Rush Money Dalam Pandangan Islam

Di media sosial beredar pesan seruan kepada masyarakat untuk menarik uang tunai sebesar-besarnya dari bank atau rush money. Seruan ini mendapat tanggapan positif dari masyarakat. Pada Rabu (16/11/2016) pagi ini tagar rush money menjadi trending topic jagad Twitter.

Karena dianggap berbahaya seruan dan termasuk provokasi maka Penyidik Cyber Crime Bareskrim Polri menangkap Seorang guru berinisial AR (31 tahun), pada hari Kamis (24/11/2016) di Jl Mazda Raya, Kelurahan Penjagalan, Penjaringan, Jakarta Utara karena mengunggah ajakan Rush Money di akun Facebook.

“Penangkapan terhadap tersangka terkait dengan postingan Facebook milik tersangka dengan akun AR,” ujar Kadivhumas Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar, di Mabes Polri, Jl Trunojoyo, Jakarta, Sabtu (26/11/2016) , lansir Islamic News Agency (INA).

AR dijerat dengan Pasal 28 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE), ancaman hukumannya di atas 5 tahun penjara.

Motif; Melawan Kezholiman

Rush Money adalah gerakan menarik uang yang dimilikinya di bank dengan jumlah sebanyak-banyaknya secara bersamaan dengan tujuan keguncangan perekonomian di dalam negeri, sebagai rasa kecewa terhadap pemerintahan yang tidak berpihak ke rakyat terutama umat Islam dalam pebegakan hukum selama ini.

Aksi Rush money ini dilakukan untuk melawan ketidakadilan dalam penegakan hukum terutama dalam kasus Gubernur DKI Jakarta non-aktif Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bebas dari jeratan hukum atas penistaan agama. Hukum selama ini tidak berpihak kepada rakyat yang manyorits ummat Islam, dimana hukum tajam ke bawah tumpul ke atas. Jika penguasa dan pengusaha yang melanggar hukum sangat lamban penanganannya bahkan tidak tersentuh hukum seperti kasus penistaan agama oleh ahok bahkan telah ditetapkan sebagai tersangka namun tidak ditahan, adapun jika rakyat kecil yang melanggar hukum baru berstatus sebagai dugaan langsung ditahan. Itulah hukum tidak berpihak kepada rakyat dan itulah kezholiman yang tidak pernah berakhir.

Dalam suasana dan kondisi inilah gerakan Rush Money viralkan di medsos. Bayangkan kalau terdapat 5 juta umat muslim yang melakukan aksi Rush Money sebesar 2jt/orang, maka akan ada 5.000.000 x 2.000.000 = 10.000.000.000.000, itu kalau 5 juta orang dan masing-masing 2 juta rupiah, bagaimana kalau lebih? Bisa mencapai 100 trilyun uang yang rush dari dunia perekonomian kapitalis. Sedangkan bank hanya mencadangkan 5 – 10% dana Cash saja dari total dana pihak ketiga, yaitu dana nasabahnya.

Jika ini benar-benar terjadi, maka banyak prediksi-prediksi yang muncul sebagai dampak dari gerakan rush money untuk melawan kezholiman, diantaranya akan berdampak pada; pertama; Ekonomi, yaitu akan memberikan dampak yang signifikan pada perbankan berupa timbulnya kekacauan dalam system perbankan, bank akan mengalami kekurangan uang cash, sehingga dapat menyebabkan gejolak ekonomi. Kedua; Sosial, yaitu bank akan mengalami kekacauan sistem sehingga timbul keresahan di masyarakat, hal ini akan semakin menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Ketiga; Politik, yaitu politik leader terutama partai pendukung pemerintah akan menarik dukungannya dari pemerintahan yang sah.

Inilah mengapa Menteri Keuangan Sri Mulyani menegaskan bahwa ajakan rush akan merusak perbankan dan kepentingan masyarakat. “Kalau merusak, pasti yang akan terkena dan menderita dulu adalah masyarakat paling kecil dan masyarakat miskin. Oleh karena itu hati-hati dalam melakukan tindakan yang bisa saja melukai dan memengaruhi kepentingan masyarakat sendiri,” jelasnya kepada para wartawan, Jumat (18/11).

Akar Masalah dan Solusinya

Seruan Rush money yang ditujukan kepada ummat Islam muncul karena ketidakadilan khususnya di dalam penegakan hukum di negeri ini, keadilan hanya simbol belaka tanpa arti karena tidak bisa diwujudkan di tengah-tengah masyarakat, keadilan sangat mahal karena hanya pengusaha dan penguasa saja yang boleh menikmati keadilan. Mengapa demikian? Karena hukum yang berlaku adalah hukum kapitalis yang berasaskan sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan) yaitu hukum yang diterapkan oleh Negara sekuler.

Jadi akar masalah adanya rush money adalah karena diterapkannya sistem kapitalis terutama dalam bidang ekonomi yang berbasis pada sektor non riil dan keuangan yang bertumpu pada bank ribawi. Dengan sistem inilah yang memungkinkan bisa terjadi rush money.

Sementara dalam pandangan islam, sistem ekonomi dibangun berdasarkan aqidah Islam, berbasis pada sektor riil dan keuangannya bebas dari ribawi. Oleh karena itu Islam memandang seruan rush money dengan beberapa aspek sebagai berikut ;

Pertama, pada aspek hukum syara’ rush money dalam artian mengambil uang atau menutup tabungan yang disimpan di bank konvensional yang berbasis bunga (ribawi), hukumnya wajib karena haram menabung di bank konvensional yang memberikan bunga dan termasuk dosa besar. Keharaman ini sangat tegas dan jelas di dalam Islam. Allah SWT Berfirman :

] … وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا … (٢٧٥) [

“Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”. (Al-Baqarah [2]: 275).

Rasulullah SAW bersabda :

«الرِّبَا ثَلاَثَةٌ وَسَبْعُوْنَ بَابًا، أَيْسَرُهَا مِثْلُ أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ»

“Riba itu memiliki 73 pintu (dosa), Yang paling ringan adalah seperti seseorang berzina dengan ibunya sendiri”. (H.R. al-Hakim dan al-Baihaqi).

Kedua, pada aspek ekonomi, sistem ekonomi kapitalisme menjadikan lembaga perbankan sebagai alat  “penyedot uang” dari sektor rumah tangga.  Dan dana yang tersedot tersebut sebagian besar hanya dimanfaatkan oleh kaum kapitalis, yang sudah mempunyai perusahaan yang besar, untuk menjadi lebih besar lagi, selanjutnya akan menguasai negeri ini dan menyingkirkan ummat Islam. Hal ini jelas haram, sebab akan menjadi jalan atau sarana (wasîlah) bagi orang kafir untuk menguasai kaum muslimin. Allah SWT berfirman :

] … وَلَنْ يَجْعَلَ اللَّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلا (١٤١)[

“… Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk menguasai orang-orang yang beriman”. (Q.S. An-Nisâ’ [4]: 141).

Ketiga, pada aspek politik, seruan rush money tidak efektif dijadikan sebagai alat untuk menekan pemerintah secara signifikan dalam menuntut perubahan kebijakan apalagi sampai mengubah sistem ekonomi. Hal ini, karena rush money hanya persoalan cabang yang lahir dari sistem kapitalis. Disamping itu, problem rush money selalu ada solusinya sebagaimana kasus bank Century.

Jadi, rush money atau pengambilan tabungan atau penutupan rekening nasabah dan hanya dipindahkan dari bank swasta  ke bank pemerintah atau bank syariah maka tidak akan memberikan dampak yang signifikan terhadap pertumbuhan sektor riil dan tidak memecahkan persoalan terutama dalam penegakan hukum. Selain itu, konsep tabungan dalam sistem kapitalis hanya menyebabkan harta  beredar di kalangan kaya saja. Sebaiknya, jika masyarakat mengambil uang di bank dan  ditanamkan dalam sektor riil, digunakan usaha dan mengembankannya untuk mempekuat pasar riil maka akan menyebabkan roda ekonomi berputar sehingga kekayaan bisa menyebar ke tengah masyarakat, sehingga terwujud kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, jauh dari kesenjangan sosial ekonomi yang akan dapat memicu konflik horizontal. Allah SWT berfirman :

]…. كَيۡ لَا يَكُونَ دُولَةَۢ بَيۡنَ ٱلۡأَغۡنِيَآءِ مِنكُمۡۚ … ٧ [

“… supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu…”. (QS. Al-Hasyr [57]: 7)

Semua ini hanya dapat terwujud jika sistem ekonomi kapitalis yang berbasis ribawi dicampakkan dan diganti dengan sistem ekonomi Islam yang dibangun di atas landasan aqidah yang kokoh. Disamping itu, Negara khilafah akan menerapkan syariah islam secara kâffah termasuk kebijakan politik ekonomi islam menjamin terpenuhinya seluruh kebutuhan dasar (al-hâjât al-asâsiyah) setiap orang secara menyeluruh serta peluang pemenuhan kebutuhan sekundernya (al-hâjât al-kamaliyah) berdasarkan kadar yang mampu sebagai manusia yang hidup dalam suatu masyarakat yang unik dan memiliki gaya hidup yang khas.[1] Wallâhu A’lâm wa  Ahkam [AH]

 

 

[1] Abdurrahmân al-Mâlikî, As-Siyâsah Al-Iqtishâdiyyah Al-Mutslâ, (t.t.p : t.p, 1963), h. 17

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*