Asai Aksi Bela Islam yang dua kali digelar pada tanggal 4/11 dan 2/12 memunculkan tudingan bahwa kuatnya ikatan umat pada dîn-nya menjadi sebab labilitas persatuan bangsa dan mengancam kebhinekaan, membuat masyarakat terkotak-kotak.Karena itu dua kali pula digelar aksi ingin menandingi aksi umat Islam. Semuanya dengan tema kebhinekaan dan keindonesiaan. Hal ini kian menyiratkan bahwa Islam dan persatuan umatnya masih saja dianggap sebagai ancaman kebinekaan. Islam dianggap sebagai agama yang steril dari keberagamaan masyarakat.
Manipulasi Kebinekaan
Parade kebinekaan dan keindonesiaan yang digelar beberapa waktu lalu dapat kita baca sebagai upaya misleading antara realita kemajemukan masyarakat dan pluralisme. Penyelenggara parade berupaya keras memaksa umar Islam agar melepaskan identitas keislaman dan menerima pluralisme. Mereka bahkan menuduh ikatan umat pada agamanya adalah penyebab bangsa ini telah terkotak-kotak dan berkembangnya sikap intoleransi. Karena itu umat Muslim harus menerima pluralisme sebagai konsekuensi hidup kebinekaan.
Apalagi parade kebinekaan itu muncul pasca protes keras umat terhadap penistaan agama yang dilakukan Gubernur petahana DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama, alias Ahok. Penistaan ayat al-Quran oleh Ahok telah memicu kemarahan mayoritas Muslim di negeri ini dan melahirkan Aksi Bela Islam yang muaranya adalah Aksi 411 dan Aksi 212.
Tidak bisa dipungkiri, segelintir orang yang berkepentingan untuk terus memaksakan pluralisme agar dapat diterima umat Islam merasa perlu untuk terus menjaga agar pluralisme tetap hidup. Segala cara mereka lakukan termasuk dengan membajak istilah Bhineka Tunggal Ika sebagai ajaran pluralisme.
Mereka ingin meneror pemikiran umat bahwa persatuan Islam adalah ancaman bagi kehidupan masyarakat yang majemuk dan beragam. Media massa mainstream pun kerap mengekspos berbagai konflik antarumat beragama, khususnya antara elemen umat Islam dan kelompok minoritas. Dengan cara framing pemberitaan, media massa mainstream ingin memberikan pesan bahwa pluralisme itu adalah harga mati, dan kebinekaan itu bermakna pluralisme.
Islam dan Kebinekaan
Topik kebinekaan dan kemajemukan umat manusia sudah lama memiki tempat khusus dalam syariah Islam. Hanya Islam yang mengakui keberagamaan manusia baik secara suku bangsa, bahasa, kedudukan sosial, bahkan akidah.
Allah SWT menjadikan umat manusia beragam dari berbagai sisi; jenis kelamin, suku, warna kulit, bahasa, status ekonomi, juga posisi di tengah masyarakat. Keberagaman itu adalah realita umat manusia. Allah SWT menciptakan manusia dalam ragam suku dan bangsa, misalnya, agar manusia saling mengenal. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Hai manusia, sungguh Kami telah menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang perempuan serta menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kalian saling mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kalian. Sungguh Allah Mahatahu lagi Maha Mengenal (QS al-Hujurat [49]: 13).
Imam Ibnu Jarir ath-Thabari menjelaskan bahwa lafal li ta’ârafû bermakna: agar sebagian kalian saling mengenal sebagian yang lain dalam nasab. Allah SWT berpesan, “Sungguh Kami menjadikan bangsa-bangsa dan suku-suku ini untuk kalian, wahai manusia, agar kalian saling mengenal satu sama lain lain dalam ikatan kekerabatan, bukan untuk keunggulan bagi kalian, tetapi kekerabatan yang mendekatkan kalian kepada Allah. Justru yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling takwa kepada Allah.”
Wilayah kekuasaan kaum Muslim sejak rentang zaman Nabi saw. hingga Khilafah Utsmaniyah meliputi Jazirah Arab, benua Afrika, Asia hingga Eropa. Ulama Islam terdiri dari beragam etnis. Imam al-Bukhari berasal dari kawasan Desa Bukhara di Uzbekistan, Rusia. Imam Ibn Hazm berasal dari Cordoba, Spanyol, Imam an-Nawawi berasal dari Damaskus, Syam. Ada juga Imam an-Nawawi al-Bantani yang berasal dari Serang, Banten.
Selain Imam an-Nawawi al-Bantani, ada juga Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawi yang juga asli Nusantara. Keduanya sama-sama pernah menjadi imam besar dan mufti di Masjidil Haram. Mereka memimpin shalat dan memberikan fatwa bagai ribuan jamaah yang berasal dari mancanegara, termasuk keturunan Arab dan suku Quraisy.
Ajaran Islam bukan saja menafikan perbedaan suku bangsa dan kabilah, bahkan juga mengharamkan sikap membanggakan suku bangsa dan keturunan. Ubai bin Kaab ra. pernah mendengar seorang pria berkata, “Hai keluarga fulan!” Ubay lalu berkata kepada dia, “Gigitlah kemaluan bapakmu!” Ubay mencela dia terang-terangan tanpa memakai bahasa kiasan! Orang itu berkata kepada Ubay, “Wahai Abul Mundzir (Abu Ubay), engkau bukanlah orang yang suka berkata keji.” Ubay berkata kepada dia, “Sungguh aku mendengar Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ تَعَزَّى بِعَزَاءِ الْجَاهِلِيَّةِ فَأَعِضُّوهُ وَلاَ تَكْنُوا
Siapa saja yang berbangga-bangga dengan slogan-slogan jahiliah, suruhlah ia menggigit kemaluan ayahnya dan tidak usah pakai bahasa kiasan terhadap dirinya.” (HR Ahmad).
Karena itu dalam Islam tak ada tempat bagi pengusung ide primordialisme atau chauvinisme, yang kerap merendahkan bangsa lain dan menganggap bangsanya atau rasnya lebih superior.
Selain perbedaan suku bangsa dan warna kulit, Islam juga mengakui adanya perbedaan strata sosial-ekonomi sebagai anugerah dari Allah SWT. Tak bisa dipungkiri, dengan iradah-Nya, manusia diciptakan memiliki perbedaan kekayaan, tingkat pendidikan dan profesi. Allah SWT telah menetapkan rezeki di antara manusia dan membagi kedudukan manusia karena rezeki yang telah Ia berikan. Allah SWT berfirman:
نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُم مَّعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَرَفَعْنَا بَعْضَهُمْ فَوْقَ بَعْضٍ دَرَجَاتٍ لِّيَتَّخِذَ بَعْضُهُم بَعْضًا سُخْرِيًّا
Kami telah menentukan di antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia serta telah meninggikan sebagian mereka atas sebagian yang lain beberapa derajat agar sebagian mereka dapat memanfaatkan sebagian yang lain (QS az-Zukhruf [43]: 32).
Imam asy-Syaukani menerangkan, “…Ini adalah galibnya kondisi penduduk dunia. Dengan itu kemaslahatan mereka sempurna, kehidupan mereka teratur dan masing-masing sampai pada apa yang dicari…Jadi Allah SWT menjadikan sebagian memerlukan sebagian lainnya agar terjadi saling tolong-menolong di antara mereka dalam perhiasan dunia.”
Karena itu sebuah misleading dari kaum liberal yang memelintir fakta pluralistik untuk membenarkan ajaran sesat pluralisme. Padahal antara pluralitas dan pluralisme dua hal yang jelas berbeda.
Kemajemukan masyarakat adalah realita Ilahi. Secara fitrah dan hakiki masyarakat memang plural. Bahkan adanya sebagian manusia yang tetap memilih berada dalam kekufuran juga realitas yang diakui Allah SWT:
وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُرْ إِنَّا أَعْتَدْنَا لِلظَّالِمِينَ نَارًا أَحَاطَ بِهِمْ سُرَادِقُهَا
Katakanlah, “Kebenaran itu datang dari Tuhanmu. Siapa saja yang ingin (beriman), hendaklah beriman. Siapa saja yang ingin (kafir), biarlah ia kafir.” Sungguh Kami telah menyediakan bagi orang orang zalim itu neraka yang gejolaknya mengepung mereka (QS al-Kahfi [18]: 29).
Dalam aspek akidah, masyarakat yang hidup dalam naungan Khilafah Islamiyah memiliki corak yang beragam. Wilayah Spanyol dalam naungan Khilafah dikenal sebagai masyarakat dengan ‘tiga agama’. Di dalamnya kaum Muslim hidup berdampingan dalam damai dengan umat Nasrani dan Yahudi. Justru pada saat kekuasaan diambilalih oleh Ratu Isabelle terjadilah perpecahan dan genocide. Pemaksaan agama kepada umat non-Kristen bahkan dengan cara kekerasan. Karena itu menyatakan bahwa Daulah Khilafah akan meniadakan pluralitas adalah kebohongan besar.
Pluralitas berbeda dengan pluralisme. Pluralisme bukanlah seperti yang diterangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai keadaan masyarakat yang majemuk (bersangkutan dengan sistem sosial dan politiknya);—kebudayaan berbagai kebudayaan yang berbeda-beda dalam suatu masyarakat.
Pluralisme adalah penyamaan kedudukan semua agama dan keyakinan—bukan saja strata sosial—di tengah masyarakat. Ini sebagaimana pernyataan salah seorang tokoh liberal, Budhy Munawar Rahman, “Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam penghayatan masalah pluralisme antaragama, yakni pandangan bahwa siapapun yang beriman—tanpa melihat agamanya apa—adalah sama di hadapan Allah SWT. Karena, Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.”
Konsep pluralisme muncul dengan alasan fanatisme agama telah menimbulkan pengkotak-kotakkan masyarakat dan disharmonisasi. Karena itu harus ada cara pandang pluralisme; mendudukkan semua agama dan keyakinan sama rendah dan sama tinggi, termasuk sama benarnya. Jadi, tak ada lagi terminologi kufur dan iman karena keduanya dikaburkan bahkan dihilangkan.
Alasan kaum pendukung pluralisme menuding Islam sebagai pemicu sikap intoleran dan menafikan pluralitas bertolak belakang dengan realitas empirik. Pada masa Kekhilafahan Islam tidak pernah ditemukan penindasan kepada kelompok non-Muslim sekalipun penguasanya adalah kaum Muslim dan memberlakukan syariah Islam. Bahkan pembayaran jizyah maupun kharaj yang dilakukan warga non-Muslim tidak boleh dilakukan dengan cara menyusahkan mereka.
Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan: telah menceritakan kepada kami Waki’ telah menceritakan kepada kami Hisyam bin ‘Urwah dari bapaknya dari Ibnu Hizam dia pernah melewati orang-orang dzimmi yang dijemur di bawah matahari di Syam. Lalu dia bertanya, “Ada apa dengan mereka?” Mereka menjawab, “Mereka adalah ahlul jizyah.” Lalu Hisyam bin Urwah berkata: Saya bersaksi saya telah mendengar Rasulullah saw. bersabda:
مَنْ عَذَّبَ النَّاسَ فِى الدُّنْيَا عَذَّبَهُ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى
Siapa saja yang menyiksa manusia di dunia, Allah SWT akan menyiksa dirinya (pada Hari Kiamat).
Hisyam ra. berkata, “Amir mereka di Palestina pada waktu itu adalah Umair bin Saad.”
Hisyam ra. berkata: Lalu Hakim ra. menemui dia dan menceritakannya hingga melepaskan mereka.
Diskriminasi terhadap kelompok minoritas non-Muslim juga tidak terjadi di Indonesia. Pemicu konflik antarumat beragama yang melibatkan elemen umat Islam justru dipicu oleh perilaku kalangan non-Muslim. Kasus pengrusakan gereja di Singkil, Aceh, adalah dampak dari arogansi umat Kristen.
Sebaliknya, Eropa yang kental liberalismenya justru memperlihatkan naiknya angka kebencian terhadap Islam. Beberapa negara seperti Jerman, Prancis, Italia, Belanda melarang penggunaan burqa di tempat-tempat umum. Sikap diskriminasi terhadap umat Islam makin sering terjadi. Ini bukti bahwa liberalisme justru menyuburkan sikap antitoleransi, khususnya kepada kaum Muslim.
Perlindungan Islam
Islam adalah sistem kehidupan yang telah menjamin kebersamaan dan keadilan bagi semua manusia. Secara fikrah maupun tharîqah, seluruh hukum Islam memberikan perlindungan bagi semua kalangan; lintas sosial, suku bangsa, bahkan hingga lintas agama.
Dalam sistem Islam tidak dikenal dikotomi masyarakat mayoritas-minoritas. Sekalipun kaum Muslim dominan di suatu wilayah Daulah Khilafah, bukan berarti mereka memiliki privilege atau hak prerogatif yang tidak bisa dimiliki warga minoritas. Di hadapan syariah Islam semua warga adalah sama. Tidak ada gap dan arogansi warga mayoritas.
Perlindungan Islam terhadap akidah masyarakat bukan saja berlaku bagi kaum Muslim, tetapi juga non-Muslim. Ada larangan memaksa non-Muslim untuk masuk agama Islam, kecuali dengan metode dakwah yang terbuka. Allah SWT berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sungguh telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat (QS al-Baqarah [2]: 256).
Kaum Muslim juga dilarang untuk menghina keyakinan dan simbol-simbol agama kalangan non-Muslim, sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ الله فَيَسُبُّوا الله عَدوَا بِغَيرِ عِلْمٍ
Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan (QS al-An’am [6]: 108).
Praktik hidup berbhineka, majemuk, plural atau apapun sebutannya telah menjadi catatan emas dalam sejarah dunia yang ditorehkan umat Islam dan para khalifah mereka. Tak ada diskriminasi, gap atau hak privilege pada satu kelompok di atas kelompok lain.
Semua terwujud dalam satu wadah Khilafah Islamiyah, yang di dalamnya aturan Islam yang agung dapat diterapkan dan memberikan jaminan kehidupan yang terbaik bagi seluruh masyarakat. Hal ini telah diakui oleh para sejarahwan Barat. T.W. Arnold dalam bukunya, The Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara. Hal ini justru tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para Kaisar Byzantium.
Keadilan dan kebersamaan status di mata hukum yang membuat kalangan non-Muslim tetap tunduk dan menjaga keutuhan Khilafah Islamiyah sekalipun ada masa jumlah warga non-Muslim lebih dominan dibandingkan kalangan kaum Muslim. [Iwan Januar; Lajnah Siyasiyah DPP HTI]