[Al-Islam edisi 831, 18 Shafar 1438 H – 18 November 2016 M]
Dalam banyak isu, terutama isu-isu yang melibatkan elemen masyarakat yang berbeda suku dan agama, termasuk dalam isu Ahok, mengemuka tentang masalah keberagaman atau kebhinekaan. Muncullah seruan-seruan untuk merawat dan mempertahankan keberagaman. Tak jarang seruan itu diklaim sebagai bagian dari solusi atas kasus yang terjadi atau dampak dari kasus yang terjadi.
Keberagaman: Sebuah Keniscayaan
Keberagaman di masyarakat merupakan sebuah keniscayaan. Keberagamaan merupakan sunatullah. Karena itu keberagaman akan terus ada di masyarakat, tidak akan pernah hilang.
Allah SWT menjadikan umat manusia beragam dari berbagai sisi; agama, suku, warna kulit, bahasa, status ekonomi, posisi di masyarakat dan sebagainya. Keberagaman itu adalah untuk kebaikan umat manusia. Allah SWT menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, misalnya, agar manusia saling mengenal. Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sesungguhnya Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (TQS al-Hujurat [49]: 13).
Syihabuddin Mahmud al-Alusi dalam tafsirnya Rûh al-Ma’ânî menjelaskan kata “lita’ârafû” yakni “Kami menjadikan kalian demikian agar sebagian mengenal sebagian yang lain sehingga kalian menyambung kekerabatan serta menjadi jelas nasab dan saling mewarisi, bukan agar kalian saling berbangga dengan nenek moyang dan suku”.
Allah SWT juga menjadikan manusia beragam dalam hal rezeki mereka agar mereka bisa saling memanfaatkan satu sama lain.
﴿نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا﴾
Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia serta telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat mempergunakan sebagian yang lain (TQS az-Zukhruf [43]: 32).
Imam asy-Syaukani dalam tafsirnya Fathu al-Qadîr menjelaskan, “Allah saling melebihkan di antara mereka sehingga Allah SWT menjadikan sebagian mereka lebih dari sebagian lainnya dalam hal dunia berupa rezeki, kepemimpinan, kekuatan, kemerdekaan, akal dan ilmu…Liyattakhidza ba’dhuhum ba’dh[an] suhriy[an], yakni agar sebagian mereka menggunakan sebagian yang lain sehingga orang kaya menggunakan yang miskin, pemimpin atas yang dipimpin, yang kuat terhadap yang lemah, yang merdeka terhadap hamba sahaya, orang berakal terhadap yang di bawahnya dalam hal akal, orang berilmu terhadap orang yang tidak berilmu. Ini adalah galibnya kondisi penduduk dunia. Dengan itu kemaslahatan mereka sempurna, kehidupan mereka teratur dan masing-masing sampai pada apa yang dicari…Jadi Allah SWT menjadikan sebagian memerlukan sebagian lainnya agar terjadi saling tolong-menolong di antara mereka dalam perhiasan dunia.”
Dengan demikian adanya keberagaman itu bukan suatu masalah. Masalahnya juga bukan mempertahankan atau merawat keberagaman itu, melainkan bagaimana keberagaman itu disikapi dan diatur. Keberagamaan itu Allah SWT jadikan demikian bukan agar menjadi bencana bagi manusia. Akan tetapi, keberagaman itu dijadikan sunatullah agar membawa kebaikan; agar terjadi kerjasama dan saling tolong-menolong di antara manusia. Terwujud atau tidaknya hikmah itu bergantung pada pengaturan atas kerjasama dan interaksi berkaitan dengan keberagaman itu.
Sering Diperalat
Di bawah sistem kapitalisme yang sedang diterapkan saat ini secara global termasuk di negeri ini, ketidakadilan, eksploitasi, kezaliman sporadik bahkan sistemik terjadi di tengah masyarakat. Sistem ekonomi kapitalisme gagal medistribusikan kekayaan secara berkeadilan. Yang terjadi justru ketimpangan yang sangat nyata. Kebanyakan masyarakat pun dieksploitasi. Hukum tidak lagi bersifat adil dan gagal mewujudkan rasa keadilan. Hukum dijadikan alat kekuasaan dan mengabdi pada kepentingan. Penerapan hukum pun ibarat pisau koki, tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Penerapan hukum sangat cepat dan tegas terhadap rakyat kebanyakan, namun tumpul dan mandul jika berhadapan dengan penguasa atau orang yang dekat dengan kekuasaan dan penguasa; tumpul terhadap tokoh, elit, para pemilik modal dan orang-orang berpengaruh.
Di tengah ketidakadilan yang merajalela itu, slogan keberagaman atau kebhinekaan tak jarang hanya dijadikan alat demi kekuasaan dan kepentingan tertentu. Islam dan kaum Muslim menjadi pihak yang paling sering dirugikan. Islam dan kaum Muslim tak jarang disudutkan dengan isu keberagaman.
Saat Islam dan kaum Muslim menjadi pihak yang dizalimi, menjadi korban, isu keberagaman dimainkan untuk menghalangi kaum Muslim mendapatkan keadilan. Sekedar contoh, dalam kasus Tolikara saat kaum Muslim menjadi korban ketidakadilan dan kelaliman. Ketika kaum Muslim menuntut keadilan dan mendesak pelaku kezaliman ditindak tegas, termasuk melalui aksi, masalah keberagaman pun diperalat. Cap bahwa apa yang dilakukan oleh umat Islam itu bisa mengancam keberagaman pun dimunculkan. Dengan isu keberagaman umat Islam dipaksa menerima dan memaafkan ketidakadilan yang terjadi pada mereka.
Begitupun dalam kasus penistaan Islam oleh Ahok, lagi-lagi isu keberagaman dikedepankan. Isu itu seolah dimunculkan untuk menghalang-halangi agar umat Islam tidak bergerak membela kitab sucinya yang dinistakan. Padahal pergerakan umat Islam itu tak lain karena penegakan hukum yang lamban dan terkesan membebaskan penista al-Quran.
Dalam isu kristenisasi, juga sama. Penentangan umat Islam terhadap kristenisasi dicap bisa mengancam keberagaman (kebhinekaan). Akhirnya, slogan keberagaman atau kebhinekaan dirasakan oleh umat sebagai alat utuk memaksa mereka menerima dan membiarkan begitu saja kristenisasi mengancam akidah umat Islam. Sebaliknya, seruan dakwah Islam dan penerapan syariah malah dikekang, juga dengan cap bisa mengancam keberagaman.
Walhasil, slogan keberagaman hanya diperalat untuk menyudutkan umat Islam. Dengan dalih keberagaman, umat dipaksa untuk menerima berbagai ketidakadilan. Dalih keberagaman juga digunakan untuk menghalangi umat Islam dari perjuangan untuk menegakkan Islam dan menerapkan syariah Islam.
Mewujudkan Berkah Keberagaman dengan Sistem Islam
Masalah keberagaman tidak boleh dipandang sebatas keberagaman itu sendiri, tetapi harus dipandang sebagai bagian dari pengaturan urusan masyarakat secara keseluruhan. Apakah keberagaman itu menjadi kebaikan dan berkah atau sebaliknya, menjadi keburukan dan bencana, sangat dipengaruhi oleh bagaimana interaksi dan berbagai urusan di masyarakat diatur. Karena itu jika pengaturan interaksi dan urusan di masyarakat baik maka keberagaman yang ada akan baik. Sebaliknya, jika pengaturan interaksi dan urusan di masyarakat tidak baik maka keberagaman bisa menjadi keburukan dan bencana.
Baik-tidaknya keberagaman itu berkaitan dengan: Pertama, bagaimana setiap orang bisa mendapat akses atas pelayanan oleh negara, mendapat jaminan pemenuhan kebutuhan pokok serta merasakan jaminan pemenuhan kebutuhan dasar berupa pendidikan, kesehatan dan perlindungan keamanan dan rasa aman. Kedua, bagaimana setiap orang bisa merasakan akses yang sama atas peluang untuk mendapat kehidupan yang layak, bisa mendapat perlakuan yang adil di depan hukum, bisa merasakan pemerataan distribusi kekayaan. Ketiga, bagaimana seluruh masyarakat bisa terhindar dari apa saja yang bisa membahayakan masyarakat baik kriminal, narkoba, perilaku menyimpang dll. Semua itu bergantung pada bagaimana semua urusan dan interaksi di masyarakat diatur. Dengan begitu keberagaman akan menjadi kebaikan, melahirkan harmoni, kerjasama, tolong-menolong dan kedinamisan hidup.
Kunci mewujudkan semua itu ada dua: Pertama, aturan yang benar, adil dan berkeadilan yang digunakan untuk mengatur semua urusan dan interaksi di masyarakat. Sistem dan aturan yang seperti itu adalah sistem dan aturan Islam. Kedua, penyelenggara negara (penguasa dan aparatur) yang menjalankan dan menerapkan sistem dan aturan di tengah masyarakat memiliki sifat amanah dan peduli terhadap rakyat. Kuncinya adalah karena faktor iman dan ketakwaan yang ada pada diri penguasa dan aparatur serta kontrol dari masyarakat. Itu juga hanya bisa diwujudkan seutuhnya oleh sistem dan aturan Islam.
Dengan demikian, penerapan syariah di bawah sistem Islam, yakni Khilafah Rasyidah yang mengikuti manhaj kenabian, harus menjadi agenda penting agar keberagaman atau kebhinekaan menjadi kebaikan, dan kerahmatan Islam bisa dirasakan secara nyata oleh semua anggota masyarakat yang beragam. WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. []
Komentar al-Islam:
YLBHI: Jokowi Jangan Korbankan Ahok demi Tekanan Massa (Republika,co.id, 15/11/2016).
- Jokowi juga jangan mengorbankan umat Islam karena tekanan para pemilik modal yang menghendaki Ahok bebas dari jerat hukum.
- Adanya tekanan massa dalam kasus Ahok hanyalah akibat. Sebab utamanya justru karena ketidakadilan Pemerintah yang di mata masyarakat terkesan membela dan melindungi sang penista agama.
- Alhasil, jangan salahkan masyarakat yang menuntut keadilan. Salahkanlah pihak-pihak yang selama ini menciptakan ketidakadilan hanya demi membela dan melindungi satu orang yang telah menistakan Islam.