits ini juga mempunyai syahid [pendukung] dari Safinah radhiya-Llahu ‘anhu, budak Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam, yang menuturkan, Rasululullah Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
الْخِلاَفَةُ فِي أُمّتِي ثَلاَثُونَ سَنَةً، ثُمّ مُلْكٌ بَعْدَ ذَلِكَ. ثُمّ قَالَ سَفِينَةُ: امْسِكْ عَلَيْكَ خِلاَفَةَ أَبي بَكْرٍ، ثُمّ قَالَ: وَخِلاَفةَ عُمَرَ وَخِلاَفَةَ عُثْمانَ، ثُمّ قَالَ لي: امسِكْ خِلاَفَةَ عَلِيّ قال: فَوَجَدْنَاهَا ثَلاَثِينَ سَنَةً. رواه أحمد وحسنه الأرناؤوط.
“Khilafah di tengah-tengah umatku ada tiga puluh tahun. Kemudian setelah itu “kerajaan”. Kemudian Safinah berkata, “Kalian wajib berpegangteguh dengan Khilafah Abi Bakar.” Beliau kemudian menuturkan, “Juga dengan Khilafah ‘Umar, ‘Utsman.” Kemudian beliau berpesan kepadaku, “Kamu harus pegang teguh Khilafah ‘Ali.” Perawi berkata, “Kami pun mendapatinya selama tiga puluh tahun.” [Hr. Ahmad, dinyatakan hasan oleh al-Arna’uth]
Imam Ahmad meriwayatkan dari Hudzaifah, Radhiya-Llahu ‘anhu, berkata: “Era kenabian itu telah berlalu, maka [setelahnya] era Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian.” Riwayat ini dishahihkan oleh al-Arna’uth.
Makna dan Penjelasan Hadits
Mengenai makna, “Nubuwwah fikum” [era kenabian di tengah-tengah kalian] jelas maksudnya, yaitu era Nabi Muhammad Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam. Setelah era ini tidak ada lagi Nabi, kemudian urusan ummat Nabi diurus oleh para Khalifah. Inilah yang disebut era Khilafah. Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
كَانَتْ بَنُوْ اِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ، وَإِنَّهُ لاَ نَبِيَّ مِنْ بَعْدِيْ وَسَيَكُوْنُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُوْنَ.
“Bani Israil telah dipimpin oleh para Nabi, ketika seorang Nabi telah wafat, maka akan digantikan oleh Nabi yang baru. Sesungguhnya, tidak ada Nabi setelahku, dan akan ada para Khalifah. Mereka jumlahnya banyak.” [Hr. Muslim]
Jadi, setelah era Kenabian adalah era Khilafah. Hanya, era Khilafah ini kemudian dirinci dalam hadits riwayat Imam Ahmad di atas. Secara keseluruhan, di dalam hadits tersebut Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam merinci:
1- Era Kenabian;
2- Era Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian;
3- Era Khilafah yang zalim [‘adhudh];
4- Era Mulkan Jabariyyah [penguasa diktator];
5- Era Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian;
Mengenai makna era Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian telah disepakati oleh para ulama’, yaitu: Khilafah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman dan ‘Ali. Ini sebagaimana yang dinyatakan dalam redaksi riwayat di atas, khususnya hadits Safinah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Apa yang dituturkan oleh Safinan, “Kalian wajib berpegangteguh dengan Khilafah Abi Bakar.” Beliau kemudian menuturkan, “Juga dengan Khilafah ‘Umar, ‘Utsman.” Kemudian beliau berpesan kepadaku, “Kamu harus pegang teguh Khilafah ‘Ali.” Perawi berkata, “Kami pun mendapatinya selama tiga puluh tahun.” [Hr. Ahmad, dinyatakan hasan oleh al-Arna’uth] sebenarnya merupakan pernyataan sahabat, bukan Nabi, dengan begitu statusnya adalah Mauquf, tetapi bisa dihukumi Marfu’.
Sebagai ulama’ yang lain, memasukkan Khilafah al-Hasan bin ‘Ali, yang memerintah selama 6 bulan, setelah ayahandanya, Khalifah ‘Ali bin Abi Thalib, di dalam era Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian, sehingga genap hitungannya menjadi 30 tahun. Persis sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits Safinah di atas.
Adapun setelah 30 tahun, yang berarti dimulai sejak era Khilafah Umayyah, ‘Abbasiyyah, hingga ‘Ustmaniyyah di sini ada perbedaan di kalangan ulama’. Termasuk apa yang disebut Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallam dengan istilah, “Mulkan ‘adhhan” [kekuasaan yang menggigit/zalim].
Ibn ‘Atsir dalam kitabnya, an-Nihayah, menjelaskan makna:
(ثم يكون ملك عضوض) أي يصيب الرعية فيه عسْفٌ وظُلْم، كأنَّهم يُعَضُّون فيه عَضًّا. والعَضُوضُ: من أبْنية المُبالغة. وفي رواية (ثم يكون مُلك عُضُوض) وهو جمع عِضٍّ بالكسر، وهو الخَبيثُ الشَّرِسُ. ومن الأول حديث أبي بكر (وسَتَرَون بَعْدي مُلْكا عَضُوضاً). اهـ.
“Tsumma yakunu mulkun ‘adhudh” [Kemudian akan ada kekuasaan yang menggigit], maksudnya dia akan menimpakan kesulitan dan kezaliman kepada rakyatnya. Mereka seakan-akan tengah menggigit rakyatnya dengan gigitan. Lafadz “Adhudh” adalah bentuk “Mubalaghah” [klimaks]. Dalam riwayat, dinyatakan: “Tsumma yakunu mulkun ‘adhudh” [Kemudian akan ada kekuasaan yang menggigit], yaitu jamak dari “Idhdhin” dengan dikasrah, maknanya adalah yang jahat dan buruk perangai. Di antara yang paling awal adalah hadits Abu Bakar, yang menyatakan, “Setelahku, kalian akan menyaksikan kekuasaan yang menggigit.” – sampai di sini.
Inilah makna, “Mulkan ‘Adhdhan” yang dinyatakan dalam hadits Imam Ahmad di atas. Mengenai makna, “Mulkan Jabariyyan” Ibn ‘Atsir dalam kitabnya, an-Nihayah, menjelaskan makna:
وأما الملك الجبري، فالمراد به الملك بالقهر والجبر. قال ابن الأثير في النهاية: (ثم يكون مُلك وجَبَرُوت) أي عُتُوّ وقَهْر. يقال: جَبَّار بَيّن الجَبَرُوّة، والجَبريَّة، والْجَبَرُوت. اهـ
“Adapaun “Mulk Jabary” yang dimaksud adalah kekuasaan yang dijalankan dengan tekanan [qahr] dan paksaan [jabar]. Ibn al-Atsir berkata, dalam kitabnya, an-Nihayah, “Tsumma yakunu Mulkun wa Jabarutun” [kemudian akan ada kekuasaan dan tekanan]. Maksudnya adalah melampui batas dan mengintimidasi. Ada yang mengatakan, “Jabbar untuk menjelaskan “Jabaruwwah” [kekuatannya yang menindas], “Jabariyyah [kesombongan], dan “Jabarut” [menakut-nakuti dengan kekuasaannya].” – sampai di sini.
Mengenai terjadinya apa yang dinyatakan dalam hadits riwayat Imam Ahmad di atas, sebagian ulama’ salaf telah menyatakan, bahwa periodesasi tersebut telah terjadi, sebagaimana yang dinyatakan oleh Habib, dalam riwayat al-Baihaqi:
قَالَ حَبِيْبٌ: فَلَمَّا قَامَ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيْزِ، وَكَانَ يَزِيْدُ بْنُ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيْرٍ فِي صَحَابَتِهِ، فَكَتَبْتُ إِلَيْهِ بِهَذَا الْحَدِيْثِ أَذْكُرُهُ إِيَّاهُ. فَقُلْتُ لَهُ: إِنِّي أَرْجُوْ أَنْ يَكُوْنَ أَمِيْرَ المُؤْمِنِيْنَ – يَعْنِي عُمَرَ – بَعْدَ المُلْكِ الْعَاضِّ وَالْجَبَرِيَّةِ، فَأُدْخِلَ كتِاَبِيْ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ فَسُرَّ بِهِ وَأَعْجَبَهُ.
“Habib berkata, “Ketika ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz berdiri, dan Yazid bin Nu’man bin Basyir [putra sahabat Nu’man bin Basyir yang meriwayatkan hadits Ahmad di atas] menyertainya, maka aku pun menulis surat untuknya berisi hadits [riwayat Ahmad dari Nu’man bin Basyir, ayah Yazid] ini. Aku mengingatkannya tentang isi hadits tersebut. Aku berkata kepadanya, “Saya berharap, Amirul Mukminin, maksudnya ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, termasuk penguasa setelah kekuasaan yang zalim dan diktator.” Aku pun menyelipkan suratku untuk ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Beliau pun merasa senang, dan terkesan dengan isinya.”
Kesimpulan dan harapan Habib ini membuktikan, bahwa ciri-ciri yang dimaksud dalam hadits riwayat Imam Ahmad, yaitu “Mulkan ‘Adhdhan” [kekuasaan yang zalim], dan “Mulkan Jabariyyan” [kekuasaan yang diktator] telah terjadi di masa Khilafah Bani Umayyah, sebelum era ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, sehingga Habib berharap, bahwa Khilafah yang mengikuti manhaj kenabian itu jatuh kepada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
Kesimpulan Habib ini di satu sisi bisa dibenarkan, yaitu terjadinya Mulkan ‘Adhdhan, yang dimulai sejak era Khilafah Bani Umayyah. Begitu juga harapan, bahwa ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz termasuk Khalifah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian juga benar. Tetapi, apakah beliau itulah yang dimaksud oleh periode hadits ini? Termasuk, apakah Mulkan Jabariyyah juga sudah terjadi di zaman itu? Di sinilah, para ulama’ berbeda pendapat dengan beliau. Antara lain, al-‘Allamah Syaikh Nashiruddin al-Albani:
وَمِنَ الْبَعِيْدِ عِنْدِيْ جَعْلُ الْحَدِيْثِ عَلَى عُمَرَ بْنِ عَبْدِ الْعَزِيْزِ؛ لأَنَّ خِلاَفَتَهُ كاَنَتْ قَرِيْبَةَ الْعَهْدِ بِالْخِلاَفَةِ الرَّاشِدَةِ، وَلَمْ يَكُنْ بَعْدُ مُلْكَانِ مُلْكٌ عَاضٌّ وَمُلْكٌ جَبَرِيٌّ. والله أعلم. اهـ
“Menurut saya, terlalu jauh memberlakukan hadits ini untuk ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz. Karena kekhilafahannya dekat dengan era Khilafah Rasyidah. Padahal, sebelumnya belum pernah ada dua kekuasaan: kekuasaan yang zalim dan diktator.” – sampai di sini.
Mengenai akan kembalinya Khilafah Rasyidah kedua yang mengikuti manhaj kenabian, sekaligus membuktikan, bahwa era Mulkan Jabariyyah [kekuasaan diktator] masih berlangsung hingga saat ini adalah hadits riwayat Muslim dan Ahmad:
عَنْ أَبِيْ سَعِيْد وَجَابِر رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ: (يَكُوْنُ فِي آخِرِ الزَّمَانِ خَلِيْفَةٌ يُقَسِّمُ الماَلَ، وَلاَ يَعُدُّهُ)، وفي رواية: قال: (يَكُوْنُ في آخِرِ أُمَّتِي خَلِيْفَةٌ يُحْثِي الماَلَ حَثْيًا، وَلاَ يَعُدُّهُ عدًا).
“Dari Abi Said dan Jabir, radhiya-Llahu ‘anhuma, bahwa Nabi Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama bersabda, “Pada akhir zaman akan ada seorang Khalifah yang membagikan harta, dan tidak bisa menghitungnya [saking banyaknya].” Dalam riwayat lain, baginda bersabda, “Pada akhir zaman akan ada seorang Khalifah yang memobilisir harta sebanyaknya-banyaknya, dan tidak bisa menghitungnya [saking banyaknya].”
Juga hadits kembalinya “ular ke liangnya”, Syam [Suriah, Yordania, Palestina dan Libanon] sebagai Dar al-Islam, serta ditampakkannya kekuasaan umat Nabi Muhammad meliputi tempat terbitnya matahari, dari ujung timur hingga barat bumi ini. Hadits-hadits akhir zaman, termasuk kembalinya Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian ini belum terjadi. Ini membuktikan, bahwa Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian terakhir, sebagaimana yang dinyatakan dalam hadits riwayat Imam Ahmad di atas belum terjadi, dan akan terjadi.
Sekaligus membuktikan, bahwa era saat ini adalah era Mulkan Jabariyyan [kekuasaan diktator], dan era Mulkan ‘Addhan sudah berakhir, yang dimulai sejak zaman Khilafah Bani Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Ustmaniyyah. Meski, dalam kasus per kasus, ada juga para penguasa yang berada di era Mulkan ‘Addhan tersebut mempunyai ciri-ciri sebagai Khalifah Rasyid, seperti ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz.
Pertanyaan kemudian, jika benar era ini disebut Mulkan Jabarriyyan, dengan menggunakan istilah Mulk, mengapa era Khilafah Bani Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Ustmaniyyah juga disebut Mulk?
Jawabannya adalah, bahwa istilah Mulk dalam konteks hadits di atas tidak bisa diartikan dengan konotasi istilah, Mulk sebagai kerajaan. Sehingga, Khilafah Bani Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Ustmaniyyah tidak layak disebut sistem Khilafah lagi, tetapi sistem kerajaan. Sebaliknya, istilah Mulk di sini mempunyai konotasi bahasa, yaitu kekuasaan. Kalaupun ada praktik dalam sistem kerajaan yang digunakan, seperti waratsah [kekuasaan turun-temurun] dan wilayatu al-ahd [putra mahkota], sebenarnya praktik seperti ini tidak bisa mengubah sistem Khilafah secara keseluruhan, karena faktanya bai’at tetap dipertahankan. Meski dalam implementasinya ada kesalahan, termasuk dengan menggunakan cara waratsah [kekuasaan turun-temurun] dan wilayatu al-ahd [putra mahkota].
Karena itu, dalam kitabnya Tarikh al-Khulafa’, Imam as-Suyuthi telah menyusun periodesasi Khalifah, sejak zaman Abu Bakar hingga zaman beliau, dan beliau memberikan komentar, bahwa para khalifah yang disusunnya itu berdasarkan kesepakatan para ulama’. Bukan para khalifah yang dianggap telah menyimpang. Pada saat yang sama, hadits Khilafah tiga puluh tahun juga beliau angkat dalam kitabnya, dimana Khilafah tiga puluh tahun tersebut identik dengan Abu Bakar, ‘Umar, ‘Ustman, ‘Ali dan al-Hasan. Setelah itu, berlaku era berikutnya.
Namun, uniknya, Imam as-Suyuthi tetap menyebut para penguasa yang hidup setelah era Khilafah tiga puluh tahun, atau Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj Nubuwwah itu dengan sebutan Khalifah, meski berbagai penyimpangan terjadi di dalamnya. Termasuk, implementasi bai’at yang dilakukan dengan cara waratsah [kekuasaan turun-temurun] dan wilayatu al-ahd [putra mahkota].
Kesimpulan
Dengan demikian, bisa disimpulkan:
1- Istilah “Mulkan ‘Adhdhan” yang dinyatakan dalam hadits Imam Ahmad di atas tidak berarti, sistem Khilafah telah berubah menjadi kerajaan. Dengan kata lain, istilah “Mulkan” di dalam hadits di atas lebih tepat diartikan dengan konotasi bahasa, bukan istilah.
2- Secara bahasa, juga tidak salah jika diartikan, “Kaannahu Mulkan ‘Adhdhan” [kekuasaannya seolah seperti kerajaan yang menggigit/zalim]. Jadi, bukan berbentuk kerajaan yang sesungguhnya, hanya seolah-oleh seperti sistem kerajaan, karena dipraktekkannya waratsah [kekuasaan turun-temurun] dan wilayatu al-ahd [putra mahkota]. Faktanya memang kesalahan dalam mengimplementasikan bai’at terjadi sejak zaman Mu’awiyyah hingga akhir Khilafah ‘Ustmaniyyah.
3- Karena itu, Imam as-Suyuthi, sebagaimana yang disepakati ulama’ dan umat, menyebut para penguasa di era itu dengan “Khalifah”, dan jabatanya disebut “Khilafah”. Bukan “Malik”, dan “Mulk”. Kaidah yang digunaakan oleh as-Suyuthi ini juga digunakan oleh ulama’ berikutnya, ketika menentukan para Khalifah ‘Utsmaniyyah.
4- Periode “Mulkan ‘Adhdhan” ini memang benar-benar telah berakhir, dengan runtuhnya Khilafah ‘Ustmaniyyah di Istambul, 3 Maret 1924 M.
5- Setelah itu, hingga saat ini sedang berlangsung periode “Mulkan Jabariyyan” sebagaimana yang dijelaskan di atas. Periode ini akan segera berakhir, dan digantikan dengan periode baru, Khilafah ‘ala Minhaj Nubuwwah.[]