Mungkin banyak rakyat Indonesia yang tidak tahu bahwa kata “Bhinneka Tunggal Ika” itu tidak muncul bersamaan dengan kemerdekaan Indonesia. Kata itu muncul dalam lambang negara yang baru dibuat tahun 1950. Sebelum ada slogan Bhinneka Tunggal Ika, garuda mencengkeram bendera merah putih saja, tanpa ada teksnya.
Dalam penyempurnaannya, slogan itu dimasukkan. Kalimat itu sendiri diambil dari buku Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular yang konong berasal dari zaman Kerajaan Majapahit. Bunyi aslinya sebagai berikut:
Rwāneka dhātu winuwus wara Buddha Wiśwa,
bhinnêki rakwa ring apan kěna parwanosěn,
mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
bhinnêka tunggal ika tan hana dharmma mangrwa (Pupuh 139: 5).
(Konon dikatakan bahwa Wujud Buddha dan Siwa itu berbeda. Mereka memang berbeda. Namun, bagaimana kita bisa mengenali perbedaannya dalam selintas pandang? Karena kebenaran yang diajarkan Buddha dan Siwa itu sesungguhnya satu jua. Mereka memang berbeda-beda, namun hakikatnya sama. Karena tidak ada kebenaran yang mendua. (Bhinneka Tunggal ika tan Hana Dharma Mangrwa) (Tantular, 2009: 504-505)
Slogan ini kemudian digunakan oleh negara untuk menggambarkan keberagamaan di Indonesia baik dalam hal suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Negara berharap adanya keberagaman ini bisa dipahami sebagai sebuah realitas yang harus dihormati antara satu dengan yang lain. Nah, di sanalah muncul sikap toleransi di tengah masyarakat.
Meski demikian, sejak lahirnya kalimat itu di zaman Majapahit, sebenarnya slogan tersebut mengandung ide pluralisme—menyamakan semua agama karena dianggap menuju kepada tuhan. Slogan itu tak lagi dimaknai sebagai ide pluralitas. Maka tak heran, slogan ini digunakan oleh para pengusung ide pluralisme untuk menyerang Islam.
Jika dimaknai sebagai sebuah realitas keberagaman yang harus dihormati, toh Islam pun sangat menghormati adanya perbedaan. Islam tidak pernah memaksakan orang non Muslim masuk Islam. Bahkan Islam sangat toleransi terhadap mereka. Saking tolerannya, lihatlah bagaimana kaum Muslim mau memberi kesempatan orang non Muslim duduk di posisi strategis di negeri ini, padahal mereka itu minoritas. Kurang toleran apa coba? [] emje
Sumber Tabloid Mediaumat edisi 186