Stop Freeport!

[Al-Islam edisi 845, 27 Jumadul Ula 1438 H – 24 Februari 2017 M]

Setelah terbit PP no. 1/2017 tentang tentang perubahan keempat atas PP No. 23/2014 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara dan peraturan turunannya (Peraturan Menteri ESDM no. 5/2017 dan no. 6/2017), maka sejak 12 Januari 2017 perusahaan tambang wajib mengolah dan memurnikan mineral di dalam negeri dan tidak boleh lagi mengekspor konsentrat, kecuali jika: (1) Kontrak Karya (KK) diubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK); (2) Perusahaan berkomitmen membangun smelter dalam 5 tahun dan akan diverifikasi tiap 6 bulan; (3) Perusahaan mendivestasi (menjual) saham 51% dalam 10 tahun; (4) Perusahaan membayar bea keluar maksimal 10%.

Terkait itu, pada 15 Januari 2017, PT Freeport Indonesia (PTFI) mengajukan diri mengubah status dari KK menjadi IUPK Operasi Produksi (OP). Namun, PTFI meminta beberapa syarat (lihat: Kompas.com, 16/1). Di antaranya: PTFI meminta kepastian perpanjangan operasi hingga tahun 2041 dan perpajakan tetap atau nail down; PTFI pun menolak mengikuti ketentuan fiskal yang berlaku yang bisa berubah (prevailing).

PTFI mengajukan perpanjangan rekomendasi ekspor konsentrat pada 16 Februari 2017. Sesuai izin IUPK yang telah diberikan (SK IUPK Nomor 413 K/30/MEM/2017 tanggal 10 Februari 2017), diterbitkan izin rekomendasi ekspor dengan Surat Persetujuan No. 352/30/DJB/2017 tanggal 17 Februari 2017, berlaku hingga 16 Februari 2018 (CNN Indonesia, 17/2).

Namun, PTFI mengabaikan rekomendasi ekspor itu. PTFI belum mengajukan Surat Persetujuan Ekspor (SPE) kepada Kementerian Perdagangan.

Freeport Mengancam Pemerintah

Untuk memuluskan keinginan di atas, Freeport menebar ancaman dan tekanan terhadap Pemerintah. Freeport McMoran secara resmi memberi Pemerintah tenggat waktu 120 hari untuk mempertimbangkan kembali poin-poin perbedaan antara Pemerintah dan PTFI terkait pemberian izin rekomendasi ekspor berdasarkan ketentuan Kontrak Karya (KK). (CNN Indonesia, 20/2). Freeport akan melaporkan Pemerintah ke Arbitrase Internasional jika dalam 120 hari tidak dicapai kata sepakat terkait perbedaan status KK PTFI menjadi IUPK (Kompas.com, 20/1).

Freeport juga mengancam, jika tidak diterbitkan izin rekomendasi ekspor sesuai ketentuan KK, akan terjadi PHK besar-besaran. CNN Indonesia (20/2) memberitakan, Freeport-McMoran, induk dari PTFI, secara resmi menyatakan telah mengubah status 12 ribu dari total 32 ribu pekerja PTFI, dari pekerja tetap menjadi pekerja kontrak mulai pekan ini. PTFI juga akan mem-PHK sekitar 10 persen (artinya sekitar 3.200 orang) pekerjanya mulai pekan depan.

Freeport juga terus mengopinikan bahwa penghentian operasi PTFI akan berdampak buruk bagi Pemerintah dan perekonomian Papua.

Freeport pun memperberat tekanan. CEO Freeport Adkerson mengatakan (Kompas.com, 20/2), “Sebanyak 90 persen investor Freeport McMoran berasal dari perusahaan-perusahaan besar di AS. Apa pun yang terjadi di sini (PTFI) akan menjadi perhatian Pemerintah AS.”

CEO Freeport juga mengatakan, pemodal terbesar Freeport, Carl Icahn, yang memegang 7% saham Freeport McMoRan, dan tercatat sebagai pemegang saham terbesar sejak 1,5 tahun terakhir, saat ini menjadi staf khusus Presiden AS Donald Trump. Kisruh mengenai kelanjutan investasi Freeport di Indonesia tentu tak lepas dari perhatian Icahn (lihat: finance.detik.com, 20/2).

Potret Penjajahan

Ancaman dan tekanan Freeport kepada Pemerintah itu menggambarkan potret penjajahan asing, arogansi dan kerakusan mereka atas negeri ini. Tentu hal itu di antaranya karena perusahaan itu di-back-up penuh oleh negaranya, yakni AS. Dengan begitu eksploitasi oleh Freeport sejatinya menggambarkan penjajahan oleh AS sendiri atas negeri ini.

Perlu diketahui, sesuai hasil pembahasan bersama yang melibatkan Kementerian ESDM, Kemenkeu dan PTFI, Pemerintah telah memberikan hak yang sama di dalam IUPK setara dengan yang tercantum di dalam KK, selama masa transisi perundingan stabilitas investasi dan perpajakan dalam 6 bulan sejak IUPK diterbitkan (Kompas.com, 19/2).

Selain itu, di dalam Permen ESDM No. 15/2017 pasal 8 dikatakan, ketentuan-ketentuan dalam KK serta dokumen kesepakatan lainnya antara Pemerintah dan pemegang KK menjadi bagian tidak terpisahkan dari pemberian IUPK Operasi Produksi. Itu dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu yang ditetapkan dalam IUPK Operasi Produksi. Dengan kata lain, Pemerintah menjamin tak ada perubahan kewajiban ketika KK berubah menjadi IUPK dan bisa saja berlaku sampai periode IUPK berakhir.

Dengan demikian ada peluang bagi PTFI untuk tetap mempertahankan hak-hak sesuai KK meski telah berganti status menjadi IUPK. Artinya, ada kemungkinan, kebijakan fiskal PTFI setelah berstatus IUPK akan tetap mengikuti ketentuan KK, yakni tetap (nail down) dan tidak mengikuti ketentuan fiskal yang berlaku (prevailing). Adapun pajak-pajak tambahan, tentu masih ada waktu maksimal 6 bulan untuk dinegosiasikan agar mendapat keistimewaan.

Sementara itu, untuk perpanjangan operasi hingga 2041, besar kemungkinan—meski tidak mendapat kepastian—Freeport akan mendapat jaminan. Pasalnya, IUPK berlaku 10 tahun sejak dikeluarkan dan bisa diperpanjang dua kali 10 tahun.

Jika semua itu terjadi, dengan berubah menjadi IUPK, hanya wilayah operasinya yang menyusut. Namun, itu pun masih bisa disiasati dengan mengajukan IUPK baru untuk sisa wilayahnya sehingga jika ditotal tidak akan jauh berbeda dengan luas wilayah KK.

Stop Freeport!

Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam dari Universitas Tarumanegara, mengatakan bahwa persyaratan yang diminta oleh Freeport sangat tidak rasional dan cenderung berorientasi pada keuntungan diri sendiri. “Pemerintah tidak boleh menuruti aturan tersebut,” kata dia. “Pemerintah harus tegas, bukan malah mengikuti alur kemauan Freeport. Syarat tersebut harus ditolak,” tegasnya.

Direktur Centre for Indonesian Resources Strategic Studies (Cirrus), Budi Santoso, juga mengatakan, syarat-syarat itulah yang selama ini diinginkan Freeport sehingga menyandera pembangunan smelter dan divestasi. Namun demikian, jika benar-benar konsisten untuk kepentingan nasional, Pemerintah seharusnya tidak memperpanjang kontrak Freeport (Kompas.com, 16/2).

Kelanjutan operasi tambang tersebut mestinya diberikan kepada BUMN, seperti yang dikemukakan oleh banyak pakar. Jangan sampai, setelah asing menguras banyak, baru BUMN—yang sejatinya mewakili negara—disuruh mengelola dengan hanya mendapatkan ampasnya.

Menyalahi Islam

Pemberian izin pengelolaan tambang kepada Freeport (juga kepada perusahaan lainnya) baik dengan KK atau IUPK jelas menyalahi Islam. Sebabnya, dalam Islam, tambang yang berlimpah haram diserahkan kepada swasta, apalagi asing. Abyadh bin Hamal ra. menuturkan:

أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنَ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِى مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ. قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ

Ia pernah datang kepada Rasulullah saw. Ia meminta (tambang) garam. Beliau lalu memberikan tambang itu kepada dirinya. Ketika ia hendak pergi, seseorang di majelis itu berkata, “Apakah Anda tahu apa yang Anda berikan? Sungguh Anda telah memberi dia (sesuatu laksana) air yang terus mengalir.” Ia (perawi) berkata, “lalu Rasul menarik kembali tambang itu dari Abyadh (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Hibban dan al-Baihaqi).

Islam menetapkan tambang adalah milik umum (seluruh rakyat). Tambang itu harus dikelola langsung oleh negara dan seluruh hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan rakyat. Karena itu pemberian ijin kepada wasta untuk menguasai pengelolaan tambang, termasuk perpanjangan ijin yang sudah ada, jelas menyalahi Islam.

Karena menyalahi Islam, izin ataupun kontrak yang diberikan adalah batal demi hukum dan tidak berlaku. Sebabnya, Nabi saw bersabda:

«كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِى كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ»

Setiap syarat yang tidak ada di Kitabullah (menyalahi syariah) adalah batil meski 100 syarat (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban).

Jika memang Freeport dan pemegang kontrak pertambangan lainnya sudah terlanjur mengeluarkan biaya, biaya-biaya itu dikembalikan setelah diperhitungkan dengan hasil yang diambil. Hal itu dianalogikan dengan orang yang menanam di tanah orang lain. Nabi saw bersabda:

«مَنْ زَرَعَ فِى أَرْضِ قَوْمٍ بِغَيْرِ إِذْنِهِمْ فَلَيْسَ لَهُ مِنَ الزَّرْعِ شَىْءٌ وَلَهُ نَفَقَتُهُ»

Siapa yang menanam di tanah satu kaum tanpa izin mereka maka dia tidak berhak atas tanaman itu dan untuk dia (dikembalikan) biayanya (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad).

Wahai Kaum Muslim:

Kekayaan alam mendesak untuk diselamatkan. Penjajahan harus segera diakhiri. Kemandirian harus segera diwujudkan. Semua itu hanya sempurna terwujud melalui penerapan syariah secara kâffah yang hanya bisa sempurna dijalankan melalui sistem Khilafah Rasyidah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Inilah yang mendesak untuk diwujudkan oleh kaum Muslim negeri ini demi mewujudkan kemakmuran negeri dan penduduknya. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

 

Komentar al-Islam:

Ketua DPR Puji Aksi Damai 212 (Republika.co.id, 22/2/2017).

  1. Tak cukup sekadar memuji, harusnya DPR dan Pemerintah segera memenuhi seluruh tuntutan umat Islam, yakni: tangkap penista al-Quran!
  2. Faktanya, meski sudah beberapa kali umat Islam melakukan aksi besar-besaran, tuntutan umat Islam seolah tak didengar oleh Pemerintah.
  3. Semua ini membuktikan bahwa sistem demokrasi hanya melayani kepentingan segelintir orang dan mengabaikan kepentingan orang banyak (umat Islam). Karena itu stop demokrasi, ganti dengan syariah dan Khilafah!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*