Menjaga Ghirah Umat Islam

[Al-Islam No. 828, 27 Muharram 1438 H/28 Oktober 2016]

Sebagaimana diberitakan di sejumlah media online, jika tidak ada ada aral melintang, akan ada aksi umat Islam secara besar-besaran pada pekan mendatang. Aksi itu bertajuk, “Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI”. “Aksi Bela Islam II” dengan tajuk “Ayo Penjarakan Ahok”—yang telah menista agama, menodai al-Quran, melecehkan ulama dan menghina umat Islam—ini direncanakan akan digelar pada 4 November 2016, ba’da shalat Jumat di Masjid Istiqlal, dilanjutkan dengan longmarch ke Istana Presiden RI (http://www.fpi.or.id/2016/10/ikutilah-aksi-bela-islam-ii-ayo.html?m=1).

Siapapun yang mengaku Muslim tentu patut mendukung aksi umat untuk mengawal fatwa MUI ini, yang antara lain mendesak Ahok untuk segera diadili. Aksi umat ini sebetulnya hanyalah puncak dari rangkaian aksi serupa yang telah berlangsung selama beberapa pekan di berbagai daerah di Indonesia sebagai bentuk kemarahan umat atas pernyataan Ahok beberapa waktu lalu. Sebagaimana diketahui, seraya mengutip QS al-Maidah ayat 51 tentang keharaman menjadikan orang kafir sebagai pemimpin, Ahok menuduh al-Quran dan para ulamanya telah membohongi dan membodohi umat.

Umat Harus Marah!

Di tengah penistaan Ahok terhadap Islam dan umatnya secara berulang, masih saja ada tokoh yang menyerukan agar umat bersikap sabar dan tidak emosional (baca: marah). Padahal marah tidak selalu tercela. Dalam kondisi tertentu, marah justru terpuji.

Teladan kita, Rasulullah saw. memang adalah manusia yang paling mampu mengendalikan amarahnya dan paling bagus akhlaknya. Hal itu dipertegas oleh sabda beliau sendiri, “Orang yang kuat bukanlah dengan bergulat. Orang kuat adalah yang mampu menahan amarahnya.” (HR al-Bukhari).

Namun, dalam kondisi tertentu, Rasulullah saw. pun bisa marah. Ada riwayat yang menyatakan, “Sungguh, Nabi saw. tidak pernah marah terhadap sesuatu. Namun, jika larangan-larangan Allah dilanggar, tidak ada sesuatu pun yang dapat menghalangi amarah beliau.” (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dalam hadis lain dinyatakan, “Tidaklah beliau membalas karena dirinya kecuali kehormatan Allah SWT dilanggar hingga beliau pun marah.” (HR al-Bukhari).

Karena itu dalam banyak hal kita pun harus marah, misal: saat kehormatan Islam dilecehkan, saat orang-orang kafir mengolok-olok Islam, saat kaum liberal mengacak-acak al-Quran, saat saudara-saudara sesama Muslim dihinakan bahkan dibantai tanpa belas kasihan oleh musuh-musuh Islam, dsb. Dalam hal seperti ini kita bukan hanya boleh marah, bahkan wajib marah.

Marah Pertanda Adanya Ghirah

Marah sejatinya menunjukkan masih adanya ghirah (cemburu, semangat). Dalam hal ini, Rasulullah saw. bersabda:

« إِنَّ اللَّهَ يَغَارُ وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ وَغَيْرَةُ اللَّهِ أَنْ يَأْتِىَ الْمُؤْمِنُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ »

Sesungguhnya Allah cemburu dan orang Mukmin pun cemburu. Allah cemburu saat orang Mukmin melakukan apa yang telah Dia haramkan atas dirinya (HR al-Bukhari dan Muslim).

Almarhum Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, sekitar tahun 1954, pernah menuliskan buah pikirannya terkait makna ghirah ini. Goresan pena ulama yang akrab disapa Buya Hamka ini kemudian dicetak dalam bentuk buku tipis berjudul Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, yang pernah diterbitkan oleh Pustaka Panjimas (1984).

Kata Buya Hamka, ghirah artinya menjaga syaraf diri (hlm. 3) atau cemburu (hlm. 9). Dalam bukunya itu, Buya Hamka antara lain menyebut cemburu karena agama. Adanya rasa cemburu ini, menurut Buya, adalah simbol masih hidupnya jiwa seorang Muslim. Artinya, jika sudah tak ada lagi ghirah ini, kata beliau, “Ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umat Islam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” (hlm. 8).

Beliau lalu mengutip sabda Rasulullah saw.:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ اْلإِيْمَانِ

Siapa saja di antara kalian melihat kemungkaran, ubahlah dengan tangannya. Jika tak sanggup, dengan lisannya. Jika tak bisa, dengan hatinya; dan itulah selemah-lemahnya iman (HR Muslim).

Stop Segala Bentuk Penistaan al-Quran!

Penistaan al-Quran oleh orang kafir semacam Ahok sebetulnya bukan hal baru. Penistaan itu sudah dilakukan oleh kaum kafir sejak al-Quran ini turun kepada Rasulullah saw. Sikap inilah yang pernah diadukan oleh Rasulullah saw. kepada Allah SWT:

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا

Berkatalah Rasul, “Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang dicampakkan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).

Dalam ayat ini, menurut Imam Az-Zamakhsyari, terkandung pengaduan yang amat besar, juga penanaman rasa takut kepada umat Nabi Muhammad saw. Sebab, kata Imam az-Zamkhsyari, jika para nabi mengadukan kaumnya kepda Allah SWT, maka Allah SWT bakal mengazab mereka (Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, 4/453).

Kendati ayat ini berkenaan dengan kaum kafir dan ketidakimanan mereka terhadap al-Quran, susunan ayat ini juga mengancam siapapun yang berpaling dari al-Quran, baik yang tidak mengamalkan isinya maupun yang tidak mengambil adabnya (Al-Qasimi, Mahâsin at-Ta’wîl, VII/426).

Rasulullah saw. mengadukan perilaku kaumnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an]. Mahjûr[an] berasal dari al-hujr, yakni kata-kata keji dan kotor. Maksudnya, mereka mengucapkan kata-kata batil dan keji terhadap al-Quran seperti tuduhan al-Quran adalah sihir, syair, atau dongengan orang-orang dulu (QS al-Anfal [8]: 31) (At-Thabari, Tafsîr at-Thabarî, 9/385-386).

Kata itu bisa juga berasal dari al-hajr, yakni at-tark (meninggalkan atau mencampakkan). Jadi, mahjûr[an] berarti matrûk[an] (yang ditinggalkan atau dicampakkan) (Abu Thayyib al-Qinuji, Fath al-Bayân fî Maqâshid al-Qur’ân, IX/305).

Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufasir dikategori hajr al-Qur’ân (mencampakkan [baca: menistakan] al-Quran). Di antaranya, menurut Ibn Katsir, adalah: menolak untuk mengimani dan membenarkan al-Quran; tidak men-tadaburi dan memahami al-Quran; tidak mengamalkan serta mematuhi perintah dan larangan al-Quran; berpaling dari al-Quran, kemudian berpaling pada selain al-Quran, di antaranya mengambil tharîqah (jalan hidup) dari selain al-Quran (Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/335).

Mengimani sekaligus mengamalkan al-Quran tentu harus menyeluruh; mencakup semua ayat yang ada di dalamnya. Mengingkari satu ayat al-Quran telah cukup menjerumuskan seseorang dalam kekafiran (QS an-Nisa’ [4]: 150-151).

Sayang, akibat dahsyatnya gempuran pemikiran Barat dan kebodohan umat dalam titik terendah, saat ini tidak sedikit yang bersikap ‘diskriminatif’ terhadap al-Quran. Mereka bisa menerima tanpa ragu hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional. Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan) sikap yang muncul berbeda. Ayat Kutiba ‘alaykum ash-shiyâm (Diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2]: 183 diterima dan dilaksanakan. Namun, terhadap ayat Kutiba ‘alaykum al-qishâsh (diwajibkan atas kalian qishash) dalam QS al-Baqarah [2]: 178, atau Kutiba ‘alaykum al-qitâl (Diwajibkan atas kalian berperang) dalam QS al-Baqarah [2]: 216, muncul sikap keberatan, penolakan, bahkan penentangan dengan beragam dalih. Sikap ‘diskriminatif’ ini berujung pada pengabaian sebagian ayat al-Quran. Sikap ini jelas terkategori ke dalam sikap mengabaikan, mencampakkan bahkan “menistakan” al-Quran.

Al-Quran berisi sekumpulan hukum yang mengatur seluruh segi kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89). Namun, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan oleh individu dan hanya sah dilakukan oleh Khalifah atau yang diberi wewenang oleh Khalifah.

Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang dharûrî (mendesak). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat al-Quran dapat diterapkan. Tanpa Khilafah Islamiah, banyak sekali ayat al-Quran yang terabaikan, sebagaimana saat ini. Padahal menelantarkan ayat al-Quran—walaupun sebagian—termasuk tindakan mengabaikan, mencampakkan bahkan “melecehkan” al-Quran yang jelas-jelas diharamkan.

Karena itu sudah selayaknya umat Islam menerapkan seluruh isi al-Quran. Jika Ahok melecehkan al-Quran dengan kata-kata kasarnya, semoga kita tidak “melecehkan” dan “menistakan” al-Quran dengan tindakan kita, yakni dengan keengganan kita menerapkan hukum-hukum al-Quran (syariah Islam) secara kâffah dalam kehidupan kita.

Alhasil, umat Islam tetap harus menjaga ghirah-nya. Dengan ghirah yang tetap menyala, sejatinya aksi besar-besaran umat Islam tak berhenti pada upaya menuntut kepada Pemerintah agar para penista al-Quran semacam Ahok segera diadili. Aksi besar-besaran umat Islam harus terus dilanjutkan dengan tuntutan kepada para penguasa untuk segera menerapkan seluruh isi al-Quran (syariah Islam) secara kâffah dalam insitusi Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Hanya dengan itulah segala bentuk penelantaran dan penistaan al-Quran bisa diakhiri. []

Komentar al-Islam:

JK: Pemerintah Sudah Berbuat Banyak untuk Berantas Korupsi (Republika.co.id, 25/10/2016).

  1. Faktanya, korupsi tetap marak, dan kasus-kasus korupsi besar seolah ‘dipetieskan’ oleh Pemerintah.
  2. Pemerintah korup pasti akan selalu gagal memberantas korupsi.
  3. Hanya pemerintahan yang bersih dan amanah serta menerapkan sistem syariah yang pasti bakal sukses memberantas dan mencegah tindak korupsi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*