Di tengah terik matahari di pinggiran Denpasar Utara, Made Jaya, 67 tahun, membersihkan rumput-rumput di pematang sawahnya. Akhir pekan lalu, meski kampanye sudah digelar selama seminggu di Bali, petani padi ini sama sekali tidak tertarik untuk mengikuti. Dia pilih membersihkan rumput di 17 are sawahnya.
“Pemilu sekarang bikin bingung karena terlalu banyak gambar yang harus dicoblos,” kata warga Banjar Tagtag Kaja, Desa Peguyangan, Denpasar Utara ini ketika ditanya komentarnya tentang Pemilu saat ini.
Namun, bagi bapak empat anak dengan empat cucu ini, bukan hanya banyaknya caleg yang membuatnya bingung tapi juga karena dia tidak kenal sama sekali siapa yang akan dipilihnya.
“Pemilu terakhir saya milih orang yang satu banjar dengan saya. Tapi setelah dia jadi anggota DPR di Jakarta, dia malah tidak pernah mebanjar,” ujar Jaya. “Sekarang saya mau pilih yang lain banjar saja,” tambahnya.
Menurut Jaya, Pemilu bukan hal penting baginya. Sebab, menurutnya, meski sudah berkali-kali ikut memilih, dia merasa nasibnya sebagai petani tetap tidak jauh berbeda. “Jadi petani sekarang semakin bingung,” katanya.
Jaya menambahkan tiap menjelang Pemilu para caleg yang berkampanye di banjarnya selalu berjanji untuk membantu warga termasuk petani seperti dirinya. “Tapi setelah jadi pejabat, mereka tidak pernah lagi mengingat petani seperti saya,” kata suami dari Ni Nyoman Sukerti ini.
Saat ini, menurut Jaya, pendapatannya sebagai petani makin berkurang. Bukannya untung, dia malah selalu rugi. Ongkos bertani seperti sewa traktor, beli pupuk, dan pestisida juga semakin mahal. Sebaliknya harga padi justru makin turun. Saat ini, menurutnya, harga padi hanya Rp 75 ribu per are padahal sebelumnya Rp 100 ribu per are.
Meski mengaku rugi, Jaya toh tetap bertani. Sebab, lanjutnya, kalau harus membeli beras lagi, biaya hidupnya akan semakin mahal. “Makanya saya mau pilih siapa saja yang memberikan sumbangan,” tambahnya.
Ni Putu Asih, warga lain di Banjar Tonja, Desa Tonja, Denpasar Timur pun tidak jauh beda dengan Jaya. Menurutnya Pemilu sekarang juga tidak jauh berbeda dari sebelumnya. “Paling para Caleg hanya berjanji membantu kami ketika kampanye. Ketika jadi (anggota DPR), mereka juga lupa sama kami,” kata ibu tiga anak ini.
Bagi penjual soto di Jalan Nangka Utara ini pemilu bukanlah hal penting. Sebab selain tidak terlalu banyak perubahan yang terasa baginya meski sudah berkali-kali ikut Pemilu, bagi Putu, Pemilu juga malah membuat orang ribut.
Maka dalam Pemilu mendatang, Putu juga mengaku tidak terlalu peduli dengan pilihannnya. “Siapa saja yang penting nyoblos,” katanya.
Ketidaktahuan tentang siapa yang akan dipilih ini bukan hanya persoalan Jaya dan Putu. Beberapa warga lain pun mengakui bahwa mereka tidak tahu siapa orang yang akan dipilih dalam Pemilu mendatang.
Ni Wayan Buncing, petani sayur di daerah Peguyangan pun beralasan sama. Baginya, siapa pun pemerintahnya, dia merasa tidak ada yang berubah pada nasibnya. “Tidak ada yang peduli pada orang kecil seperti saya,” katanya.
Sehari-hari, Buncing tetap tinggal di gubuk reotnya yang beralas tanah, beratap seng dan berdinding bambu yang robek di sana sini. Dia bercocok tanam bermacam sayuran seperti kangkung, bayam, dan sawi untuk biaya hidup.
Ketika ditanya tentang Pemilu, Buncing sama sekali tidak peduli. “Saya toh begini-begini saja siapapun pemimpinnya,” ujar Buncing.
Maka pilihan warga kemudian sangat sederhana, siapa yang sudah berkampanye di banjarnya atau bahkan menyumbang uang itulah yang akan dipilih.
“Kalau hanya bisa berjanji ya percuma. Itu sudah biasa,” kata Jaya. (mediaumat.com)
kasihan, rakyat semakin bingung dengan kondisi yang makin semrawut ini. dan mereka juga masih belum mengerti solusinya. tugas kita semua untuk memahamkan mereka. mudah2an saja semua orang di negeri ini udah bener2 bosan dengan sistem demokrasi yang bobrok ini jadi kita bisa langsung menggantinya dengan sistem yang lebih baik, yaitu khilafah ala minhajinnubuwah. Allahu Akbar!!!
ya namanya demokrasi bukan untuk rakyat, dari konglomerat, bikin melarat……… rakyat di peralat ………… mau bilang apa lagi, kita ini lagi mimpi berat sama yang namanya si mata satu, Islam dilupakan …….. biaya yang dikeluarkan hanya untuk mendengarkan janji kosong ………….. wah jangan sekedar cuek, tapi tuntut perubahan dengan syariat dan khilafah sebagai jalan satu-satunya dan ini bukan impian …………
pemilu katanya PESTA RAKYAT ATAU PESTANYA PARAPEJABAT DAN KONGLOMERAT….
DEMOKRASI…TAKKAN PERNAH MEMBUAT….HIDUP MENJADI BAIK
Pemilu??demokrasi??..”ada uang caleg disayang, tak ada uang caleg melayang”..ga percaya??NONTON TV!!!
lha trus, kalo 1 suara 200ribu, 5ribu suara berapa?10ribu?15ribu?100ribu??ish ish iiiiiiiiiish..^^geleng2 kepala sambil menunduk
berapa banyak uang diguyurkan untuk merayu rakyat agar tidak apatis pada pemilu. sayang rayuannya nggak manjur buat jadi solusi. agak pintar dikit napa…wahai para caleg and capres.mikir dong ke solusi yang merevolusi, nggak hanya modal reformasi…!!