Ibrahim bin Adham


Nama lengkapnya adalah Ibrahim bin Adham bin al-Manshur al-‘Ijli. Ia lahir di Balakh, sebelah Timur Khurasan. Karena itu ia dikenal pula dengan nama Abu Ishaq al-Balakhi. Menurut Imam al-Bukhari (w. 870 M), Ibrahim bin Adham adalah keturunan kedua dari Umar bin al-Khaththab.
Ibrahim bin Adham adalah seorang penguasa di Balakh yang kaya-raya dengan istananya yang megah. Namun, meski hidup bergelimang harta dan kekuasaan, hatinya tidak menjadi lalai.

Lama-lama, gemerlapnya dunia tak membuat dirinya bahagia, juga tak bisa menghadirkan ketenangan jiwa. Akhirnya, ia meninggalkan istana dan semua kemewahan duniawi. Ia pergi ke Baghdad, Irak, Syam dan Hijaz untuk menimba ilmu dari para ulama. Pencahariannya ditopang dari hasil buruan dan memelihara kebun. Ia hidup sebagai seorang yang amat zuhud dan wara’. Ia terkenal sebagai ahli ibadah dan sangat penyantun terhadap sesama, apalagi kepada orang-orang miskin (Lihat: Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 7/387-396).

Tentang keutamaan Ibrahim bin Adham, Imam an-Nasa’i berkata, “Ibrahim bin Adham tsiqah (terpercaya). Ia salah seorang yang amat zuhud.” (Al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 3/219).

Karena keilmuan, keikhlasan, kewaraan dan kezuhudannya, Ibrahim bin Adham dikenal sebagai salah seorang Sulthân al-Awliyâ’. Bahkan menisbatkan Sulthân al-Awliyâ’ kepada Ibrahim bin Adham (w. 206 H) telah amat populer (Al-Muradi, Khulashat al-Atsar, 2/18; Muhammad bin Abu Bakar bin Khakkan, Wafiyât al-A’yân, I/32).

Terkait keikhlasannya, Ibrahim bin Adham, jika ikut terlibat dalam peperangan (jihad), misalnya, usai perang ia tidak mengambil ghanîmah (rampasan perang) yang menjadi haknya. Hal itu ia lakukan demi meraih kesempurnaan pahala jihad (Ibn al-Jauzi, Talbîs Iblîs, 1/180; Al-Mustafâd min Dzayl Târîkh Baghdâd, 1/31).

Terkait kewaraan dan kezuhudannya, Ibrahim bin Adham rela meninggalkan istanannya yang megah dan segala kemewahan duniawi. Ia pergi menuju Syam untuk mencari rezeki yang halal dengan tangannya sendiri. Ia bekerja di kebun milik orang lain dengan tekun (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala, 7/387-396).

Sikap zuhudnya juga tampak saat Ibrahim bin Adham pergi safar ke Baitullah (Makkah). Saat itu ia berpapasan dengan seorang Arab dusun yang mengendarai seekor unta. Orang itu berkata, “Syaikh, mau kemana?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Ke Baitullah.” Orang itu bertanya lagi, “Anda ini seperti tak waras. Saya tidak melihat Anda membawa kendaraan, juga bekal, sementara perjalanan sangat jauh.” Ibrahim kembali berkata, “Sebetulnya saya memiliki beberapa kendaraan. Hanya saja, engkau tidak melihatnya.” Orang itu bertanya, “Kendaraan apa gerangan?” Ibrahim bin Adham berkata, “Jika di perjalanan aku tertimpa musibah, aku menaiki ‘kendaraan sabar’. Jika di perjalanan aku mendapatkan nikmat, aku menaiki ‘kendaraan syukur’. Jika di perjalanan Allah SWT menetapkan suatu qadhâ’ untukku, aku menaiki ‘kendaraan ridha’.” Orang Arab dusun itu lalu berkata, “Jika demikian, dengan izin Allah, teruskan perjalanan Anda, Syaikh. Anda benar-benar berkendaraan. Sayalah yang tidak berkendaraan.” (Fakhruddin ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, 1/234).

Dalam kisah lain, Sahl bin Ibrahim menuturkan, “Aku berteman dengan Ibrahim bin Adham. Saat aku sakit ia membiayai semua pengobatanku dan memenuhi semua keinginanku. Setelah agak sembuh dari sakitku, aku bertanya, “Ibrahim, di manakah keledaimu?” Ibrahim bin Adham menjawab enteng, “Telah kujual untuk memenuhi keperluanmu.” Aku bertanya kembali, “Lalu kita naik apa?” Ibrahim bin Adham berkata, “Saudaraku, naiklah ke atas punggungku.” Kemudian ia membawa aku ketiga tempat (Al-Qusairi, Risâlah al-Qusyairiyyah).

Ibrahim bin Adham amat terkenal dengan nasihat-nasihatnya yang bernas dan amat menyentuh kalbu. Ia, antara lain, berkata, “Ada tiga perkara yang paling mulia di akhir zaman: (1) teman dekat di jalan Allah; (2) mengusahakan harta yang halal; (3) menyatakan kebenaran di hadapan penguasa.” (Abu al-Hajjaj al-Mazzi, Tahdzîb al-Kamâl, 2/35).

Suatu saat Ibrahim bin Adham berjalan melewati sebuah pasar di Bashrah, Irak. Tiba-tiba ia dikelilingi oleh banyak orang. Ia ditanya oleh mereka tentang firman Allah SWT yang artinya, ”Berdoalah kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkan do’a kalian.” (QS Ghafir [40]: 60). Mereka mengatakan, “Kami telah berdoa kepada Allah, namun mengapa belum juga dikabulkan?” Lalu beliau menjawab, “Karena hati kalian telah mati oleh sepuluh perkara: (1) Kalian mengklaim mengenal Allah, tetapi tidak menunaikan hak-hak-Nya; (2) Kalian membaca Kitab-Nya, tetapi tidak mengamalkan isinya; (3) Kalian mengaku memusuhi setan, tetapi mengikuti ajakannya; (4) Kalian mengaku mencintai Rasulullah saw., tetapi meninggalkan sunnah-sunnahnya; (5) Kalian mengklaim merindukan surga, tetapi tidak melakukan amalan-amalan penduduk surga; (6) Kalian mengaku takut neraka, tetapi justru banyak melakukan perbuatan penduduk neraka; (7) Kalian mengatakan kematian itu pasti, tetapi tidak menyiapkan bekal untuk menghadapi kematian itu; (8) Kalian sibuk mencari aib orang lain, sedangkan aib kalian sendiri tidak kalian perhatikan; (9) Kalian makan dari rezeki Allah, tetapi tidak pernah bersyukur kepada-Nya; (10) Kalian sering menguburkan orang mati, tetapi tidak pernah mengambil pelajaran dari kematian mereka.”

Mendengar nasihat itu, orang-orang itu pun menangis (Ibn Rajab al-Hanbali, Rawa’i’ at-Tafsîr, 2/230; Jâmi’ Bayân al-’Ilmi wa Fadhlihi, 12/2).

Ibrahim bin Basyar ash-Shufi al-Khurasani, pembantu Ibrahim bin Adham, menuturkan kisah lain: Pernah seorang sufi datang kepada Ibrahim bin Adham dan bertanya, “Abu Ishaq, mengapa hatiku seperti terhijab dari Allah ‘Azza wa Jalla?” Ibrahim bin Adham menjawab, “Karena hatimu mencintai apa yang Allah benci. Kamu lebih mencintai dunia dan cenderung pada kehidupan yang penuh tipuan, senda-gurau dan permainan.” (Abu Bakr al-Khathib al-Baghdadi, Târîkh Baghdâd, 6/47).

Ibrahim bin Adham juga berkata, “Amal terberat di mizan (timbangan amal di akhirat) adalah yang paling memberatkan badan (dilakukan dengan susah-payah, pen.).” (Al-Asbahani, Hilyah al-Awliyâ’ wa Thabaqât al-Ashfiyâ’, 8/16).

Menurut Ibnu Asakir, Ibrahim bin Adham wafat sebagai syuhada pada 162 H dalam sebuah peperangan (jihad). Ia dimakamkan di Jabala, Suriah.

Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*