Sebenarnya kasus Basuki Tjahya Purnama atau Ahok ini bukan persoalan penafsiran Al-Quran Surat Al Maidah Ayat 51.
“Persoalannya adalah kata-kata Ahok yang menuduh ulama, ustadz, atau mubaligh membohongi umat dengan surat Al Maidah ayat 51. Jadi yang disebut berbohong adalah ulamanya atau surat Al-Qurannya. Itu sudah pasal penodaan agama,” ungkap Ketua PP Muhammadiyah Prof Dr Yunahar Ilyas seperti diberitakan tabloid Media Umat Edisi 184: Ahok (Harus) Tersangka, 4 – 17 Safar 1438 H/ 4 – 17 November 2016.
Intinya di situ, tapi kemudian berkembang kepada penafsiran Al-Maidah ayat 51. Kalau tafsir umumnya para mufassir “awliya” yang ada di dalam ayat itu diartikan pemimpin, sehingga bunyi ayatnya “Janganlah kamu orang-orang yang beriman mengambil Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin.”
“Nah kalau diartikan ‘teman setia’, ya dari segi bahasa boleh saja, karena wali itu punya banyak makna, bisa berarti teman setia, pelindung, penolong,” ujarnya.
Namun menurut Yunahar kalau artinya itu “teman setia” konsekuensi hukumnya lebih berat lagi, jadi artinya jadi teman setia saja tidak boleh apalagi pemimpin. Jadi ayat ini menegaskan apa yang ada di Al-Quran, dan dilihat Al-Maidah ayat 55 juga, yang menjelaskan tiga hirarki kepemimpinan.
“Jadi walaupun penafsirannya “awliya” ditafsirkan “teman setia” tetap tidak akan menyelamatkan Ahok dari proses hukum, karena masalahnya bukan di tafsirnya. Masalahnya ada pada kalimat dibohongi dengan Al-Maidah ayat 51,” pungkasnya.[]Fatih Sholahuddin/Joy