HTI-Press.Kelompok G-7 berdiri pada tahun 1976. Kelompok G-7 ini dibentuk oleh menteri-menteri keuangan tujuh negara industri besar dengan tujuan untuk membahas masalah-masalah ekonomi dan politik. Anggota kelompok G-7 adalah: Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Inggris, Amerika dan Kanada. Pertemuan G-7 dihadiri oleh ketua umum Uni Eropa mewakili Uni ropa, dan kepala negara yang sedang menjadi ketua Dewan Uni Eropa. Kemudian Rusia bergabung ke dalam kelompok G-7 pada tahun 1997. Setelah itu kelompok tersebut disebut kelompok G-8. Tidak ada kewajiban meleburkan kelompok G-7 dan kelompok G-8.
Pada tanggal 13-14 Pebruari 2009, selama dua hari, para menteri keuangan dan gubernur bank sentral tujuh negara industri terkaya mengadakan konferensi di Roma. Konferensi itu diadakan untuk membahas solusi krisis finansial yang melanda ketujuh negara tersebut dan juga seluruh negara di dunia.
Mereka telah mengeluarkan press release yang di dalamnya dinyatakan: “perealisasian stabilitas perekonomian global dan pasar finansial tetap menjadi prioritas utama kami” (AFP, 14-02-09). Hal itu menunjukkan bahwa perekonomian dunia dan pasar keuangan global masih tetap tidak stabil, dan masih berada dalam keguncangan. Juga menunjukkan bahwa krisis ekonomi masih terus berjalan. Bahkan mereka meminta digunakannya semua alat politik untuk merealisasi stabilitas itu. Mereka mengatakan di dalam statement mereka itu: “kami seluruhnya mengambil langkah-langkah yang tidak biasa untuk menghadapi tantangan-tantangan ini dan untuk menegaskan kembali komitmen kami untuk bekerja bersama melalui pemanfaatan semua alat politik untuk menopang pertumbuhan, investasi dan penguatan sektor finansial” (Kantor Berita RRC dan AFP, 14-02-09). Pernyataan ini menunjukkan atas ketidakmampuan doktrin kapitalisme dalam mensolusi krisis. Sehingga mereka merujuk kepada alat-alat politik yang doktrin kapitalisme itu sendiri tidak memperbolehkan negara melakukan intervensi. Atau yang oleh tokoh besar mereka yaitu Adam Smith dia sebut “cakar penguasa”.
Para peserta konferensi itu telah mengakui ketidakmampuan mereka ketika mereka mengatakan di dalam statement itu: “langkah-langkah perbaikan yang mendesak bagi sistem keuangan global sangat penting. Kerena krisis yang terjadi telah menampakkan kelemahan yang dalam di dalam sistem tersebut” (AFP, 14-02-09). Statement itu juga mengatakan: “sesungguhnya krisis yang awalnya sebagai goncangan finansial saat ini telah mencengkeram perekonomian riil dan menyebar ke seluruh dunia” (Surat Kabar RRC, 15-02-09). Yaitu bahwa krisis telah melewati pasar keuangan sehingga meliputi perekonomian secara keseluruhan. Artinya telah meliputi sumber-sumber perekonomian, alat-alat produksi, lapangan kerja dan pasar-pasar riil. Jadi masalahnya sangat serius dan bukan hanya masalah sepele.
Tampak jelas bahwa hasil yang dikeluarkan oleh kelompok G-7 mendapat perhatian serius dari sejumlah pengamat, khususnya para pengamat Eropa. Contohnya, Simon Jhonson, mantan kepala ekonom IMF. Ia mengatakan: “sesungguhnya pertemuan G-7 merupakan kesempatan yang sangat baik bagi sejumlah pemimpin negara industri untuk menegaskan kepemimpinan mereka bagi perekonomian global. Hanya saja apa yang sampai kepada kita dari hasil pertemuan itu secara resmi hanyalah penekanan dari apa-apa yang sudah dikatakan sebelumnya”. Marco Annunziata, ekonom di Uni Credit MIB di London, mengatakan: “kita mendengar pernyataan-pernyataan bombastis di dalam pertemuan tersebut, hanya saja –seperti yang sudah diperkirakan sebelumnya- pernyataan itu tidak melebihi sikap-sikap sebelumnya yang menegaskan komitmen terhadap doktrin-doktrin dan komitment-komitmen yang telah kita dengar sebelumnya. Komitmen tindakan secara kolektif merupakan sesuatu yang nonsense dan menggelikan. Komitmen itu sama persis dengan komitmen yang telah mereka bicarakan pada bulan Desember yang lalu”. Menteri Keuangan Perancis, Christine Lagarde mengatakan: “diatas kertas masalahnya tampak baik. Dan tidak diragukan lagi bahwa doktrin-doktrin itu sangat baik. Tetapi yang penting adalah implementasinya”. Gubernur Bank Sentral Kanada, Mark Carnay, mengatakan kepada para wartawan di Roma: “sesungguhnya ini adalah rencana yang menyeluruh. Di sana juga terdapat niat dan keinginan. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah dimana implementasi dan pelaksanaanya”.
Sesungguhnya, pokok masalahnya adalah bahwa orang-orang Eropa tidak percaya dengan liberalisme pasar yang disodorkan oleh Amerika. Amerika menyatakan bahwa Amerika menginginkan liberalisme. Akan tetapi rencana stimulus yang dibenarkan oleh para pembuat undang-undang Amerika justru menguatkan langkah-langkah proteksi. Dan ini bertetangan dengan keputusan-keputusan G-7… Eropa sangat terkejut oleh ulah Amerika yang menutup pasar-pasar Amerika terhadap komoditas-komoditas Eropa. Eropa juga sangat terkejut dengan kerja keras pemerintahan Obama untuk meringankan dampak krisis perekonomian Amerika melalui stimulus sebesar US $ 787 milyar yang tertuang didalam rencana stimulus. Dalam pembicaraan menteri keuangan Jerman, Alistair Darling, di dalam pertemuan G-7, ia mengatakan: “kita wajib berhati-hati terhadap langkah-langkah proteksi, baik disengaja maupun yang tidak disengaja”. Di atas semua itu, orang-orang Eropa juga ikut serta dalam melakukan langkah-langkah proteksi seperti langkah-langkah yang diambil oleh Inggris paling akhir untuk melindungi angkatan kerjanya dari para imigran Eropa. Atau langkah-langkah pemerintah yang diambil oleh Perancis dan Italia untuk menyelamatkan industri produsen otomotif. Dari sisi praktis, sebenarnya ide pasar bebas telah mati!
Akan tetapi, hal yang baru di dalam konferensi G-7 itu adalah masalah China. Untuk pertama kalinya statement G-7 memuji China. Padahal konferensi G-7 sebelumnya mengkritik kebijakan finansial dan ekonomi China. Di dalam statement penutup, mereka memasukkan pujian tersebut. Statement akhir tersebut menyatakan: “kami menyambut langkah-langkah China dan kelangsungan komitmennya secara lebih besar bagi elastisitas nilai kurs yang mendorong terus menguatnya kurs mata uang Yuan secara mencolok (Ash-sharq al-Awsath, 15-02-09). Negara-negara G-7 itu dan khususnya Amerika berusaha secara sungguh-sungguh untuk menciptakan pengaruh terhadap China di dalam upaya untuk menurunkan China dan di dalam upaya menekan China dan menundukkannya kepada syarat-syaratnya. Ekonom senior bank Uni Credit, Marco Annunziata menyampaikan pujian terhadap perubahan sikap kelompok G-7 terhadap China. Ia mengatakan: “kondisi ketegangan antara Amerika Serikat dan China seungguhnya memiliki pengaruh yang berbahaya bagi pasar. Dan terus berlanjutnya pembelian obligasi AS oleh China sangat mendasar bagi stabilitas perekonomian” (Ash-sharq al-Awsath, 16-02-09).
Sesungguhnya Barat bertindak seakan-akan tidak menemukan solusi yang bisa menyelesaikan kambrukan total bagi sistem keuangan global. Semua yang dilakukan adalah menambah gelontoran uang di pasar atau meminta negara-negara –utamanya negara G-20- untuk ikut serta dalam menanggung beban masalah mereka. Misalnya, kelompok G-7 mendorong China untuk memperhatikan tingkat suku bunga mereka. Di dalam seruan mereka dinyatakan: “kami menyambut langkah-langkah China secara finansial dan komitmennya untuk menambah alastisitas tingkat suku bunga. Satu hal yang akan memperkuat dengan memperbaiki kurs Yuan secara efektif.” Maksud dari pernyataan itu adalah untuk mendapatkan kerelaan China setelah sebelumnya menteri keuangan Amerika yang baru menyerang China atas kenaikan nilai Yuan” – selama jangka waktu lalu, Amerika menekan China untuk menurunkan nilai mata uangnya supaya menciptakan realita yang mendukung perekonomian Amerika dengan jalan menguatkan ekspor dan membantu Amerika dalam pembayaran utang luar negerinya–. Geoffrey Yu, ahli strategi dalam pertukaran mata uang yang bermarkas di London mengatakan: “bahwa G-7 menyadari bahwa wajib menggabungkan China di dalam sistm keuangan global dari pada mencampakkan China dikarenakan tidak adanya elastisitas Yuan.” Pernyataan tersebut untuk meminta kerelaan China setelah sebelumnya terjadi pertentangan antara China dan Amerika Serikat.
Konferensi G-7 itu merupakan pendahuluan bagi konferensi G-20 pada tanggal 2 April mendatang yang akan di adakan di London. Nanti akan tampak pengaruhnya terhadap China. China adalah negara yang paling kecil terpengaruh oleh krisis. China satu-satunya negara yang belum memasuki resesi ataupun kontraksi. Bahkan pertumbuhan ekonominya terus berlanjut meski angkanya lebih kecil dari sebelumnya. China saat ini menjadi sasaran tujuh pemimpin kapitalisme. Tampak bahwa ungkapan mereka di dalam statement akhir: “pemanfaatan semua alat politik untuk mendukung pertumbuhan, lapangan kerja dan penguatan sektor keuangan”, maksud pernyataan ini bukan hanya bersifat dalam negeri, tetapi juga mencakup luar negeri. Yaitu memaksa negara-negara lain khususnya China untuk menerima tuntutan mereka, itu artinya adalah pemerasan negara-negara lain itu. Contohnya, menaikkan nilai tukar mata uangnya, Yuan, dan melanjutkan pembelian obligasi Amerika dimana China telah membeli obligasi Amerika hingga saat munculnya krisis telah mencapai lebih dari satu triliyun dolar. Hal itu diluar pembelian saham-saham perusahaan agunan property Fannie Mae dan Freddie Mac yang dilakukan oleh China sekitar setengah triliyun dolar. Juga pembelian saham sebesar puluhan miliar dolar atas saham raksasa Morgan Stanley dan menyelamatkannya dari keambrukan, juga saham-saham perusahaan Bank of America dan perusahaan-perusahaan lainnya. Dan mereka terus menuntut China untuk mengimplementasikan point-point Organisasi Perdagangan Global -WTO- dimana China sudah bergabung di dalamnya sejak 2001. Diantaranya point, pembebasan pasar dan pembukaan pasar bagi pesaing-pesaing mereka.
Disamping semua itu, Amerika terus bekerja untuk menampakkan bahwa Amerika adalah pemimpin dunia dan bahwa Amerika masih mengendalikan semua urusan di dunia. Menteri keuangan AS yang baru Timothy Geitchner mengatakan: “sesungguhnya dunia menghadapi krisis eknomi dan finansial yang paling buruk sejak dekade-dekade lalu. Dan bahwa pemerintah-pemerintah di dunia harus bergerak secara lebih cepat, akan tetapi dengan tetap komit terhadap doktrin-doktrin liberalisme pasar” (Reuters, 14-02-09)
Ringkasnya, Amerika di dalam konferensi G-7 itu berusaha untuk mengokohkan dirinya bahwa Amerika tetap sebagai pemimpin dunia. Itulah yang didektekan Amerika setelah kepercayaan terhadap kepemimpinan Amerika melemah akibat krisis finansial mutakhir. Sesuatu yang mungkin adalah bahwa Amerika akan bekerja di dalam konferensi G-20 yang akan datang untuk mengokohkan kembali kepemimpinan Amerika, dan bisa jadi dalam gambaran yang lebih kuat. Amerika akan mendektekan keinginannya kepada negara-negara lainnya. Khususnya bahwa negara-negara besar di Uni Eropa tidak bisa menggantikan posisi Amerika. Negara-negara besar Uni Eropa itu tidak bisa memanfaatkan peluang yang amat jarang yang lahir dari munculnya krisis ekonomi. Mereka tidak bisa memanfaatkannya hingga untuk menjadikan mereka partner sekaligus pesaing bagi kepemimpinan Amerika. Secara lebih khusus ketika Amerika harus menanggung beban terjadinya krisis finansial mutakhir, sehingga menyebabkan kepercayaan kepada Amerika dan kepada doktrin kapitalisme secara lebih umum melemah. Terlebih bahwa politik arogan dan sombong pada masa Bush telah berlalu dan terbukti gagal dan mendatangkan bencana bagi Barat secara keseluruhan.