Freeport McMoran Cooper & Gold Inc. secara resmi menyatakan bahwa perusahaan memberi waktu kepada pemerintah selama 120 hari ke depan untuk mempertimbangkan kembali poin-poin perbedaan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia (PTFI) terkait pemberian izin rekomendasi ekspor berdasarkan ketentuan Kontrak Karya (KK).
Chief Executive Officer Freeport McMoran Richard Adkerson mengatakan, waktu selama 120 hari terhitung sejak pertemuan terakhir antara PTFI dan pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang berlangsung pada Jumat lalu (17/2).
Bersamaan dengan hal ini, Adkerson membantah bahwa perusahaan tambang yang beroperasi di Grasberg, Papua itu tak akan melangkah ke jalur pengadilan internasional atau arbitrase dalam waktu dekat. Namun, perusahaan menyiapkan langkah arbitrase bila dalam 120 hari ke depan tak dapat memecahkan perbedaan dengan pemerintah.
“Jadi, hari ini Freeport tidak melaporkan arbitrase tapi kita memulai proses untuk melakukan arbitrase. Jika tidak dapat menyelesaikan perbedaan itu dengan pemerintah,” ujar Adkerson dalam konferensi pers yang digelar di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20/2).
Pengajuan arbitrase, lanjut Adkerson, layak ditempuh oleh perusahaan karena menilai bahwa pemerintah Indonesia tak konsisten dalam menjalankan aturan hukum yang telah dibuatnya sendiri, yakni Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba).
PTFI bersikukuh bahwa pemerintah tak dapat mengubah ketentuan hukum dan fiskal yang telah berlaku dalam KK menjadi ketentuan berdasarkan status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) karena berdasarkan UU Minerba, KK tetap sah berlaku selama jangka waktunya.
Di samping itu, PTFI menegaskan bahwa perusahaan tak bisa mengubah ketentuan hukum usaha yang telah disepakati oleh PTFI dan pemerintah dengan alasan menjaga keberlangsungan investasi, pengoperasian, dan pengerjaan tenaga kerja.
“Kami tidak dapat melepaskan hak-hak yang diberikan KK yang merupakan dasar dari kestabilan dan perlindungan jangka panjang dari perusahaan kami dan vital terhadap kepentingan jangka panjang para pekerja dan para pemegang saham kami,” kata Adkerson.
Belum lagi, kata Adkerson, pemerintah sebenarnya telah memberikan jaminan terkait penjanjian investasi yang disepakati bersama bahwa PTFI dan pemerintah akan menjalankan ketentuan KK. Adapun jaminan yang dimaksud merupakan surat jaminan dari Menteri ESDM sebelumnya, Sudirman Said, yang dikeluarkan pada 7 Oktober 2015 silam.
Untuk itu, Freeport McMoran bersama PTFI meminta pemerintah agar dapat segera mengeluarkan keputusan terkait hal ini. Pasalnya, kepastian hukum ini menjadi sumber utama keberlangsungan operasi PTFI di Indonesia, yang sejak 12 Januari 2017 lalu kian tak menentu, bersamaan dengan pemberhentian pemberian izin ekspor kepada PTFI.
Imbasnya, sejak saat itu pula, operasional PTFI berkurang sebanyak 60 persen. Sebab, larangan izin ekspor membuat pasokan PTFI tak dapat ditampung. Sementara, fasilitas pengolahan atau smelter Freeport yang terletak di Gresik, Jawa Timur, hanya mampu menyerap sebanyak 40 persen konsentrat yang dihasilkan.
Ini pula, sambung Adkerson, alasan PTFI mengeluarkan rencana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) atau pemangkasan jumlah tenaga kerja menyusul pengurangan produksi. Sehingga, PTFI menekankan bahwa rencana PHK tersebut bukan alat yang digunakan PTFI untuk menekan pemerintah Indoensia.
“Kami harus mengurangi biaya operasi yang normalnya menghabiskan US$2 miliar setiap tahun dan kami harus pula mengurangi jumlah karyawan,” tegas Adkerson. (cnnindonesia.com, 20/2/2017)