Soal: Mencuatnya masalah karamah akhir-akhir ini telah menarik perhatian orang. Bagaimana sebenarnya hakikat karamah? Apakah karamah benar-benar ada? Bagaimana ciri-ciri orang yang mendapatkan karamah? Apakah tujuan karamah diberikan kepada seseorang? Bagaimana pandangan Ahlussunnah terhadap karamah?
Jawab:
Secara harfiah, kata karamah, menurut al-Jauhari, diambil dari kata karam, berarti lawan dari lawm. Ibn Manzhur menyatakan, Al-Karim adalah nama dan sifat Allah, yang artinya Zat Yang Mahamulia, Mahabaik, Mahadermawan dan Memberi, yang pemberiannya tidak pernah habis.1
Karena itu secara harfiah karamah bisa diartikan sebagai pemberian dan kemuliaan yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya sebagai salah satu bentuk nikmat-Nya.2
Adapun menurut istilah, karamah adalah perkara tidak lazim yang ditunjukkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla melalui tangan-tangan para wali-Nya. Ada juga yang menyatakan, karamah dan mukjizat sama, yaitu sama-sama perkara yang menyalahi kebiasaan.3 Dalam syarh kitab Al-‘Aqidah at-Thahawiyyah dinyatakan, secara harfiah [bahasa], mukjizat meliputi semua perkara yang menyalahi kebiasaan; begitu juga karamah dalam istilah para imam ulama pada masa lalu.4 Menurut as-Safarini, karamah adalah perkara tidak lazim, yang tidak disertai dan didahului oleh klaim kenabian, yang tampak melalui tangan hamba yang lahiriahnya shalih, apakah perkara itu telah diketahui atau tidak oleh hamba yang shalih tersebut.5
Pertanyaannya: Apakah karamah ini benar-benar nyata, dan bisa terjadi melalui siapa saja? Lalu bagaimana cara membuktikan karamah tersebut pada diri seseorang?
Untuk menjawab pertanyaan pertama, apakah karamah ini benar-benar nyata, dan bisa terjadi melalui siapa saja, ada tiga pendapat. Pertama: Pendapat Ibn Taimiyah menyatakan bahwa karamah ini nyata, dan terjadi melalui tangan orang-orang shalih, tetapi tidak sampai pada level mukjizat yang ditunjukkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla melalui tangan para nabi dan rasul-Nya untuk membuktikan kenabiannya.6
Kedua: Pendapat Asy’ariyyah menyatakan bahwa mukjizat dan karamah sama; sama-sama perkara yang di luar kelaziman. Hanya saja, karamah untuk para wali, sedangkan mukjizat untuk para nabi. Perbedaan lain, pemilik mukjizat tidak bisa menyembunyikan mukjizatnya, sebaliknya akan menunjukkan mukjizatnya, dan dengan itu dia menantang siapa saja yang menentangnya. Sebaliknya, pemilik karamah justru bekerja keras untuk menyembunyikannya, dan tidak mengklaimnya, sekalipun boleh jadi Allah menampakkannya pada sebagian hamba-Nya karena kedudukannya yang luar biasa di sisi-Nya.7
Ketiga: Pendapat Muktalizah, Ibn Hazm dan al-Isfirayini pengikut Asy’ariyah menyatakan bahwa karamah itu tidak bisa terjadi pada selain nabi.8
Pendapat yang paling kuat tentu yang dibuktikan oleh dalil, baik al-Quran maupun as-Sunnah, juga dikuatkan oleh fakta dan berbagai kejadian yang dinukil oleh orang-orang yang tsiqqah dan terpercaya. Inilah pendapat generasi umat terdahulu, bahwa karamah itu benar-benar terjadi, namun berbeda dengan ketidaklaziman yang terjadi pada para nabi. Sebab, karamah berbeda dengan mukjizat.9 Mukjizat hanya untuk nabi, sebagai bukti atas klaim kenabiannya, sedangkan karamah diberikan kepada para wali, atau orang-orang shalih, tanpa disertai atau didahului klaim kenabian.
Bentuk-bentuk karamah, atau khawariq (perkara yang tidak lazim) yang diberikan kepada wali Allah, menurut Ibn Taimiyyah, ada tiga. Pertama: Sejenis ilmu, seperti mukâsyafah (mengetahui apa yang tak tampak secara kasatmata). Kedua: Sejenis kemampuan dan kekuasaan (al-qudrah wa al-mulk), seperti tindakan yang dilakukan menyalahi kelaziman. Ketiga: Sejenis kekayaan (al-Ghinâ) yang diberikan oleh Allah kepada hamba-Nya dengan kasatmata, bisa dalam bentuk ilmu, kekuasaan, harta dan kekayaan.10
Namun, tidak semua bentuk khawariq yang diberikan kepada seseorang disebut karamah. Karamah merupakan nikmat yang diberikan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya untuk membela kebenaran. Orang yang memiliki karamah juga dikenal sebagai orang yang istiqamah memegang syariah dan menjaga hukum-Nya. Mereka bukan orang gila dan ahli maksiat. Karena itu jika khawariq tersebut dimiliki oleh orang gila dan ahli maksiat tidak bisa disebut karamah.
Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, telah menuturkan dari al-Laits bin Saad dan asy-Syafi’i, rahimahumalLâh, pendapat mereka:
إِذَا رَأَيْتُمُ الرَّجُلَ يَطِيْرُ فِي الْهَوَاءِ وَيَمْشِيْ عَلَى الْمَاءِ، فَلاَ تَغْتَرُّوْا بِهِ حَتىَّ تُعْرَضُوْا أَمْرَهُ عَلَى الْكِتَابِ وَالسُّنَةِ
Jika kalian melihat seseorang bisa terbang di udara dan berjalan di atas air, janganlah kalian terperdaya dengannya hingga menjadi jelas pada kalian sikapnya terhadap al-Kitab (al-Quran) dan as-Sunnah.
Ad-Dzahabi juga menuturkan pandangan Abu Yazid al-Busthami tentang orang yang memiliki karamah ini:
للهِ خَلْقٌ كَثِيْرٌ يَمْشُوْنَ عَلَى الْمَاءِ وَلاَ قِيْمَةَ لَهُمْ عِنْدَ اللهِ، وَلَوْ نَظَرْتُمْ إِلَى مَنْ أُعْطِيَ مِنَ الْكَرَامَاتِ حَتَّى يَطِيْرَ، فَلاَ تَغْتَرُّوْا بِهِ حَتىَّ تَرَوْا كَيْفَ هُوَ عِنْدَ الأَمْرِ وَالنَّهْيِ وَحِفْظِ الْحُدُوْدِ
Allah mempunyai banyak makhluk yang bisa berjalan di atas air, tetapi mereka tidak mempunyai nilai [kedudukan] di sisi Allah. Kalaupun kalian melihat ada orang yang diberi karamah hingga bisa terbang, janganlah itu membuat kalian terperdaya sampai kalian membuktikan bagaimana sikapnya terhadap perintah dan larangan-Nya, serta sikapnya dalam menjaga hudûd (ketentuan hukum)-Nya.
Karena itu Ibn Taimiyyah menyatakan bahwa karamah para wali itu merupakan hasil dari keberkahan ittibâ’ (mengikuti) Nabi Muhammad saw..11 Karena wilayah (kewalian) adalah bentuk kecintaan dan kedekatan; kebalikan dari ‘adawah (permusuhan) yang berarti marah dan jauh. Seseorang disebut wali karena mencintai dan terus-menerus melakukan ketaatan. Karena itu wali Allah adalah orang yang patuh, tunduk dan mengikuti apa yang disukai, diridhai, dimurkai, dibenci, diperintahkan dan dilarang oleh Allah.12
Ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran:
ألاَ إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللهِ لاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُوْنَ، الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَكَانُوْا يَتَّقُوْنَ
Ingatlah, sesungguhnya para wali Allah itu tidak ada rasa takut dan sedih di dalam hati mereka. Mereka adalah orang yang beriman dan bertakwa (kepada Allah) (QS Yunus []: 62-63).
Karena itu, karena kedekatan dan ketaatannya kepada Allah, maka siapa saja yang memusuhi dirinya sama dengan memusuhi Allah. Inilah yang dinyatakan dalam Hadis Qudsi:
مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ بَارَزَنِي بِالمُحَارَبَةِ، أَوْ فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ
Siapa saja yang memusuhi wali-Ku, dia benar-benar telah menunjukkan permusuhan (perang) kepada-Ku, atau dia telah mengizinkan-Ku untuk memerangi dirinya (HR al-Bukhari).
Contoh-contoh karamah para wali Allah ini sangat banyak, mulai dari generasi Sahabat hingga generasi salaf shalih setelahnya. Imam al-Bukhari meriwayatkan bahwa Usaid bin Hudhair dan Ibad bin Basyar ketika berpisah dengan Nabi saw. di malam yang gelap, keduanya diterangi cahaya. Ketika keduanya berpisah, cahaya yang menyinari keduanya pun terbelah menyertai masing-masing.
Ummu Aiman diberi karamah saat hijrah tanpa bekal apapun, termasuk air. Ia nyaris meninggal karena haus dan dahaga sampai tiba-tiba ada timba berisi air di atas kepalanya tergantung dan beliau pun minum. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya ia tidak pernah merasakan dahaga. Safinah, budak Nabi saw., pernah didampingi singa dalam perjalanannya hingga sampai tempat tujuannya setelah ia memberitahu singa itu, bahwa ia adalah utusan Rasulullah saw.13
Ada kisah Saad bin Muadz yang tanah kuburnya memancarkan bau harum Misk. Ada kisah tentang Thalhah yang wafat di laut, saat hendak berjihad, yang jenazahnya baru bisa dimakamkan di tanah, setelah kurang lebih satu minggu kemudian baru bertemu daratan, tetapi tetap utuh, tidak bau busuk. Demikian juga tubuh Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani yang tetap utuh setelah lebih dari 30 tahun dimakamkan. Semua ini adalah bentuk-bentuk karamah yang dimiliki oleh para wali Allah.
Dengan demikian, karamah hanya diberikan oleh Allah kepada orang shalih karena ketaatannya kepada Allah SWT dan ittiba’-nya kepada Rasulullah saw. Tujuannya untuk menolong dan memuliakan mereka, sebagai-mana yang dimiliki para Sahabat dan generasi salaf shalih setelahnya. Karamah ini tidak diberikan kepada ahli maksiat atau orang gila.
Jika ada khawariq yang dimiliki ahli maksiat, atau orang gila, jelas ini bukanlah karamah. Jika khawariq ini didemonstrasikan kepada setiap orang, dan digunakan untuk menipu mereka, maka ini pun bukanlah karamah. Dalam konteks yang terakhir ini bisa disebut sihir, hipnotis, sulap dan sejenisnya. Orangnya juga, menurut Ibn Taimiyyah, tidak bisa disebut wali Allah, tetapi wali setan.
WalLâhu a’lam bi as-shawwâb. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
1 Lihat, al-Imam Abi al-Wasim Hibatu-Llah bin al-Hasan at-Thabari al-Lalakai, Karamatu Auliya’i-Llah ‘Azza wa Jalla wa Idhhar Ayati Ashfiyaihi min as-Shahabati wa at-Tabi’in wa al-Khalifina lahum wa Min Ba’dihim min al-Mua’akhkhirin Radhiya-Llahu ajma’in, ed. Dr. Ahmad Sa’d Hamdan, Dar a-Thayyibah, Riyadh, cet. I, 1992 M/1412 H, hlm. 14.
2 Ibid, hml. 14.
3 Al-Qahir al-Baghdadi, Kitab Ushuliddin, Dar al-Fikr, Beirut, t.t., hlm. 174.
4 Syarah al-‘Aqidah at-Thawiyyah, hal. 558. Lihat, al-Imam Abi al-Wasim Hibatu-Llah bin al-Hasan at-Thabari al-Lalakai, Ibid, hlm. 14.
5 As-Safarini, Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah, II/392.
6 Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, III/156.
7 Al-Qahir al-Baghdadi, Op. Cit, hal. 174-175.
8 Lihat, al-Imam Abi al-Wasim Hibatu-Llah bin al-Hasan at-Thabari al-Lalakai, Ibid, hlm. 17.
9 Ibid, hlm. 18.
10 Ibn Taimiyyah, al-Furqah Baina Auliya’i-Llah wa Auliya’i as-Syaithan, hlm. 187.
11 Ibn Taimiyyah, Al-Furqah bayna Auliya’i-Llah wa Auliya’i as-Syaithan, hlm. 155.
12 Ibid, hlm. 9-10.
13 Ibn Taimiyyah, Majmu’ al-Fatawa, XI/276.