Kekuatan politik korporasi di negara ini memang tak bisa dianggap remeh dalam mempengaruhi pemerintah dan kebijakannya. Dengan kekuatan modal mereka, mereka mampu untuk mempengaruhi publik dan Pemerintah lewat media yang mereka kuasai, konsultan yang mereka bayar, lembaga sosial dan politik yang mereka danai, kekuatan lobi dan dukungan finansial kepada partai politik dan tokoh politik hingga menggalang dukungan di tataran global. Akibatnya, mereka pun tidak terlalu sulit untuk membuat Pemerintah tunduk pada kepentingan mereka, apalagi jika pemerintahnya memang sosok yang mudah terbeli. Inilah yang belakangan ini terjadi secara terbuka di negara ini. Rezim tunduk kepada para pemilik modal.
Padahal selama ini relaksasi ekspor sejatinya bertentangan dengan UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba. Pada UU tersebut pelaku usaha diwajibkan untuk melakukan pemurnian empat tahun sejak aturan diundangkan maksimal pada Januari 2014. Jika tidak, izin ekspor mereka dicabut. Namun demikian, sejak tenggat tersebut berakhir, Pemerintah tetap memberikan kelonggaran kepada sejumlah perusahaan tambang seperti PT Freeport dan PT Newmont Nusa Tenggara untuk terus melakukan ekspor dengan cara merevisi peraturan turunan dari UU tersebut. Padahal perusahaan asal AS itu hingga saat ini belum membangun smelter dan belum menyetorkan uang jaminan kepada Pemerintah bahwa perusahaan itu berkomitmen membangun smelter.
Jika ditelusuri, kebijakan Pemerintah tersebut sangat terkait dengan nasib beberapa perusahan tambang raksasa di negeri ini seperti PT Freeport dan PT Newmont Minahasa. Hingga saat ini, Freeport belum mendapat jaminan secara pasti dari Pemerintah mengenai kelanjutan izin investasi yang akan berakhir tahun 2021. Perusahaan itu tidak ingin investasinya untuk membangun smelter menjadi sia-sia jika izinnya tidak diperpanjang. Di sisi lain, pendapatan perusahan itu sangat bergantung pada penjualan ekspor.
Alasan bahwa rencana relaksasi itu karena pembangunan smelter belum siap juga tidak tepat. Pasalnya, Asosiasi Perusahaan Industri Pengolahan dan Pemurnian Indonesia (AP3I) jelas-jelas menolak rencana tersebut. Selama ini mereka telah berinvestasi membangun smelter karena mengikuti regulasi yang dibuat Pemerintah untuk mendorong pemurnian di dalam negeri. Jika aturan tersebut kembali dilonggarkan maka investasi mereka terancam merugi. Lebih dari itu, sejak Pemerintah mengultimatum pemberlakukan batas akhir izin ekspor tahun 2014, banyak perusahaan tambang kecil yang terpaksa tutup. Di Sulawesi Tenggara, misalnya, pada awal 2014, lebih dari 1500 karyawan tambang di-PHK karena perusahaan ditutup akibat tidak sanggup untuk membangun smelter.
Tax Amnesty untuk Pengemplang Pajak
Kebijakan lain yang menunjukkan ketundukan Pemerintah pada konglomerat dan korporasi adalah pemberlakuan UU Tax Amnesty. Di bawah UU itu, orang-orang yang mengemplang pajak dibebaskan dari jerat hukum asal mereka membayar uang tebusan yang nilainya relatif kecil. Padahal jika merujuk pada UU Ketentuan Umum Perpajakan, orang atau korporasi yang dengan sengaja melakukan pengemplangan pajak dikategorikan sebagai tindakan kriminal.
Namun demikian, dengan UU tersebut Pemerintah justru memperlakukan para pengemplang pajak khususnya para taipan kelas atas seperti pahlawan negara. Aneka upaya dilakukan mulai dari road show ke beberapa kota besar, termasuk Singapura dan Hong Kong untuk membujuk pengusaha WNI, untuk ikut program tersebut, hingga menjamu sejumlah taipan papan atas di Istana Negara, termasuk Aguan yang sempat dicekal karena tersangkut kasus penyuapan terkait reklamasi pantai Jakarta. Sikap Pemerintah yang proaktif ini seolah-olah menjadi peminta-minta di hadapan para pengusaha tersebut. Padahal tidak dapat disangkal, banyak dari dana yang disembunyikan itu berasal dari hasil kegiatan yang ilegal seperti korupsi dana BLBI, hasil penangkapan ikan ilegal, pertambangan ilegal dan pembalakan hutan secara liar.
Kebijakan tersebut jelas tidak adil bagi mereka yang selama ini rajin membayar pajak. Sikap kooperatif Pemerintah terhadap para pengemplang pajak tersebut juga kontradiktif dengan berbagai pungutan yang dibebankan Pemerintah kepada rakyat umum seperti keharusan membayar Pertambahan Nilai (PPN) dalam setiap transaksi mereka, pembayaran iuran BPJS Kesehatan dan iuran BPJS Ketenagakerjaan bagi para para karyawan formal serta berbagai retribusi yang dikenakan oleh pemerintah daerah.
Reklamasi Pantai Jakarta
Ketundukan Pemerintah pada kepentingan korporasi juga tampak pada inkonsistensi Pemerintah terkait legalitas kegiatan reklamasi pantai Jakarta. Meskipun telah berjalan selama beberapa tahun, kajian mengenai proses reklamasi Teluk Jakarta baru berlangsung pada saat Kementerian Maritim dijabat oleh Rizal Ramli. Hasilnya, kegiatan reklamasi yang melibatkan korporasi properti papan atas itu bermasalah dari berbagai aspek; termasuk dalam masalah hukum, lingkungan hidup dan kesejahteraan warga pesisir. Oleh karena itu, kegiatan reklamasi harus dihentikan khususnya untuk Pulau G. Pengadilan Tata Usaha Negara pun telah membatalkan izin yang dikeluarkan Pemda DKI kepada PT Muara Wisesa Samudra, anak perusahaan Agung Podomoro.
Hanya saja, tidak lama setelah rekomendasi itu dikeluarkan, Rizal Ramli didepak dari Kabinet. Tak lama setelah dilantik, Menteri Koordinator Maritim yang baru, Luhut B. Panjaitan justru menganulir keputusan sebelumnya karena dianggap tidak ada persoalan. Keputusan itu menjadi sangat aneh karena rekomendasi sebelumnya bersumber dari kajian yang melibatkan berbagai kementerian teknis seperti Kementerian KKP dan Kementerian Lingkungan Hidup. Persepsi bahwa keputusan itu lebih untuk mengakomodasi kepentingan segelintir investor sulit untuk dibantah.
Kebijakan Pemerintah tersebut di atas sangat kontras dengan kebijakan yang ditujukan kepada rakyat kecil di negara ini. Penduduk yang dianggap menduduki tanah yang dianggap ilegal digusur dan diusir tanpa ampun. Pemerintah DKI, mengutip data Forum Warga Kota Jakarta (FAKTA), sejak tahun 2013 telah menggusur 62.036 orang miskin. Demi memuluskan akses pembangunan kawasan wisata di DKI, penduduk Luar Batang digusur dan dibiarkan hidup terkatung-katung. Padahal sebagian dari mereka telah mengantongi sertifikat atas tanah-tanah yang mereka tempati. Namun, karena keberadaan mereka dianggap benalu yang menghambat Ibukota untuk maju, mereka diusir secara tak manusiawi. Ini jelas kontras dengan sikap mereka kepada para pengembang yang bermodal besar.
Bahaya Kebijakan Pro-Konglomerat
Peran Pemerintah yang semestinya berpihak pada kepentingan publik secara luas, dalam banyak hal justru lebih mengutamakan kepentingan korporasi yang bertentangan dengan kepentingan rakyat banyak. Kebijakan yang berat sebelah tersebut pada akhirnya baik langsung ataupun tidak berdampak buruk bagi kemakmuran rakyat di negara ini.
- Hak rakyat diabaikan sementara beban mereka diperat.
Semakin dominannya peran korporasi dalam pengelolaan ekonomi negara termasuk dalam penyediaan kebutuhan asasi publik membuat rakyat, terutama mereka yang berpendatan rendah, makin berat untuk menjangkau layanan tersebut. Pembangunan infrastruktur seperti jalan tol, pelabuhan dan pembangkit listrik dengan prinsip kerjasama publik dan swasta membuat partisipasi swasta kian besar. Biaya dan margin keutungan dari pembangunan infrastruktur publik tersebut kemudian dibebankan kepada rakyat yang sanggup membayar. Produksi dan distribusi energi seperti BBM dan gas alam yang semestinya dikelola oleh negara sebagian besar justru dilepas ke korporasi swasta. Subsidi pun dicabut agar tidak mendistorsi harga pasar. Dengan demikian swasta diharapkan tertarik berinvestasi.
Hal serupa juga terjadi pada penyediaan jasa kesehatan dan pendidikan. Meskipun jumlah penduduk setiap tahunnya terus meningkat, investasi Pemerintah dalam pembangunan infrastruktur kesehatan dan pendidikan seperti rumah sakit, sekolah dan universitas relatif stagnan. Kesenjangan ini kemudian diisi oleh swasta. Beberapa korporasi besar seperti Lippo Group melalui Siloam Hospital, Mayapada Group dan Kalbe Group lewat Mitra Keluarga semakin agresif berinvestasi. Peran korporasi swasta semakin terbuka dengan kehadiran BPJS. Pemerintah hanya fokus menangani fasilitas kesehatan yang sudah ada sembari memberikan bantuan iuran BPJS kepada penduduk miskin. Rakyat yang dianggap tidak miskin, sakit ataupun tidak, diwajibkan untuk membayar premi bulanan sepanjang hayat mereka.
- Perampokan kekayaan alam atas nama investasi.
Ketundukan Pemerintah kepada korporasi juga berdampak pada semakin berkuasanya mereka atas kekayaan alam negeri ini. Atas nama investasi, kekayaan alam khususnya migas dan barang tambang yang bernilai tinggi justru diserahkan kepada korporasi swasta. Regulasi yang dianggap menghambat investasi dihapuskan. Sebagai contoh, dalam Paket Kebijakan Ekonomi ke-10, Pemerintah telah merevisi “Daftar Negatif Investasi” sehingga partisipasi investor asing beberapa sektor seperti pada pembangunan jalan tol dan instalasi listrik semakin besar.
- Menumbuhsuburkan korupsi dan kolusi.
Melemahnya peran negara dalam kegiatan ekonomi membuat kompetisi antarkorporasi menjadi kian sengit terutama pada sektor yang menjanjikan keuntungan besar. Berbagai cara ditempuh agar mereka memenangkan persaingan tersebut. Salah satu bentuknya adalah berkolusi dengan oknum Pemerintah yang dianggap mampu berkerjasama untuk mewujudkan ambisi mereka. Berbagai skandal korupsi yang melibatkan pejabat Pemerintah banyak terkait dengan kepentingan korporasi seperti korupsi dalam pemenangan tender pengadaan barang dan jasa pemerintah, korupsi dalam pembagian kuota ekspor, impor dan distribusi barang, serta korupsi untuk mendapatkan izin pertambangan dan perkebunan dan konstruksi. Contoh mutakhir adalah penetapan tersangka atas Ketua DPD Irman Gusman karena diduga menerima suap dari Direktur Utama CV Semesta Berjaya dalam rangka pendistribusian gula Bulog di Sumatera Barat.
- Negara dibelenggu dan tunduk kepada konglomerat.
Kuatnya peran korporasi atas Pemerintah membuat berbagai regulasi dan kebijakan Pemerintah menjadi sangat bias kepada mereka. UU baik yang diusulkan oleh Pemerintah maupun DPR, ataupun pejabat yang ditunjuk oleh Pemerintah, tidak sedikit yang tunduk pada kepentingan para konglomerat.
Di Amerika Serikat, kuatnya hubungan antara pejabat pemerintah dan pelaku usaha membuat kebijakan menjadi bias pada kepentingan korporasi. Sebagai contoh, Menteri Keuangan Robert Rubin dan Henry Paulson yang sebelumnya merupakan petinggi Goldman Sachs, salah satu bank investasi terbesar di AS, berperan besar dalam menderegulasi pasar modal sehingga melambungkan keuntungan korporasi di sektor keuangan sekaligus menjerumuskan negara itu ke dalam krisis keuangan tahun 2008.
Hal serupa juga terjadi di negara ini. Banyak pejabat negara saat ini memiliki perusahaan-perusahaan dalam skala besar seperti Wapres dengan Grup Bukaka dan Luhut dengan Grup Toba Sejahtera. Kedua grup usaha ini merambah berbagai lini usaha baik di sektor migas dan pertambangan, agribisnis hingga pembangkit listrik. Konflik kepentingan dalam pengambilan kebijakan yang terkait dengan sektor itu menjadi tak terhindarkan.
Ketergantungan pada korporasi dalam hal pembiayaan proyek dan program Pemerintah juga telah membuat Pemerintah tidak dapat bertindak independen dalam menjalankan proyek dan program tersebut. Berbagai proyek infrastruktur yang didanai China Development Bank, misalnya, tidak lagi dibangun secara penuh sesuai kehendak Pemerintah, namun harus sesuai dengan persetujuan korporasi tersebut, termasuk dalam hal pengadaan barang.
- Menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan miskin.
Kebijakan yang banyak berpihak pada korporasi pada gilirannya membuat kekayaan di negara ini semakin terakumulasi pada sebagian kecil penduduk. Di sisi lain, peran negara dalam mendistribusikan kekayan kepada rakyat kecil makin minim. Dampak dari hal itu adalah makin tingginya tingkat kesenjangan pendapatan antara penduduk menengah bawah dan penduduk menengah atas. Gini ratio, indikator untuk mengukur tingkat kesenjangan penduduk, terus melebar dari 30 pada tahun 2000 menjadi 40 pada tahun 2016. Selain itu, 40 persen penduduk terbawah pengeluarannya turun dari 22% pada tahun 2002 menjadi hanya 17% pada tahun 2016. Pada saat yang sama, 20% penduduk teratas konsumsinya naik dari 40% menjadi 47% pada periode yang sama. Artinya, kue ekonomi yang didapatkan penduduk menengah bawah semakin sedikit.
WalLâhu a’lam. [Muhammad Ishak]