Banyak dalih yang dilakukan Ahok dan para pendukungnya agar calon gubernur petahana DKI Jakarta lepas dari jerat hukum. Walhasil, seolah Ahok tidak bersalah. Bagaimana kedudukan kasus ini dan dalih-dalih tersebut dalam hukum yang berlaku sekarang? Untuk menjawabnya, wartawan Tabloid Media Umat Joko Prasetyo mewawancarai pakar dan praktisi hukum Mahendradatta. Berikut petikannya.
Bagaimana pendapat Anda tentang dugaan penistaan Alquran dan ulama yang dilakukan Ahok di Kepulauan Seribu?
Kita harus membedahnya dengan tinjauan hukum pidana. Jangan tinjauan politik, jangan tinjauan kebencian dan lain sebagainya. Kesimpulannya, memang Ahok dalam hal ini bisa disangka melakukan penistaan agama dan penistaan para ulama.
Tapi Kapolri mengimbau untuk melihat video rekamannya secara utuh jangan hanya sepotong seperti yang beredar viral itu…
Mau didengarkan semua atau sepotong, sama saja. Ada kata-kata itu. Kata-kata itu kemudian menjadi kutipan dan memang benar, antara lain menjadi kutipan sikap keagamaan MUI Pusat.
Dalam tindak pidana itu ada yang disebut dengan tempus delicti. Tempus delicti, yaitu berdasarkan waktu, untuk menentukan apakah suatu undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana.
Di dalam tempus delicti itu yang diperhatikan hanyalah waktu-waktu ketika dia melakukan pidana itu. Misalnya, kalau pembunuhan itu berarti waktu ketika dia membunuh atau ketika dia mematikan orang itu. Nah, kalau di dalam tindak pidana penistaan adalah waktu dan saat-saat ketika konteks dia mengucapkan kata-kata yang dianggap penistaan.
Ini harus saya sebutkan untuk melawan counter ngawur dari pendukung Ahok. Pendukung Ahok dan juga Kapolri kan meminta kita untuk melihat dan mendengarkan semua video yang merekam Ahok di Kepulauan Seribu.
Jadi tidak usah semua, karena tempus yang lain-lain tidak menghina. Misalnya seperti “Selamat Siang Bapak-Bapak dan Ibu-Ibu…” kan tidak menghina. Mengapa harus diperlihatkan juga. Ini kan hanya cara-cara orang untuk mengaburkan persoalan!
Kita straight saja kepada law-nya, masalah hukum. Bahwa ada ucapan penistaan pada menit sekian detik sekian sampai dengan menit sekian detik sekian yang antara lain satu konteks, satu kalimat, satu rangkaian itu yang dianggap menistakan agama Islam. Satu menista agama, yang kedua menista ulama. Jadi sudah benar itu sikap keagamaan MUI Pusat.
Pada 7 Oktober Ahok melakukan klarifikasi, pendapat Anda bagaimana?
Kalau setiap orang yang disangka pidana pasti ada klarifikasi dan bantahan, kita anggap itu sebagai pembelaan. Tapi akan lebih elegan kalau itu disampaikan di pengadilan karena ini sudah masalah hukum. Bila semua pembelaan bisa dilakukan sebelum pengadilan dan itu diterima sehingga pengadilannya tidak jalan, itu yang tidak benar.
Dalam klarifikasinya Ahok malah bilang: “Kalian dibodohi orang-orang rasis pengecut, itu yang mau saya tekankan sekarang, menggunakan ayat suci untuk tidak memilih saya.”
Boleh saja, dalam pembelaan you boleh ngomong apa saja. Tapi kita sekarang bicara prosedur, mau ngomong apa saja silakan. Tapi tolong ngomongnya di pengadilan. Polisi tidak perlu menahan-nahan tersangka ngomong, cukup masukkan saja ke dalam BAP-nya nanti.
Kan boleh, tersangka ngomong apa saja, bohong saja boleh. Tersangka itu boleh bohong lho, tidak ada ancaman hukuman, itu dalam Hukum Acara Pidana yang berlaku sekarang. Jadi, mari kita semua menghormati apa yang disampaikan Ahok agar kemudian disampaikan di pengadilan agar lebih mantap. Artinya, Ahok tidak bisa membela diri kalau tidak ada pengadilannya. Jadi, pembelaan Ahok jangan dibiarkan berkeliaran di kalangan pendukungnya.
Tapi 10 Oktober Ahok minta maaf…
Itu satukan ke dalam pembelaan. Seringkan dipertontonkan di televisi, seorang terdakwa korupsi meminta maaf kepada rakyat Indonesia.
Namun 14 Oktober Ahok bilang sudah minta maaf tapi kok masih demo…
Tanya sama hakim dulu, jangan tanya sama yang demo. Demo itu hanya ingin proses hukumnya kelar, tuntas. Lha, Ahok mengapa tidak bertanya kepada hakim-hakim pengadilan dan jaksa-jaksa tindak pidana? Orang sudah meminta maaf kok masih diadili. Tanyanya ke sana.
Kepala Divisi Humas Polri sempat menuturkan Polri akan menunda proses pemeriksaan Ahok hingga Pilkada selesai, pendapat Anda?
Itu peraturan Kapolri yang lalu yang memerintahkan menunda sementara semua proses penyidikan terhadap calon kepala daerah pada Pilkada serentak 2015 yang dilaporkan atau tersangkut kasus pidana tertentu.
Itu sifatnya imbauan saja. Undang-undang juga bukan. Jadi tidak bisa menunda tindak pidana.
Artinya, secara hukum penistaan agama ini tidak bisa dikaitkan dengan Pilkada kan?
Enggak! Pilkada lagi, daerah! Pilpres juga tidak bisa kok. Apalagi daerah.
Peraturan Kapolri itu tidak ada pengaruh apa-apa dalam kasus tindak pidana?
Tidak ada. Itu hanya imbauan, kasus tindak pidana itu yang sedang kita bicarakan dari tadi dan itu diatur dalam UU No 1 1981, UU Republik Indonesia tentang Hukum Acara Pidana. UU hanya bisa ‘dilawan’ dengan UU atau yang lebih tinggi. UU Pemilu tidak bilang begitu!
Jadi tidak bisa dikaitkan dengan Pilkada karena itu tidak diatur dalam Acara Hukum Tindak Pidana. Sekali lagi, ini straight saja, murni masalah penistaan.
Jadi kadang-kadang ada oknum aparat yang suka nambah-nambahin. Kalau umat diam saja, tidak mempermasalahkan penundaan penangkapan tersangka Ahok ya, Ahok tidak akan diproses dengan dalih peraturan Kapolri yang lalu itu.
Inilah bukti, mereka-mereka yang pro Ahok ini akan mencari seribu satu cara untuk menyelamatkan jagoannya ini dari jerat hukum.
Lantas apa yang membuat polisi sampai sekarang belum juga menangkap Ahok?
Tanya saja sama polisi.
Maksud saya menurut pendapat Anda…
Yaaa… kemarin-kemarin itu kan polisi masih mencoba-coba. Tapi kan setelah didemo kemarin keluar janjinya akan memproses. Kalau ternyata tidak diproses, umat Islam kan berhak menyatakan pendapatnya lagi.
Apa bahayanya kalau Ahok tidak diproses secara hukum?
Ingat, ini sudah menjadi gerakan umat Islam seluruh Indonesia. Sebuah perasaan keadilan yang tersumbat, bisa menghasilkan ledakan yang tidak diperkirakan.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat edisi 183