Oleh: Rokhmat S. Labib, M.E.I.
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (akan larangan ini), maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat (akan larangan itu) (TQS al-An’am [6]: 68).
Dalam menyikapi kemungkaran, seorang harus memiliki sikap yang jelas, yakni menolaknya dengan segenap kemampuan yang dimilikinya. Tidak boleh ada sedikit pun memberikan dukungan terhadapnya. Tidak boleh pula terlihat ridha dan senang terhadap kemungkaran itu. Ayat ini adalah di antara yang mengharuskan sikap tegas tersebut. Seorang Muslim tidak boleh duduk di sebuah majelis yang mengolok-olok dan melecehkan ayat-ayat Allah Swt.
Menyikapi Orang yang Mengolok-Olok Ayat Allah
Allah Swt berfirman:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا
Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami
Khithâb (seruan) ayat ini ditujukan kepada Rasulullah saw. Ditegaskan al-Qurthubi, kaum Muslimin termasuk dalam cakupan seruan ini. Dalam ayat sebelumnya diberitakan tentang adanya kaum yang mendustakan ancaman Allah Swt akan datangnya azab. Kepada mereka, Rasulullah saw diperintahkan untuk menegaskan bahwa beliau bukan orang yang diserahi untuk mengurus menjaga urusan mereka. Juga, semua berita yang dibawa para rasul ada waktu terjadinya dan mereka akan mengetahuinya.
Kemudian dalam ayat ini Rasulullah saw dijelaskan tentang sikap yang wajib dilakukan terhadap orang-orang yang melakukan perbuatan: yakhûdhûna fî âyâtinâ. Dijelaskan juga oleh al-Zuhaili, kata yakhûdhûna berarti panjang lebar dalam pembicaraan. Di samping itu, al-Quran juga menggunakan untuk menunjuk bersekongkol dalam kebatilan dengan para pelakunya. Pada asalnya, al-khawdh berarti masuk ke dalam air, baik dengan cara berjalan atau berenang. Sedangkan makna yakhûdhûna fî âyâtinâ di sini adalah berbicara tentang al-Quran dengan mengolok-oloknya.
Penjelasan serupa juga disampaikan para mufassir seperti al-Zamakhsyari, al-Baidhawi, al-Alusi, al-Syaukani, dan lain-lain. Menurut mereka, pengertian frasa yakhûdhûna fî âyâtinâ adalah dengan membicarakan ayat-ayat Allah dengan mendustakan, mengolok-olok, dan mencemoohnya.
Ketika menyaksikan perbincangan maksiat itu, maka Rasulullah saw dan umatnya diperintahkan:
فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ
Maka tinggalkanlah mereka
Artinya, janganlah kalian duduk bersama mereka dan tinggalkanlah mereka. Demikian penjelasan al-Zamakhsyari dan al-Baidhawi dalam tafsir mereka.
Perintah itu tetap berlaku hingga mereka menghentikan perbuatan maksiat itu. Allah Swt berfirman:
حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
Sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain
Kata hattâ memberikan makna al-ghâyah (batas akhir). Sedangkan ghayrihi, menurut al-Alusi, berarti ghayri âyâtinâ (selain ayat-ayat Kami). Dengan demikian, larangan tersebut duduk dengan mereka itu tetap berlaku hingga mereka menghentikan pembicaraannya dan mengalihkan kepada tema lainnya. Dikatakan al-Zamakhsyari, jika mereka telah membicarakan tema lainnya –yang tidak mengolok-olok ayat-ayat Allah–, maka ketika itu tidak masalah duduk bersama mereka.
Ditegaskan oleh al-Biqa’i dalam Nazhm al-Durar, hukum berbicara dengan mereka selain tema tersebut juga masih terkatagori sebagai al-khawdh. Sebab, di dalamnya terdapat yang pembicaraan yang tidak beraturan lantaran tidak terikat dengan hukum syara’.
Kemudian Allah Swt berfirman:
وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ
Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa akan (larangan ini).
Yakni, setan itu membuatmu sibuk sehingga lupa terhadap perintah untuk meninggalkan mereka dan kamu pun duduk bersama mereka mulai permulaan atau tetap demikian. Demikian keterangan al-Alusi. Dikatkana juga oleh Imam al-Qurthubi, frasa ini berarti: “Wahai Muhammad, jika syetan membuatmu lupa beranjak dari mereka dan duduk bersama mereka setelah larangan Kami. Demikian penjelasan al-Qurthubi.
Kemudian disebutkan:
فَلَا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
Maka janganlah kamu duduk bersama orang-orang yang dzalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).
Menurut al-Qurthubi, “Jika kamu telah ingat, janganlah kamu duduk bersama orang-orang dzalim, yakni orang-orang Musyrik. Dijelaskan pula oleh al-Thabari, ini memberikan pengertian bahwa: “Jika syetan membuat kamu lupa mengenai larangan Kami untuk duduk bersama mereka dan berpaling dari pembicaraan ketika memperolok-olok ayat Kami, lalu kamu ingat larangan tersebut, maka jauhilah mereka. Maka setelah kamu ingat, janganlah kamu duduk bersama dengan orang-orang dzalim.”
Menurut Ibnu Katsir, kandungan ayat ini sebagaimana firman Allah Swt:
وَقَدْ نَزَّلَ عَلَيْكُمْ فِي الْكِتَابِ أَنْ إِذَا سَمِعْتُمْ آيَاتِ اللَّهِ يُكْفَرُ بِهَا وَيُسْتَهْزَأُ بِهَا فَلَا تَقْعُدُوا مَعَهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ إِنَّكُمْ إِذًا مِثْلُهُمْ إِنَّ اللَّهَ جَامِعُ الْمُنَافِقِينَ وَالْكَافِرِينَ فِي جَهَنَّمَ جَمِيعًا
Dan sungguh Allah telah menurunkan kepada kamu di dalam al-Qur’an bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk beserta mereka, sehingga mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena sesungguhnya (kalau kamu berbuat demikian), tentulah kamu serupa dengan mereka (TQS al-Nisa’ [4]: 140). Artinya, jika kamu duduk bersama mereka dan menyetujui hal itu, maka akan disamakan dengan mereka dalam perkara tersebut.
Dijelaskan al-Syaukani, maksud dari ayat ini adalah jika kamu melihat orang-orang yang membicarakan ayat-ayat Allah, dengan melakukan pendustaan, penolakan, dan memperolok-oloknya, maka tinggalkanlah mereka. Janganlah kamu duduk bersama mereka untuk mendengarkan kemunkaran besar seperti itu hingga mereka mengalihkan pembicaraan lainnya. Allah Swt memerintahkan untuk berpaling dari majelis yang merendahkan ayat-ayat Allah, hingga membahas lainnya.
Masih menurut al-Syaukani, dalam ayat ini terdapat nasihat agung terhadap orang yang bersikap ramah terhadap majelis-majelis bid’ah yang menyimpangkan firman Allah, mempermainkan Kitab dan sunnah Rasul-Nya, dan mengembalikan kepada hawa nafsu mereka yang menyesatkan dan bid’ah mereka yang rusak. Apabila mereka tidak diingkari dan tidak diubah keadaannya, maka tindakan minimal yang harus dilakukan atas mereka adalah meninggalkan majelis mereka. Tindakan tersebut tentu amat mudah dan tidak sulit.
Beberapa Perkara Penting
Ada beberapa perkara penting yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama, larangan menjadikan ayat-ayat al-Quran sebagai bahan ejekan dan olok-olokan. Tindakan tersebut termasuk dosa besar, bahkan dapat mengantarkan pelakunya kepada kekufuran. Allah Swt:
وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ (65) لَا تَعْتَذِرُوا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ
Katakanlah, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman (TQS al-Taubah [9]: 65-66).
Kedua, larangan duduk di majelis yang di dalamnya terdapat pembicaraan yang mengolok-olok dan mempermainkan al-Quran. Sebagaimana telah dipaparkan, setiap Muslim wajib mengingkari kemunkaran yang dilihatnya sesuai dengan batas kemampuannya. Tidak boleh menampakkan dukungan dan keridhaan. Duduk bersama dalam satu majelis dengan orang-orang yang sedang melakukan kemungkaran bisa dikatagorikan sebagai sebagai salah satu keridhaan.
Oleh karena itu, larangan duduk bersama itu bukan hanya dalam majelis yang mengolok-olok al-Quran, namun semua majelis yang di dalamnya terdapat kemunkaran dan kemaksiat. Kesimpulan ini diperkuat dengan Hadits dari Jabir ra, Rasulullah shalallahu’alaihi wasallam bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلاَ يَجْلِسْ عَلَى مَائِدَةٍ يُدَارُ عَلَيْهَا بِالْخَمْرِ
Dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, maka janganlah dia duduk di tempat hidangan yang disediakan khamar (HR. Tirmidzi).
Patut ditegaskan, teman duduk sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap pelakunya. Dari Abu Musa al-Asy’ari, Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السَّوْءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيرِ فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يُحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيحًا طَيِّبَةً وَنَافِخُ الْكِيرِ إِمَّا أَنْ يُحْرِقَ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ رِيحًا خَبِيثَةً
Permisalan teman duduk yang saleh dan teman duduk yang buruk seperti penjual misik dan pandai besi. Adapun penjual misik, boleh jadi ia memberimu misik, engkau membeli darinya, atau setidaknya engkau akan mencium bau harumnya. Adapun pandai besi, boleh jadi akan membuat bajumu terbakar atau engkau mencium bau yang tidak enak (HR al-Bukhari dan Muslim dengan lafadz Muslim).
Ketiga, batilnya ide kebebasan berbicara (freedom of speech). Telah maklum, kebebasan berpendapat merupakan ide Barat yang lahir dari ideologi Kapitalisme. Ide ini memberikan kebebasan kepada manusia untuk berbicara dan mengeluarkan pendapatnya.
Termasuk bebas untuk melecehkan dan memengolok-olok ayat-ayat Allah. Maka atas lasan kebebasan berbicara, pemerintah Inggris melindungi Salman Rusydi yang menghina al-Quran, Rasulullah saw, dan Islam. Ayat ini memberikan penjelasan yang amat terang bahwa ide kebebasan bebicara merupakan ide batil yang tidak boleh diadopsi. Wal-Lâh a’lam bi al-shawâb.
Ikhtisar:
1. Larangan menjadikan ayat-ayat al-Quran sebagai bahan ejekan dan olok-olokan.
2. Larangan duduk di majelis yang di dalamnya terdapat pembicaran yang mengolok-olok al-Quran dan kemaksiatan lainnya
3. Ide kebebasan berbicara (freedom of speech) merupakan ide yang batil dan bertentangan dengan Isla