Dwi Condro Triono, Ph.D.: Kedaulatan Wajib di Tangan Syariah


Pengantar Redaksi:
Tak banyak disadari oleh umat, bahwa telah lama negara atau Pemerintah diintervensi oleh para pemilik modal. Bukti riilnya adalah banyaknya UU dan kebijakan Pemerintah yang lebih memihak para pemilik modal atau pengusaha ketimbang rakyat kebanyakan. Akibatnya, banyak aset-aset strategis yang sebetulnya milik rakyat dikuasai oleh segelintir para pemilik modal atau pengusaha. Adapun rakyat kebanyakan gigit jari.Mengapa semua ini bisa terjadi? Apa akar penyebabnya? Bagaimana pula cara mengatasi persoalan ini, tentu menurut Islam?

Untuk menjawab beberapa persoalan di atas, kali ini Redaksi mewawancarai H. Dwi Condro Triono, Ph.D, dari DPP HTI. Berikut hasil wawancaranya.

 

Apa bukti Pemerintah saat ini diintervensi pemilik modal?

Banyak bukti untuk menunjukkan itu. Contoh yang paling mudah adalah dengan melihat produk UU yang telah dihasilkan oleh Pemerintah dan DPR, seperti: UU Minerba, UU PMA, UU Migas, UU Kelistrikan, UU Sumber Daya Air, dsb. Semua UU tersebut sarat dengan liberalisasi pada sektor ekonomi strategis, yang menguasai hajat hidup orang banyak. UU yang sangat liberal itu, secara langsung maupun tidak langsung, telah memberikan jalan yang lempang bagi pemodal besar, baik nasional maupun asing, untuk menguasai berbagai sumber daya alam di Indonesia.

Bukti lainnya dapat kita lihat ketika perusahaan besar banyak melakukan pelanggaran, Pemerintah cenderung tumpul untuk memberi tindakan yang sesuai dengan aturan. Misalnya, penanganan kasus-kasus besar yang sudah lama mangkrak, seperti kasus BLBI dan Bank Century, yang banyak melibatkan konglomerat hitam. Sudah sekian lama rakyat menanti kejelasannya, tiba-tiba kasus ini dihentikan oleh KPK. Siapa yang berperan di balik keputusan ini? Demikian juga kasus Freeport, mulai masalah menunggak pajak, kewajiban membangun smelter yang belum juga dipenuhi dsb; terlihat Pemerintah terus menerus memberikan “pengampunan”. Hal itu sangat berbeda jika yang melanggar adalah perusahaan kecil, tentu sanksinya sangat cepat dan tegas. Contoh yang lain adalah bagaimana “mandul”-nya Pemerintah untuk memberikan sanksi kepada perusahaan-perusahaan besar yang telah menjadi pemicu kebakaran hutan yang besar di berbagai tempat di Indonesia. Kasus-kasus mereka ini justru di SP3-kan. Termasuk juga kasus yang lagi hangat, yaitu kasus Pellindo II, yang tidak jelas lagi kelanjutannya; kasus reklamasi teluk Jakarta, walaupun sudah ada keputusan dari Pengadilan untuk dihentikan, ternyata begitu mudahnya untuk “dimentahkan” lagi.

 

Terkait dengan kebijakan Pemerintah terhadap Freeport, Pemerintah beralasan bahwa Freeport telah banyak memberikan masukan pendapatan untuk Indonesia, termasuk lapangan kerja, bagaimana?

Itu adalah alasan yang dibuat-buat dan tidak dapat diterima oleh akal sehat. Silakan dihitung, berapa uang yang masuk kepada para buruh Indonesia yang kerja di Freeport jika dibanding dengan uang yang telah dikeruk oleh Freeport dari gunung emas dan tembaga di Papua? Sangat njomplang tentunya. Sudah ada sekitar 7,3 juta ton tembaga dan 724,7 juta gram emas yang telah mereka keruk. Siapa yang menikmati? Bukan rakyat Indonesia, tentunya. Pemerintah Indonesia saja hanya kebagian sekitar 8-10% saham dan 1% royalti.

Hal itu sangat berbeda jika tiga gunung di Papua—yaitu Grassberg, Ertsberg dan Ertsberg East—itu dikuasai oleh negara, kemudian dieksplorasi oleh pekerja-pekerja dari kalangan rakyat Indonesia sendiri, selanjutnya hasil seluruhnya dikembalikan oleh negara untuk kepentingan dan kemakmuran rakyat Indonesia. Tentu dari SDA ini 100% hasilnya akan dinikmati oleh rakyat Indonesia sendiri.

 

Bagaimana dengan kebijakan tax amnesty, apakah itu menunjukkan keberpihakan penguasa terhadap pemilik modal? Mengapa?

Ya, itu juga contoh yang mencolok di depan mata kita juga. Kebijakan Tax Amnesty itu sangat jelas menunjukkan kepada kita, bahwa Pemerintah itu sangat memihak kepada para pengusaha hitam, yang selama ini banyak merugikan negara. Mereka yang selama ini telah banyak mengeruk kekayaan Indonesia, kemudian membawa kabur hasil “rampokannya” ke luar negeri, padahal mereka tidak pernah membayar pajaknya, tiba-tiba dengan begitu mudahnya diampuni. Mereka dipanggil kembali oleh Pemerintah untuk membawa kembali hasil “jarahannya” ke Indonesia. Tampak sekali, ketika mereka mulai berbondong-bondong membawa uangnya ke Indonesia, mereka disambut bak pahlawan kesiangan.

Hal itu sangat berbeda dengan perlakuan Pemerintah kepada para pengusaha kecil di dalam negeri. Mereka terus dikejar-kejar untuk membayar pajak. Pengusaha kecil diperlakukan seperti maling ayam yang terus dikejar, untuk digebuki ramai-ramai jika tertangkap. Sangat jelas sekali perbedaan perlakuannya. Itulah bukti keberpihakan Pemerintah kepada para pemilik modal besar alias konglomerat hitam.

 

Terkait dengan kebijakan liberalisasi ekonomi, akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi? Bagaimana?

Logikanya sederhana saja. Jika ekonomi diliberalkan, itu akan memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada para pengusaha swasta untuk berkontribusi dalam ekonomi. Kontribusi yang paling utama adalah dalam wujud pertambahan investasi. Jika investasi dari sektor swasta itu bertambah terus, maka itu akan membantu meningkatkan produksi, menambah lapangan kerja baru, sehingga akan meningkatkan pendapatan masyarakat. Itulah disebut dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi.

Sampai di sini tampaknya sangat bagus. Namun, apakah faktanya memang demikian? Ternyata, liberalisasi ekonomi hanyalah kedok atau sarana yang akan dijadikan oleh para pemodal besar untuk menguasai sumberdaya ekonomi, termasuk juga untuk menguasai kekuatan politiknya.

 

Mengapa para pemilik modal bisa menguasai politik dalam sistem demokrasi?

Itu kembali pada inti dasar dari ajaran demokrasi itu sendiri. Demokrasi mengajarkan bahwa kedaulatan itu ada di tangan rakyat. Maknanya, sumber-sumber hukum dan kekuasaan itu ada pada rakyat. Oleh karena itu, untuk bisa menjadi penguasa itu harus bisa meraih suara mayoritas dari rakyat. Ternyata, hal itu tidak dapat diwujudkan, kecuali harus ada kendaraannya, yaitu partai politik. Agar partai politik bisa menjalankan roda politiknya untuk menjadi partai yang besar, hingga dapat meraih suara mayoritas dari rakyat, ternyata sangat membutuhkan “amunisi” yang tidak murah. Siapa yang memiliki kemampuan untuk membiayai kendaraan politik yang sangat mahal tersebut? Tidak lain adalah para pemilik modal besar.

Dengan menggunakan istilah “no free lunch”, maka kalau parpol mengharapkan dukungan dari pemodal besar, tentu tidak ada yang gratis. Jika pemodal besar sudah mengucurkan dananya sampai miliaran, bahkan triliunan, tentu bagi anggota parpol yang telah berhasil didudukkan di tampuk kekuasaan, berbagai kebijakan yang akan dikeluarkan harus tunduk pada kepentingan para pemilik modal tersebut. Atau, jika pemodal besar itu sendiri yang menginginkan untuk duduk dalam kekuasaan, maka kekuasaan itu akan dijadikan sebagai alat untuk memuluskan semua kepentingan proyek-proyek bisnis mereka.

 

Lantas apa bahayanya jika Pemerintah tunduk kepada pemilik modal?

Jika pemerintah sudah tunduk kepada pemilik modal, tentu segala aturan yang dibuat akan berpihak kepada kepentingan kaum pemilik modal. Jika kepentingan kaum pemilik modal itu yang dimenangkan, itu maknanya Pemerintah telah “mengalahkan” kepentingan dari rakyat secara keseluruhan.

Contohnya seperti yang telah disinggung di atas. Jika Pemerintah dan DPR membuat UU yang memberi kebebasan kepada pemilik modal besar untuk menguasai SDA kita, itu artinya penguasa telah menyerahkan kekayaan Indonesia untuk kepentingan segelintir orang pengusaha saja. Akibatnya, mayoritas rakyat Indonesia, yang seharusnya lebih berhak untuk menikmati SDA tersebut, harus tinggal gigit jari. Rakyat akan terus-menerus hidup dalam kesengsaraan dan kemelaratan. Itulah bahayanya.

 

Bagaimana cara Islam menghentikan dominasi pemilik modal dalam sistem politik?

Harus dikembalikan pada sistem politik Islam, yaitu kedaulatan ada di tangan syariah semata, yang semuanya hanya bersumber dari Allah SWT dan Rasul-Nya. Jika sumber dari segala sumber hukum itu hanya berasal dari syariah, itu akan langsung menutup segala celah dan kemungkinan dari para pemilik modal besar untuk memasukkan kepentingannya ke dalam UU.

Jika segala kemungkinan itu sudah tertutup, mereka tidak akan berhasrat lagi untuk menghamburkan uangnya guna mendikte penguasa agar menuruti segala kehendaknya. Insya Allah, dominansi dari para pemilik modal akan terhenti dengan sendirinya.

 

Bagaimana Islam memposisikan para pemilik modal (kelompok bisnis)? Apakah peran mereka dikurangi atau dibatasi?

Sistem ekonomi Islam akan memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para pemilik modal untuk mengembangkan bisnisnya, namun harus mengikuti batas-batas aturan yang telah ditetapkan oleh syariah Islam. Misalnya saja, Islam membolehkan swasta untuk mengembangkan berbagai bisnis di sektor industri, namun syariah Islam telah membatasi (baca: mengharamkan) untuk bisnis industri pertambangan yang besar. Adapun untuk industri pertambangan yang masuk kategori kecil, masih diperbolehkan.

 

Apakah pembatasan ini tidak menghambat laju pertumbuhan ekonomi dan bisnis?

Tentu tidak. Ekonomi itu dapat tumbuh atau tidak tidak ditentukan semata-mata oleh peran pemilik modal dari kalangan swasta saja. Kunci pertumbuhan ekonomi itu dapat dikembalikan pada akan dikembangkan atau tidaknya empat sektor ekonomi riil, yaitu: industri, pertanian, perdagangan dan jasa. Pengembangan empat sektor itu dapat dilakukan oleh pihak manapun, baik individu, perusahaan swasta, maupun pemerintah. Jika empat sektor tersebut terus dikembangkan, insya Allah laju pertumbuhan ekonomi akan terus terjaga.

 

Saat Khilafah tegak, bagaimana kebijakan Khilafah terhadap penanaman modal asing? Bolehkah berbisnis dengan para pedagang asing?

Hukum asal dari transaksi perdagangan luar negeri dan penanaman modal asing adalah sama dengan transaksi yang ada di dalam negeri. Artinya, Islam memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi individu maupun swasta untuk melakukan berbagai aktivitas transaksi perdagangan dan penanaman modal dengan pihak manapun, seberapapun besarnya, selama masih dalam koridor yang dibolehkan oleh syariah Islam.

Yang membedakan antara transaksi dalam dan luar negeri itu hanya menyangkut: dengan warga negara mana kita akan bermitra. Sebab, kebolehan dalam transaksi luar negeri itu hanya bergantung pada status warga negara dari mitra bisnis kita. Jika pihak mitra bisnis kita berasal dari negara yang berstatus kafir harbi fi’lan (negara kafir yang sedang berperang dengan Negara Khilafah), maka hukumnya haram secara mutlak untuk bertransaksi dengan mereka. Jika status warga negara mitra bisnis kita berasal dari negara kafir mu’ahad (negara kafir yang terikat dengan perjanjian), maka kebolehan berbisnis dengan mereka harus mengikuti isi perjanjiannya. Adapun untuk berbisnis dengan warga negara yang berstatus negara kafir harbi hukman, maka setiap proses transaksi bisnisnya perlu ijin khusus dari Negara Khilafah.

 

Bagaimana cara Islam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan bisnis?

Pertumbuhan ekonomi dalam Islam itu dapat terus ditingkatkan jika pembangunan ekonominya difokuskan ke dalam empat sektor ekonomi riil, yaitu: industri, pertanian, perdagangan dan jasa. Artinya, Islam menghendaki agar pertumbuhan ekonomi itu benar-benar berbasis pada sektor ekonomi riil tersebut, bukan pada sektor ekonomi non riil.

Adapun pengembangan ekonomi di sektor non riil—yaitu aktivitas ekonomi di pasar keuangan dan pasar modal (sebagaimana yang berkembang pesat pada saat ini)—akan dilarang, karena basis transaksinya adalah riba dan spekulasi (perjudian). Pengembangan ekonomi di sektor ini memang tampak membawa pertumbuhan ekonomi yang tinggi, namun itu sebenarnya hanyalah ilusi. Berbagai transaksi yang terjadi di sektor ini hanya merupakan perputaran uang di lantai bursa saja, tidak banyak membawa implikasi pada ekonomi sektor riil. Perputaran uang di sektor ini hanya penggelembungan saja seperti balon (bubble economic), yang akan terus membesar, namun isinya kosong. Perputaran uang di sektor ini lama-kelamaan akan semakin besar, jauh melampaui perputaran uang di sektor ekonomi riil. Padahal penggelembungan ekonomi di sektor ini sewaktu-waktu dapat meledak dan akan menghasilkan krisis ekonomi yang sangat dahsyat, sebagaimana yang selama ini terjadi.

Dalam ekonomi Islam, aktivitas ekonomi di sektor keuangan sesungguhnya masih ada yang dibolehkan, selama aktivitas itu memang dalam rangka untuk mendukung kegiatan ekonomi sektor riil. Misalnya, dibolehkan untuk bertransaksi utang-piutang (dayn) tanpa menggunakan riba, dalam rangka untuk pengembangan bisnis. Dibolehkan juga aktivitas penanaman modal untuk kepentingan investasi ekonomi sektor riil dengan menggunakan berbagai akad syirkah. Intinya, Islam sangat mendorong tumbuhnya ekonomi di sektor riil, dengan pertumbuhan yang sehat, bukan dengan pertumbuhan yang semu, sebagaimana pertumbuhan ekonomi di sektor non riil seperti dalam ekonomi kapitalisme. []

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*