Juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengecam kriminalisasi ulama yang sedang terjadi saat ini pasca Aksi Bela Islam. Ismail Yusanto, menduga ada kekuatan besar yang bermain dengan memanfaatkan aparat kepolisian.
Kecenderungan kepolisian yang semakin represif juga dikhawatirkan juru bicara HTI ini. Menurutnya, polisi saat ini punya kewenangan yang yang melampau batas yang berbahaya karena akan digunakan sebagai alat politik yang represif.
Kecenderungan represif ini, tambahnya, ditopang oleh gabungan kekuatan legal sebagai aparat ditambah kekuatan intelijen (BIN) yang dipimpin unsur kepolisian dan kelompok-kelompok anarkis termasuk GMBI yang dipelihara elit kepolisian. Di belakang itu, ada kepentingan asing, aseng dan asong.
“Pernyataan tersebut hanya mungkin bisa dibantah melalui fakta, karena pernyataan di atas juga timbul berdasarkan fakta juga,” ungkap Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) Muhammad Ismail Yusanto kepada mediaumat.com, Sabtu (14/1/2017).
Fakta yang dimaksud Ismail di antaranya ada kriminalisasi tokoh-tokoh Islam seperti kepada Habib Rizieq Shihab di Bandung, Tengku Zulkarnaen di Sintang dan Hj Irena Handono di Jakarta dan lainnya.
Misalnya, kasus Tengku Zulkarnaen yang memenuhi undangan resmi Bupati Sintang, tiba-tiba dihadang kelompok tertentu sambil mengacung-acungkan senjata tradisional di apron Bandara Sintang ketika hendak turun dari pesawat terbang.
“Bagaimana bisa kelompok yang melakukan tindakan anarkis itu masuk apron bandara bahkan bawa senjata? Itu hanya mungkin terjadi bila ada pembiaran oleh polisi. Polisi tahu bahwa Ustadz Tengku itu akan datang jam itu dengan pesawat tersebut. Jadi yang disebut gabungan antara kekuasaan legal, intelijen, dan akses kepada kelompok-kelompok anarkis sangat nyata,” beber Ismail.
Sedangkan kasus di Bandung, bagaimana bisa juga kekerasan itu terjadi tak jauh dari Mapolda Jabar. Dan yang lebih mengherankan adalah respon setelah itu.
“Alih-alih korban itu dilindungi, tetapi justru malah dipersalahkan. Sementara yang melakukan kekerasan malah dilindungi, dijenguk polisi dan disebarkan melalui akun resmi Humas Polri, bahwa GMBI adalah korban dari anarkisme FPI. Padahal faktanya FPI yang diserang GMBI,” ungkap Ismail.
Sekali lagi, ia menegaskan itu semua bisa terjadi karena ada kolaborasi kekuatan legal, intelijen dan anarkis. “Sungguh sangat menyedihkan, bagaimana negara ini memiliki aparat kepolisian yang begini rupa, ini sangat berbahaya, sebab ini akan memperuncing pertentangan antar kelompok dan konflik horisontal,” tegasnya.
Menurutnya, ini merupakan aksi balas dendam dari terganggunya kepentingan asing, aseng dan asong pasca penistaan agama yang dilakukan Ahok. Karena ini semua terjadi setelah Aksi 212. Aksi 212 itu kan aksi super damai, semestinya semua orang bergembira, tetapikan nyatanya ada yang berduka dan geram karena kok damai, jadi tidak punya alasan, akhirnya mencari-cari alasan untuk mendeskreditkan umat Islam, yang pertama adalah tokoh-tokohnya itu.
Di belakang Ahok ini, ada kepentingan politik yang besar yang terkait dan berkelindan dengan kepentingan bisnis. Dan bisnis tersebut terkait dengan pejabat.
“Di situ ada korupsi, kolusi, sebagaimana tampak pada kasus Reklamasi dan Sumber Waras yang terus diulur-ulur oleh KPK,” bebernya.
Namun ketika Ahok menista agama aparat sudah tidak bisa berkelit lagi tatkala umat Islam marah hingga puncaknya terjadi Aksi 212.
“Jadi tampak sekali, dan sangat menyedihkan, aparat hukum menjadi alat politik jahat dari kelompok tertentu,” pungkasnya.[] Joko Prasetyo