قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-: «سَيَكُونُ بَعْدِى خُلَفَاءُ يَعْمَلُونَ بِمَا يَعْلَمُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ وَسَيَكُونُ بَعْدَهُمْ خُلَفَاءُ يَعْمَلُونَ بِمَا لاَ يَعْلَمُونَ وَيَفْعَلُونَ مَا لاَ يُؤْمَرُونَ فَمَنْ أَنْكَرَ عَلَيْهِمْ بَرِئَ وَمَنْ أَمْسَكَ يَدَهُ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ»
Rasulullah saw. bersabda, “Akan ada sesudahku para khalifah yang berbuat dengan apa yang mereka ketahui dan mengerjakan apa yang diperintahkan kepada mereka. Akan ada pula sesudah mereka para khalifah yang berbuat dengan apa yang tidak mereka ketahui dan mengerjakan apa yang tidak diperintahkan kepada mereka. Siapa saja yang mengingkari mereka terbebas (dari dosa) dan siapa saja yang menahan tangannya selamat. Akan tetapi, siapa yang rela dan mengikuti (tidak terbebas dan tidak selamat).” (HR Ibnu Hibban, al-Baihaqi, Abu Ya’la).
Hadis ini dikeluarkan dari riwayat Abu Hurairah ra. Ibnu Hibban mengeluarkan hadis ini dalam Shahîh Ibni Hibbân dengan tiga sanad nomor 6658 (komentar Syuaib al-Arnauth: sanad-nya sahih), nomor 6659 (Syuaib al-Arnauth: sanad-nya hasan), dan nomor 6660 (Syuaib al-Arnauth: sanad-nya sahih menurut syarat Syaikhayn).
Al-Baihaqi mengeluarkan hadis ini dalam Sunan al-Kubra dan Dalâ‘il an-Nubuwwah.
Abu Ya’la mengeluarkan hadis ini dalam Musnad Abu Ya’la.
Al-Haytsami dalam Majma’ az-Zawâ’id berkomentar: para perawinya sahih, kecuali Abu Bakar Muhammad Abdul Malik bin Zanjawaih dan dia tsiqah. Menurut Husain Salim Asad, riwayat Abu Ya’la sanad-nya sahih.
Dalam riwayat lain dari Ummu Salamah, Nabi saw. bersabda:
«إِنَّهُ سَيَكُونُ عَلَيْكُمْ أَئِمَّةٌ تَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ أَنْكَرَ فَقَدْ بَرِئَ وَمَنْ كَرِهَ فَقَدْ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِىَ وَتَابَعَ». فَقِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَلاَ نُقَاتِلُهُمْ قَالَ: «لاَ مَا صَلَّوْا»
Akan ada atas kalian para imam yang kalian makrufkan dan kalian ingkari. Siapa saja yang mengingkari terbebas (dari dosa). Siapa saja yang membenci dia selamat. Akan tetapi, orang yang ridha dan mengikuti (celaka).” Ditanyakan, “Ya Rasulullah, apakah tidak kita perangi saja mereka?” Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka menegakkan shalat.” (HR Muslim nomor 3908, Abu Dawud dan at-Tirmidzi; redaksi at-Tirmidzi).
Dalam hadis di atas ada pemberitahuan bahwa sesudah Nabi saw. akan ada para khalifah. Di antara mereka ada para khalifah yang beramal dengan apa yang mereka ketahui dari ketentuan syariah, yakni beramal sesuai syariah. Lalu sesudah mereka ada para khalifah yang beramal menyalahi ketentuan syariah. Dalam hadis penuturan Ummu Salamah ra. dinyatakan, ada para khalifah yang melakukan kemakrufan, artinya sesuai syariah; juga ada para khalifah dan pemimpin yang melakukan kemungkaran, yakni menyalahi syariah. Yang harus diperhatikan, para khalifah itu semuanya menerapkan sistem dan hukum-hukum Islam. Ini ditegaskan dari frasa “lâ mâ shallû (tidak, selama mereka shalat)”; atau dalam riwayat Ubadah bin Shamit “lâ mâ aqâmû fîkum ash-shalâh (tidak, selama mereka menegakkan shalat, yakni hukum Islam, di tengah-tengah kalian”.
Hanya saja sebagian khalifah saja, bukan semuanya, yang melakukan kemungkaran dan menyalahi syariah. Meski demikian, tetap mereka disebut khalifah. Ini menunjukkan bahwa khalifah tetaplah manusia, yang bisa benar atau salah. Karena itu Khilafah meski dari sisi asal adalah sistem ilahiyah, namun dari sisi implementasi bersifat basyariyah.
Jadi, sistem dan hukum syariah adalah benar karena berasal dari wahyu, namun mungkin terjadi penyimpangan dalam penerapannya oleh para khalifah dan para pemimpin. Dalam hal itu, Islam memberikan aturan untuk meminimalisasi penyimpangan. Islam mewajibkan umat Islam untuk mengoreksi khalifah dan para pemimpin ketika mereka melakukan penyimpangan.
Hadis ini juga menunjukkan, siapa saja yang melihat khalifah atau pemimpin menyalahi syariah, dia wajib untuk mengubahnya sesuai kemampuanya, baik dia mengubah dengan tangannya, yakni dengan kekuatan, atau dengan lisannya atau yang sama dengan posisi lisan seperti tulisan.
Sabda Nabi saw. “man ankara…” yakni mengingkari kemungkaran dari khalifah atau pemimpin dengan lisannya, “bari`a (terbebas)”, yakni dari tanggungan atau dosa. Adapun abda beliau “man amsaka yadahu (siapa yang menahan tangannya)” bisa dimaknai “man kariha (siapa yang membenci)”, sebagaimana dalam riwayat Ummu Salamah.
Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim menjelaskan, yakni siapa yang membenci kemungkaran itu maka dia terbebas dari dosa dan sanksinya. Ini bagi orang yang tidak mampu mengingkarinya dengan tagannya dan tidak pula dengan lisannya. Hendaklah dia membencinya dengan hatinya dan hendaklah dia membebaskan darinya. “Wa lakin man radhiya wa tâba’a” maknanya, “Akan tetapi, dosa dan sanksi atas orang yang ridha dan mengikuti”. Di sini ada dalil bahwa orang yang tidak mampu menghilangkan kemungkaran, ia tidak berdosa semata karena diam, melainkan dia berdosa karena meridhai atau tidak membenci kemungkaran itu dengan hatinya atau dengan mengikutinya.
Mula Ali al-Qari di Mirqâtu al-Mafâtih Syarhu Misykâti al-Mashâbih menjelaskan riwayat at-Tirmidzi dari Ummu Salamah: “…Siapa saja yang mengingkari, yakni siapa yang mampu mengingkari para pemimpin dengan lisannya atas ketercelaan perbuatan mereka dan keburukan kondisi mereka, dia terbebas dari bermanis muka dan nifak. Siapa saja yang membenci, yakni siapa yang tidak mampu atas hal itu, tetapi ia mengingkari dengan hatinya dan membencinya, maka ia selamat, yakni dari menyertai mereka dalam dosa dan bencana. Akan tetapi, siapa yang ridha, yakni dengan perbuatan mereka dengan hati dan mengikuti mereka dalam perbuatan tersebut, maka ia menyertai mereka dalam dosa dan tercakup bersama mereka dalam sebutan thughyan.”
Jadi, dosa dan sanksi ditimpakan atas orang yang ridha dan mengikuti kemungkaran, walau satu kemungkaran saja, dari khalifah atau pemimpin, meski masih menerapkan sistem dan hukum-hukum Islam.
Lantas seperti apa dosa dan sanksi yang akan ditimpakan atas orang yang ridha dan mengikuti pemimpin yang sama sekali tidak menerapkan sistem dan hukum Islam, yang merupakan induknya kemungkaran, dan sebaliknya malah menghambat, menghalangi bahkan memerangi dakwah untuk menerapkan sistem dan hukum Islam?
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]