Sinyal Kebangkitan Umat Islam

[Al-Islam edisi 830, 11 Shafar 1438 H – 11 November 2016 M]

Aksi Bela Islam II telah berlangsung pada Jumat 4 November 2016 lalu. Aksi tersebut diikuti oleh lebih dari satu juta (bahkan ada sebagian media yang menyatakan lebih dari dua juta) orang dari kaum Muslim. Foto-foto dari udara yang dimuat di berbagai media sudah lebih dari cukup menjadi bukti besarnya jumlah peserta aksi itu. Peserta aksi pun berasal dari seluruh Indonesia; dari Aceh hingga Papua; dari yang usia muda sampai lanjut usia, laki-laki dan perempuan, dari rakyat biasa, profesional, artis hingga pejabat. Mereka pun berangkat atas biaya sendiri atau patungan. Masyarakat dari berbagai pelosok negeri ini bergerak ikhlas dan spontan menuntut hal yang sama: Adili Ahok, penista al-Quran dan penghina ulama!

Sayang, aspirasi peserta aksi terbesar sepanjang sejarah negeri ini tak bisa disampaikan langsung kepada Presiden Jokowi. Jokowi justru memilih untuk meninjau proyek kereta bandara Soetta-Jakarta Kota; satu agenda yang sesugguhnya bisa ditunda dan dilakukan kapan saja, atau diwakilkan kepada pejabat lainnya. Adapun aksi terbesar itu tentu tidak terjadi kapan saja, bahkan mungkin itu adalah kesempatan satu-satunya. Jokowi memilih “menghindar”; tidak menemui para ulama dan tokoh yang mewakili peserta aksi. Padahal sebelumnya Jokowi mau menerima para pelaku insiden Tolikara, juga bersedia menerima segelintir konglomerat bahkan di antaranya berstatus dicekal. Sikap itu sungguh menanamkan kekecewaan atau bahkan menorehkan luka di hati umat Islam.

Wapres JK akhirnya menerima para ulama perwakilan peserta aksi dengan didampingi Menko Pulhukam, Panglima TNI dan Kapolri. Jk memberikan jaminan bahwa proses hukum terkait Ahok akan dituntaskan dalam dua minggu. Presiden Jokowi melalui konferensi pers yang dilakukan dini hari pada 5 November juga menjamin, “Proses hukum terhadap saudara Basuki Tjahaja Purnama akan dilakukan secara tegas, cepat dan transparan.”

Namun, pada 5 November 2016, sehari setelah Aksi Bela Islam 2, Kapolri menyatakan bahwa jangka waktu dua minggu yang dijanjikan Pemerintah hanyalah untuk menentukan apakah Ahok jadi tersangka atau tidak (DetikNews, 5/11). Jika terbukti, Ahok jadi tersangka. Kalau tidak, kasus dihentikan (Merdeka.com, 5/11).

Terakhir Ahok malah kembali dikesankan tidak melakukan penistaan karena tidak adanya kata pakai dalam transkrip yang diunggah Buni Yani. Seolah-olah itu yang menjadi sumber masalahnya. Padahal MUI—yang telah menetapkan adanya penistaan al-Quran dan ulama oleh Ahok—dan umat Islam bukan hanya menonton bahkan memelototi pidato Ahok dan tahu kalimat ucapan Ahok secara utuh.

Ada atau tidak kata pakai tetap mengandung makna penistaan. Jika tidak ada kata pakai, “… karena dibohongin surat al-Maidah 51 macem-macem itu…”, maknanya yang membohongi adalah surat al-Maidah 51. Itu sama artinya langsung menuduh al-Quran bohong dan Allah SWT yang menurunkan al-Quran juga bohong. Adapun jika ada kata pakai, “… karena dibohongin pakai surat al-Maidah 51 macem-macem itu…”, kalimat ini tetap menistakan al-Quran. Itu berarti, surat al-Maidah 51 dinilai Ahok sebagai alat kebohongan. Hal itu sama saja dengan menuduh al-Quran mengandung kebohongan sehingga bisa digunakan untuk membohongi. Ucapan itu juga menuduh siapa saja—termasuk Rasul saw., para Sahabat atau para ulama yang menyatakan larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin dengan hujjah surat al-Maidah 51—telah melakukan pembohongan. Jadi, ada atau tidak kata pakai sama saja bermakna penistaan terhadap al-Quran.

Selain itu publik menangkap kesan bahwa proses hukum direkayasa untuk membebaskan Ahok. Kadiv Humas Polri Irjen Boy Rafli Amar menyatakan bahwa keterangan para saksi ahli akan menjadi pegangan bagi penyidik untuk membuat kesimpulan kasus ini (DetikNews, 6/11). Setidaknya ada 10 orang saksi ahli yang dimintai keterangan, 7 di antaraya adalah ahli yang dihadirkan oleh penyidik (DetikNews, 5/11). Berbagai informasi berseliweran bahwa saksi-saksi ahli sengaja dicari dari kalangan yang cenderung berpihak atau bahkan membela Ahok. Jika lebih banyak saksi ahli yang memberikan keterangan berpihak atau bahkan membela Ahok, maka Ahok bisa lolos dari jerat hukum. Jika itu terjadi, maka akan makin meneguhkan anggapan masyarakat bahwa rezim Jokowi dan Polri membela dan melindungi Ahok. Jika itu terjadi, boleh jadi akan berpotensi menimbulkan masalah yang lebih besar.

Selain itu, dengan proses seperti itu akan terjadi pertunjukkan “adu” cendekiawan, ulama, tokoh dan kiai dari kalangan umat Islam sendiri. Kekhawatiran terjadinya adu domba seperti itu makin besar manakala masyarakat juga merasakan adanya upaya untuk memunculkan tokoh, kelompok atau bahkan organisasi khususnya dari kalangan umat Islam yang membela Ahok. Sungguh menyedihkan jika antar orang Islam, kelompok orang, tokoh Islam, elemen umat Islam atau bahkan organisasi diadu-domba hanya karena Ahok yang telah menistakan al-Quran.

Kaum Munafik

Di luar itu semua, kasus Ahok ini telah menjadi seperti furqân (pembeda). Melalui kasus ini Allah SWT menunjukkan kepada umat Islam jatidiri setiap orang; siapa yang termasuk Muslim yang benar dan siapa yang termasuk golongan munafik. Allah SWT berfirman:

﴿ وَلَوْ نَشَاءُ لَأَرَيْنَا كَهُمْ فَلَعَرَفْتَهُمْ بِسِيمَاهُمْ وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ﴾

Kalau Kami menghendaki, niscaya Kami menunjukkan mereka kepada kamu sehingga kamu benar-benar dapat mengenal mereka dari tanda-tanda mereka dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka (QS Muhammad [47]: 30).

 

Saat menafsirkan ayat di atas, Imam ath-Thabari menjelaskan, “Sungguh kamu akan mengetahui mereka dari tanda-tanda nifak yang tampak dari mereka dalam konteks ucapan dan perbuatan lahiriah mereka.”

Terkait kasus ini, setelah larangan menjadikan orang Yahudi dan Nasarani sebagai pemimpin dalam QS al-Maidah ayat 51, berikutnya Allah SWT menjelaskan bahwa sikap terhadap larangan itu akhirnya mengungkap jatidiri kaum munafik.

فَتَرَى الَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ يُسَارِعُونَ فِيهِمْ

Lalu kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hati mereka (kaum munafik) bersegera mendekati mereka (Yahudi dan Nasrani) (TQS al-Maidah [5]: 52).

Menurut Imam al-Qurthubi, juga Ibnu Katsir, yang dimaksud dengan penyakit dalam hati adalah syakk wa rayb wa nifâq (keraguan, kebimbangan dan kemunafikan). Ayat ini menyatakan dengan ungkapan “yusâri’ûna fîhim (bersegera mendekati mereka)”, yang menunjukkan bahwa sejak awal posisi orang munafik memang berada di pihak kaum kafir.

Allah SWT juga menegaska sifat orang munafik ini:

﴿بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا (138) الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ

Kabarkanlah kepada kaum munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih, (yaitu) kaum yang menjadikan kaum kafir sebagai teman-teman penolong dengan meninggalkan kaum Mukmin (TQS al-Nisa’[4]: 138-139).

Melalui kasus Ahok ini, umat Islam harus mencatat dengan huruf tebal siapa saja orang, tokoh, cendekiawan, kelompok atau organisasi—melalui pendapat, sikap, perbuatan dan keberpihakan mereka—yang lebih rela membenarkan atau bahkan membela Ahok; termasuk siapa saja yang tidak merasa terusik sama sekali dengan penistaan oleh Ahok itu; juga siapa saja yang melecehkan sikap umat Islam, nyinyir memberikan komentar negatif, rajin memberikan ragam cap negatif terhadap sikap dan gerakan umat Islam. Umat harus mencatat bahwa mereka itu—siapapun mereka—adalah kaum munafik yang telah memusuhi Islam dan kaum Muslim.

Sinyal Kebangkitan

Aksi Bela Islam 2 memberikan sinyal berita gembira. Umat Islam bersikap, bergerak dan berkorban tidak lain karena dorongan iman, tauhid serta kecintaan dan pembelaan terhadap al-Quran. Amien Rais, ketika menggambarkan fenomena itu, menulis di Republika, “Tidak mungkin ada seorang tokoh dengan kharisma sehebat apa pun, tidak ada koodinator lapangan (korlap) dengan biaya sebanyak apa pun, dan tidak ada kekuasaan yang berasal dari mana pun dapat menggerakkan jutaan anak bangsa dengan tuntutan yang sama.”

Apa yang terjadi juga menunjukkan bahwa persatuan umat Islam itu adalah sangat mungkin dan riil. Namun, persatuan itu tidak akan bisa diwujudkan dengan hal-hal duniawi, melainkan hanya bisa diwujudkan dengan Islam dan proyek-proyek meninggikan kalimat Allah SWT, membela al-Quran dan semisalnya.

Bergeraknya umat Islam secara bersama-sama semata-mata karena dorongan tauhid dan kecintaan pada al-Quran juga memberikan sinyal bahwa kebangkitan umat Islam adalah sangat mungkin dan riil. Kebangkitan itu diwujudkan dengan menyempurnakan bentuk pembelaan dan kecintaan pada al-Quran, yaitu dengan berjuang untuk mewujudkan penerapan al-Quran dan seluruh hukum-hukumnya secara total. Dengan kata lain, wujud kebangkitan umat itu adalah dengan berjuang bersama-sama untuk mewujudkan negara dan kekuasaan yang menerapkan syariah Islam, yakni dalam naungan sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Dengan itu segala bentuk penistaan al-Quran akan bisa dihilangkan. Dengan itu kecintaan dan pembelaan terhadap al-Quran akan bisa diwujudkan secara sempurna dan menyeluruh. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Komentar al-Islam:

Jika Kasus Ahok Jalan di Tempat, GNPF MUI Bakal Gelar Aksi Lanjutan (rmoljakarta.com, 8/11/2016).

  1. Jika kasus Ahok jalan di tempat, berarti Pemerintah tak serius menyelesaikan kasus penistaan al-Quran oleh Ahok.
  2. Jangan salahkan jika ada kesan di masyarakat bahwa Pemerintah cenderung membela Ahok, sang penista al-Quran dan ulama.
  3. Jangan salah pula jika nanti masyarakat beranggapan bahwa Pemerintah turut berperan memicu kemarahan umat Islam.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*