Meskipun unggul dengan selisih yang tipis, kemenangan pasangan Basuki (Ahok)-Djarot, oleh kelompok liberal dinyatakan sebagai bukti bahwa isu agama tidak laku dalam Pilgub DKI Jakarta. Menurut mereka, isu agama hanya dimainkan oleh elit-elit politik yang berpikiran sempit, sementara mayoritas pemilih berpikiran cerdas. Mereka pun menyebut isu agama harus ditinggalkan karena mengancam negara.Apakah isu agama benar-benar tidak berpengaruh, mungkin masih bisa diperdebatkan. Kalaulah ukurannya, kemenangan kubu Ahok di TPS 17 daerah Petamburan, perlu dicatat kemenangan kubu Ahok tidaklah terlalu dominan. Berdasarkan pantauan di papan pencatatan, kubu Ahok-Djarot unggul dengan 278 suara, sementara Anis-Sandi 212 suara, Agus-Silvy 38 suara. Apalagi perlu diperhatikan, meskipiun dekat markas PFI, lokasi TPS 17, ada di kompleks Kristen Bethel Petamburan, yang mayoritas pemilihnya adalah Kristen.Meskipun tidak terkait langsung, klaim kemenangan Ahok di Kepulauan Seribu kerap digunakan untuk menyatakan isu agama tidak laku. Padahal di daerah inilah Ahok telah melakukan penghinaan terhadap al-Quran dan ulama. Yang sering ditutupi media massa pro Ahok, di Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, tempat Ahok menista dengan pidatonya tentang al-Maidah: 51, justru Ahok kalah.
Pernyataan Jubir HTI tentang kemenangan tipis Ahok ini juga perlu kita perhatikan. Menurut Ismail Yusanto, tim pemenangan Ahok ini bukan sembarang tim karena melibatkan semua kekuatan politik dari rezim yang tengah berkuasa saat ini. Meski berulang Pemerintah menyatakan bersikap netral, semua orang tahu, faktanya tidaklah demikian. Bila benar-benar netral mestinya Ahok sudah ditahan sejak pertama kasus Pulau Seribu itu mencuat. Penetapannya sebagai tersangka juga tidak perlu berbelit-belit. Selepas sebagai terdakwa, Ahok juga mestinya segera diberhentikan sementara. Faktanya? Ahok alih-alih diberhentikan, ia malah dilantik lagi sebagai gubernur.
Kedua, menurut Ismail Yusanto, tim ini ditopang dana yang sangat besar. Mereka bertekad, apapun Ahok harus menang, at all cost (berapapun biayanya). Dengan dana sangat besar itulah mereka membayari media massa, para intelektual dan artis bayaran, tim buzzer yang bermain di medsos, para saksi dan relawan serta membeli suara. Hanya keajaiban nasrulLâh saja yang bisa menghentikan kemenangan Ahok.
Meskipun demikian, tentu sangat kita sayangkan kalau masih ada umat Islam yang memilih Ahok. Bagaimana mungkin Ahok bisa mendulang suara yang demikian besar, padahal sudah banyak ulama yang mengecam Ahok dan menyerukan haram memilih pemimpin kafir, apalagi penista agama dan ulama. Umat Islam pun sudah turun ke jalan, lebih dari 4 juta orang, mengecam Ahok. Ulama dan tokoh Islam yang menjadi ujung tombak Aksi Bela Islam pun harus ‘berdarah-darah’ menghadapi kriminalisasi pendukung Ahok.
Tentu banyak hal yang menyebabkan hal itu. Kesadaran politik umat yang masih lemah tentang haramnya memilih pemimpin kafir dalam Islam bisa menjadi penyebab. Belum lagi racun sekularisme yang sudah lama disuntikkan ke tubuh umat, yang berupaya memisahkan agama dan politik. Harus kita akui pula, kekuatan politik uang sangat mungkin menjerat siapapun yang tidak memiliki keimanan yang kuat.
Lepas dari itu semua, yang jelas, dalam Islam, agama dan politik tidak bisa dipisahkan. Islam adalah ajaran yang syumuliyah (menyeluruh), yang mengatur semua aspek kehidupan, termasuk politik di dalamnya. Berdasarkan syariah Islam, isu agama itu penting, dalam pengertian, Islam haruslah menjadi standar utama bagi seorang Muslim atau partai politik dalam berpolitik.
Politik sangatlah menentukan nasib umat Islam. Politik dalam pengertian pengaturan urusan-urusan rakyat (umat) sangat dipengaruhi dua hal: pemimpin yang wajib Muslim dan aturannya yang wajib berdasarkan syariah Islam. Antara kewajiban pemimpin Muslim dan aturan yang berdasarkan syariah Islam ini tidak bisa dipisahkan. Saat umat tidak diatur berdasarkan syariah Islam, mereka akan mengalami penderitaan yang berkepanjangan seperti saat ini. Apalagi diperparah kalau pemimpinnya kafir.
Kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting. Dalam pandangan Islam, kemaslahatan bersama atau rahmatan lil alamin hanya akan benar-benar terwujud bila pemimpin mengatur masyarakat dengan syariah Islam dan menegakkan amar makruf nahi mungkar. Tanpa syariah Islam yang diterapkan secara kâffah, yang terjadi bukan kemaslahatan atau kerahmatan, tetapi mafsadat atau kerusakan seperti yang terlihat saat ini.
Syarat utama pemimpin haruslah seorang Muslim. Bila bukan Muslim, bagaimana mungkin ia bisa diharapkan menerapkan syariah dan menegakkan amar makruf nahi mungkar, sedangkan ia tidak mengimani syariah dan tidak memahami kewajiban amar makruf nahi mungkar? Oleh karena itu, dalam pandangan Islam, sebagaimana disebut dalam al-Quran surah an-Nisa’ ayat 41, haram mengangkat non-Muslim atau orang kafir menjadi pemimpin bagi kaum Muslim.
Dalam kondisi seperti ini tidak ada jalan lain kecuali umat Islam bersatu dan membangun kekuatan politik Islam yang independen. Apa yang terjadi saat ini, tidak lain karena terpecahbelahnya umat Islam dan ketiadaan kekuatan politik. Kekuatan politik ini penting. Sebabnya, bagaimana pun, tanpa kekuasaan, umat Islam tidak akan bisa menerapkan syariah Islam secara totalitas untuk mengatur masyarakatnya. Tanpa kekuasaan ini umat Islam lemah untuk melindungi dan mempertahankan diri mereka sendiri. Umat Islam membutuhkan ‘sulthan[an] nashîra’, kekuasaan yang menolong.
Inilah kekuasaan yang diminta oleh Rasulullah saw. kepada Allah SWT untuk menolong Islam, mengurus umat Islam dengan baik dan melindunginya. sebagaimana firman Allah SWT dalam QS al-Isra’ ayat 80. Terkait dengan ayat ini, dalam Tafsir Ibnu Katsir, dikutipkan penjelasan dari Imam Qatadah tentang apa yang dimaksud dengan ‘sulthan[an] nâshira’ ini, “Sungguh Nabi Allah saw. menyadari bahwa dirinya tidak sanggup menjalankan urusan agama ini kecuali dengan kekuasaan yang dapat menolong Kitab Allah, hukum-hukum-Nya dan semua kewajiban yang Dia tentukan serta untuk menegakkan agama-Nya. Sungguh kekuasaan itu merupakan rahmat dari Allah SWT yang Dia tegakkan di tengah-tengah semua hamba-Nya. Kalau bukan karena kekuasaan tersebut, niscaya sebagian orang akan dengki kepada sebagian lainnya, sehingga yang kuat dari mereka akan memakan yang lemah.”
Kekuasaan yang menolong ini adalah Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah yang akan mempersatukan, mengurus dan melindungi umat Islam. AlLâhu Akbar. [Farid Wadjdi]