Memahami Permainan Media Global

ADNAN KHAN (aktivis Hizbut Tahrir Inggris)

Tidak ada simbol Kapitalisme yang lebih menonjol daripada media massanya. Hari ini media telah memasuki setiap rumah di dunia dalam segala bentuk dan warnanya. Jurnalis Barat sangat bangga dengan usahanya yang melaporkan berita global secara obyektif dan menyatakan bahwa media mandiri adalah pilar dari masyarakat demokratis yang bisa menuntut pertanggungjawaban dari negara.

Dunia Barat selama bertahun-tahun berargumentasi bahwa kelangsungan demokrasi dan pembangungan suatu negara tergantung dari adanya faktor kritis, yaitu pembentukan masyarakat yang sadar informasi tentang semua masalah, baik yang bersifat lokal, nasional dan internasional yang ditayangkan oleh media massa yang dominan. Dalam dunia yang semakin global, media mengambil peran yang sangat penting. Ia memungkinkan tersebarnya informasi dari satu tempat ke tempat lainnya, dimana pada masa lalu sulit dijamah untuk menyebarkan berbagai versi informasi.

Mayoritas orang mendapatkan pandangannya terhadap dunia dari kacamata media. Maka sangat penting bagi media massa yang dominan untuk menyampaikan informasi yang obyektif, akurat dan mewakili berbagai pandangan terhadap semua kejadian di dunia. Akan tetapi selama beberapa dasawarsa terakhir, kita menyaksikan timbulnya berbagai faksi di dunia yang memiliki beragam kepentingan dan berhasil memanipulasi media untuk mencapai tujuannya. Kenyataan ini diungkapkan oleh bekas pemilik harian The Washington Post, Kathrine Graham dalam pidatonya di hadapan CIA,” Kita hidup di dunia yang kotor dan berbahaya. Banyak sekali hal-hal yang publik tidak perlu dan mestinya tidak boleh mengetahuinya. Saya yakin demokrasi berkembang ketika pemerintah mengambil langkah yang sah secara hukum dalam usahanya menyimpan rahasia negara, dan media massa bisa memutuskan untuk memberitakan atau tidak terhadap apa-apa yang ia ketahui.”[1]

Realita Media Global

Ketika seseorang berbicara tentang laporan media massa terhadap Islam dan Muslim, sering ditemukan ungkapan seperti ini,” Yahudi mengontrol media” atau, “Freemason mengontrol media.” Meskipun di satu sisi memang banyak sekali pendukung Zionisme di dunia media massa (seperti profesor Bernard Lewis, tokoh Orientalis yang terkenal; Judith Miller dan Serge Schmemann (New York Times); Joel Greenberg (The Chicago Tribune)), disisi lain akan sangat naif dan sangat simplistis untuk menyatakan bahwa kaum Yahudi mengendalikan media Massa.

Ketika dicermati secara seksama, media massa global tidak dimiliki oleh satu entitas yang homogen (monolitik) yang memiliki agenda yang sama dalam menyebarkan pandangannya. Sebaliknya, ada beberapa faksi besar yang saling bersaing untuk meningkatkan jumlah audiensnya dan pencapaian nilai komersial. Sejak tahun 1980an, banyak sekali penggabungan dan pengambilalihan perusahaan media massa dan hiburan. Global media menjadi semakin terkonsentrasi secara kepemilikan dan dengan itu pengaruh dari kelompok pengiklan dan pemilik perusahaan akan semakin dominan untuk membentuk media dan pandangan masyarakat.

Pada tahun 2007, ada sekitar 8 perusahaan media raksasa yang memimpin media Amerika. Dari merekalah, yang juga adalah pelaku pasar global, mayoritas masyarakat AS menerima informasi dan berita:Disney, AOL-Time Warner, Viacom, General Electric, News Corporation, Yahoo!, Microsoft,Google.

Yahoo!, Microsoft, dan Google adalah perusahaan media yang relatif baru dibandingkan 5 perusahaan lainnya. Mayoritas perusahaan tersebut adalah pelaku elit media global juga. Di tahun 2007, 9 korporasi AS mendominasi media dunia:AOL-Time Warner, Disney, Bertelsmann, Viacom, News Corporation, TCI, General Electric (owner of NBC),Sony ( pemiliki Columbia dan TriStar Pictures dan perusahan rekaman besar), dan Seagram (pemilik perusahaan film Universal and perusahaan music).

Monopoli terhadap media massa dunia ini bisa disimpulkan dari berbagai perubahan yang terjadi di industri media dalam beberapa dasawarsa terakhir.
“Di tahun1983, lima puluh perusahaan mendominasi mayoritas pasar media massa dan penggabungan media terbesar dalam sejarah saat itu bernilai 340 juta dolar. … Di tahun 1987, 50 perusahaan mengecil menjadi menjadi 39 … Di tahun 199), 29 perusahaan menjadi 23. … Di tahun 1997, perusahaan besar tinggal sekitar 10 saja dan terlibat penggabungan perusahaan Disney dan ABC yang bernilai 19 milyar dolar, yang saat itu adalah transaksi bisnis terbesar dalam sejarah. .. Di tahun 2000, penggabungan AOL dan Time Warner bernilai 350 milyar dolar, yang berarti seribu kali lipat dari penggabungan yang terjadi di tahun 1983.”[2]

Media global didominasi oleh segelintir kelompok elit yang yang berpengaruh, yang sebagian besar berpusat di AS, dan bersifat transnasional. Terkonsentrasinya jumlah kepemilikan terhadap media menghasilkan sistem yang bekerja untuk mempromosikan pasar bebas global dan nilai-nilai komersialisasi. Sistem yang terbentuk ini adalah fenomena baru. Hingga tahun 1980an, media massa lebih bersifat nasional. Meskipun buku-buku, film, musik, dan acara TV selama puluhan tahun diimpor dari asing, sistem penyiaran dan surat kabar masih dikontrol, diatur dan dimiliki secara nasional.  Sejak tahun 1980an, IMF, Bank Dunia dan pemerintah AS mulai melakukan tekanan untuk mengurangi peraturan dan menswastakan sistem media dan komunikasi, seiring dengan kemajuan teknologi satelit dan digital yang melahirkan raksasa media transnasional.

Dua perusahaan media besar di dunia yaitu Time Warner dan Disney menghasilkan sekitar 15% dari pendapatan mereka berasal dari luar AS di tahun 1990. Di tahun 1997, angka ini melonjak hingga 30-35%. Kedua perusahaan ini memperkirakan akan melakukan mayoritas aktifitas bisnis di luar AS dalam satu dekade ke depan. Saat ini sistem media global dikuasai oleh peringkat atas dari 9 perusahaan besar. 5 perusahaan terbesar adalah: Time Warner; Disney; Bertelsmann; Viacom; News Corporation

Di samping memerlukan wilayah global untuk bersaing, raksasa media memilki dua strategi bisnis.
Pertama, melakukan ekspansi dan tumbuh secara besar sehingga mereka bisa menguasai pasar dan membuat rival mereka tidak mampu untuk membeli mereka. Contohnya, perusahaan seperti Disney dan Time Warner telah meningkatkan pertumbuhan mereka hingga tiga kali lipat dalam kurun waktu sepuluh tahun ini.

Kedua, melakukan perluasan variasi produk media seperti produksi film, penerbitan buku, musik, jaringan TV, toko ritel, taman hiburan, majalah, koran, dan lain-lain. Keuntungan yang diraih perusahaan media global sangatlah besar. Produksi film misalnya menghasilkan pendapatan dari produksi musik soundtrack, buku, barang-barang, dan acara TV, DVD, permainan video games, bahkan wahana permainan dalam taman hiburan yang kesemuanya merujuk kepada tema film tersebut. Perusahaan yang tidak mampu mengkonglomerasi berbagai bentuk media jelas tidak mampu berkompetisi lagi.

Media papan atas adalah TCI, perusahaan jaringan TV kabel AS yang juga menguasai pangsa media global di AS dan dunia. Tiga perusahaan lainnya adalah bagian dari industri korporasi yang lebih besar seperti General Electric, pemilik NBC; Sony, pemilik Columbia & Tri Star Pictures dan perusahaan perekaman musik; dan Seagram, pemilik Universal Film dan bisnis musik. Unit usaha media dari 4 perusahaan besar ini bernilai sekitar 6-9 trilyun dolar per tahun. Meski mereka tidak memiliki keberagaman media yang dimiliki 5 perusahaan papan atas, 4 perusahaan ini memiliki sistem distribusi dan produksi global yang mampu bersaing. Di samping itu, perusahaan seperti Sony dan General Electric memiliki potensi untuk melakukan transaksi bisnis secara cepat dan memperluas usahanya apabila mereka memang menginginkannya.

Di bawah mereka ada sekitar 3 atau 4 lusin perusahaan media yang beromzet sekitar 1-8 trilyun dolar per tahun dalam sektor bisnis media. Perusahaan ini biasanya kuat dalam skala nasional atau regional atau menfokuskan kepada tipe pasar tertentu. Sekitar separuh dari jumlah perusahaan tersebut berasal dari Amerika Utara seperti CBS, The New York Times, Hearst, Comcast, dan Gannett. Mayoritas dari sisanya berasal dari Eropa dan hanya sedikit saja dari Asia Timur dan Amerika Latin.

Mitos Kemandirian dan Liberalisme Media

Mayoritas produksi film, acara TV,  kepemilikan TV kabel, sistem satelit, penerbitan buku dan majalah serta surat kabar, produksi musik, kesemuanya dilakukan oleh sekitar 50an perusahaan — dimana 9 perusahaan terbesar mendominasinya. Dalam pandangan standar manapun, konsentrasi kekuatan media yang mengerucut membuatnya sangat berpengaruh.

Dalam skala internasional, tokoh media yang paling penting adalah Rupert Murdoch dan Ted Turner dan yang terkini adalah Conrad Black, pemilik Hollinger International. Rupert Murdoch yang memiliki News Corporation yang berpusat di AS, juga memiliki News International di Inggris. News Corporation adalah organisasi media terbesar saat ini dan memberikan pengaruh yang luarbiasa terhadap berbagai pemerintahan di dunia karena  memiliki potensi dana dan kemampuan penyebarluasan informasi.

News Corporation juga memiliki Fox News, Sun, Times (berpusat di Inggris), The News of the World dan British Sky Brodcasting (yang juga memiliki 26 saluran satelit, salah satu diantaranya yang terkenal adalah Sky News). Ia juga mengklaim 37% penjualan dari harian dan 39% dari edisi minggu dari total penjualan seluruh suratkabar.

Karena raksasa-raksasa media menghasilkan jumlah uang yang besar dan memiliki reputasi yang terkenal maka para pemerintah di seluruh dunia merasa berkepentingan untuk meraih dukungan mereka. Partai Buruh di Inggris menjalin hubungan yang baik dengan Rupert Murdoch. Salah satu anggota legislatif dari Partai Buruh berkata,” Motivasinya jelas: untuk menjadikan Pak Murdoch dan korannya berada di sisi kami. Nampaknya Perdana Menteri sedang selingkuh dengan Pak Murdoch.”[3]. Hal ini adalah contoh yang mencolok tentang hubungan yang intim antara media dan politisi.

Ini semua menunjukkan bahwa media dimiliki oleh segelintir saja perusahaan kapitalis. Peningkatan keuntungan sebanyak-banyaknya adalah tujuan utama dan dicapai dalam kerangka ideologi kapitalisme.

Banyaknya faktor yang menyatu ke dalam industri media global menyaring pandangan-pandangan dan opini yang berseberangan karena akan mengancam peningkatan keuntungan dari pemilik perusahaan media tersebut. Perusahaan media tentu saja adalah perusahaan yang mencari untung  dan dikuasai oleh individu yang kaya atau perusahaan lain yang lebih besar. Perusahaan media juga didanai oleh pengiklan yang juga merupakan bisnis pencari keuntungan dan tentu saja menginginkan agar iklan mereka bisa muncul di lingkungan yang mendukung. Industri media memerlukan Pemerintah dan kalangan bisnis sebagai sumber informasi. Bertemunya pertimbangan politik dan berbagai kepentingan menyebabkan tumbuhnya solidaritas yang tinggi diantara pemerintah, industri media, dan korporasi bisnis. Pemerintah dan perusahaan multinasional memiliki posisi penting dan dana untuk bisa menekan industri media dengan berbagai ancaman seperti penarikan iklan, perijinan penyiaran TV dan gugatan pengadilan.

Konglomerat media kapitalis memiliki kepentingan komersial dengan mencapai peningkatan jumlah pelanggan atau audiens. Salah satu cara yang ditempuh adalah dengan mentargetkan segmen tertentu dalam masyarakat. Contohnya, tabloid Inggris The Sun mengambil strategi penampilan berita yang sensasional, bernuansa ancaman, dan murahan sebagai topik utama yang bisa menarik perhatian publik Inggris.

Di AS, selama perang Iraq, penyaji berita menghabiskan waktu tidak lebih dari 38 detik untuk meliput kebijakan luar negeri AS dan lebih dari 6 menit untuk mendiskusikan perubahan cuaca dari total 30 menit penyiaran. Industri media AS sangat khawatir dengan penayangan gambar-gambar yang mengerikan dari medan pertempuran karena akan menyebabkan larinya pemasang iklan [4].

Meskipun ada variasi perbedaan pandangan politik dari berbagai editor dan penerbit, kesemuanya sepakat dalam mengadopsi pandangan hidup sekuler. Meskipun tanpa diragukan lagi ketidakseimbangan peliputan berita tentang Islam dan Muslim oleh industri media, mereka tidak bisa dikatakan secara umum bahwa mereka semua adalah ‘pembenci muslim’ dan ‘dikuasai oleh yahudi’. Hal yang justru penting untuk dikaji adalah memahami realitas kehidupan sekuler dan menganalisa akar asal muasal timbulnya kebencian yang terjadi.

Media Global dan Islam

Sangatlah penting untuk memahami landasan penopang media Barat dan akar penyebab kebencian terhadap Islam. Ini bisa dilihat dari peliputan media Barat terhadap Blok Komunis hingga  kejatuhannya di penghujung 1989. Sejak dimulainya Perang Dingin, media dan juga Pemerintahan Barat mengambil tindakan agresif melawan Blok Komunis. Ini terlihat dari histeria AS melalui kampanye McCarthyisme di awal 1950an dan obsesinya terhadap kasus Kuba dan Vietnam di awal 1960an.

Sumber kebencian ini berlandaskan kepentingan ideologis antara Komunisme dan Kapitalisme. Namun dengan jatuhnya Komunisme maka Islam kembali muncul di permukaan sebagai rival ideologi Barat. ‘The Red Menace is Gone. But Here’s Islam. the Green Menace,’ adalah judul artikel yang ditulis oleh Elaine Sciolino pada tanggal 21 January 1996 di harian New York Times.

Ahli politik AS ternama Samuel Huntington menyatakan bahwa Perang Dingin hanyalah suatu fakta sejarah yang ‘sekejap dan superfisial’, ketika disandingkan dengan perseteruan berabad-abad antara peradaban Barat menghadapi peradaban Islam. Sumber kebencian ini berasal dari Kapitalisme, yang memisahkan gereja dari negara (agama dari politik) yang menjadi pokok sekularisme. Dasar pemikiran ini tidak hanya menolak pengaturan kehidupan oleh tuntunan wahyu tetapi juga berjuang untuk mematikan setiap usaha yang terkait dengan penerapan wahyu. Maka, sekularisme menuntut agar agama dibatasi dalam ranah privat saja.

Islam, di lain pihak, sangat menentang ide seperti itu. Islam menuntut bahwa Syariah diterapkan tidak hanya di ranah privat tapi juga di lingkup publik. Sebagaimana argumentasi Francis Fukuyama,” Islam adalah ideologi yang sistematis dan koheren sebagaimana Liberalisme dan Komunisme, yang memiliki kode etik moralitas yang unik dan doktrin tersendiri tentang politik dan keadilan sosial.”

Dengan itu, Huntington berkesimpulan,” Selama Islam masih tetap sebagai Islam (insha Allah, –tambahan penulis) dan Barat masih tetap sebagai Barat (yang sangat diragukan — tambahan penulis), maka konflik antara dua peradaban dan pandangan hidup yang berbeda ini akan terus menentukan bentuk dan sifat hubungan di antara keduanya di masa depan…”[5]

Sumber pencitraan Islam yang negatif adalah bersifat Ideologis, karena tidak bisa dipungkiri bahwa prinsip dasar Islam berlawanan dengan Kapitalisme. Dengan demikian, bisa dipahami adanya jurnalis yang kritis terhadap Islam, yang sekedar mengikuti trend anti-islam, atau yang  bertindak sebagai oportunis. Tidak heran apabila produk jurnalisme yang ada terkesan tidak cerdas dan penuh dengan kebingungan. Tentu saja kita tidak perlu terkejut dengan adanya media yang anti-Islam.

Banyak sekali contoh bias media dalam peliputan berita, misalnya dalam pelaporan Revolusi  Berwarna yang terjadi di Asia Tengah. Di saat yang sama, sedikit sekali peliputan tentang peristiwa lain yang bisa membahayakan kepentingan Barat. Pembantaian yang terjadi di Andijan sedikit sekali diliput, karena AS dan Inggris memiliki kepentingan di Uzbekistan. Maka, tidak adanya peliputan atau peliputan yang berlebihan, keduanya adalah bagian dari manipulasi media.

Zionisme Invasi Israel di Gaza di tahun 2009 juga penuh dengan peliputan berita yang sangat bias dimana roket yang diluncurkan Hamas diberitakan dengan tidak imbang dibandingkan dengan pembantaian yang dilancarkan pasukan Israel. Banyak kalangan di Barat yang berempati dengan Israel, terutama kaum liberal dari generasi seusai Perang Dunia yang kini mengambil posisi di pemerintahan dan media. Ada juga kalangan lain yang bisa memahami sejarah perjuangan Israel, demokrasinya, standar kehidupannya yang tinggi, dan perannya sebagai tempat perlindungan bagi kaum diaspora yahudi yang tertindas selama berabad-abad.

Kalangan Kristen Kanan di AS dengan puluhan juta pengikut dan pendukung loyal terhadap Partai Republik, memiliki kekuatan media dan politik untuk mendukung Israel dan pimpinan Israel sayap kanan. Fakta seperti inilah yang membentuk opini di kalangan jurnalis ketika melaporkan peristiwa di Israel dan konflik apapun di sana. Ini sebabnya Israel mendapatkan peliputan yang bersifat mendukung. Pemerintah Israel mendapatkan banyak sekali kawan dalam industri media dan banyak warga Israel yang meraih posisi penting dalam media global akibat perjalanan sejarah Israel. Namun, korporasi media lah yang sebenarnya memiliki pengaruh terpenting dalam industri media global. Keberadaan opini di Barat yang secara umum memang lebih pro Israel, akan sangat tidak logis bagi korporasi media manapun untuk tidak mendukung Israel.

Ini semua menunjukkan bahwa tanpa adanya negara, akan sulit sekali untuk membentuk opini global. Israel telah menunjukkan bahwa populasi yang kecil tapi didukung oleh suatu negara ternyata mampu mencapai tujuan yang penting. Di lain pihak, raksasa media Barat dan jaringannya juga didukung oleh negara. Rupert Murdoch dan Ted Turner didukung oleh negara sekuler yang sangat berpengaruh. BBC, Sky dan CNN didukung oleh negara Kapitalis untuk menyebarluaskan ideologinya.Di sisi lain, media Islam tidak didukung oleh satu negara manapun.

Kesimpulan

Harus jelas bagi kita bahwa sumber kebencian media Barat terhadap Islam adalah bersifat ideologis. Media tidak dikontrol oleh Yahudi atau Kristen per se, tapi dia adalah bagian dari Ordo Sekuler, Kapitalis Liberal. Rezim Barat ini menyebarluaskan kepentingan penguasaan materi dan ideologi sekuler secara global. Apapun yang merintangi mereka, terutama Islam dan Muslim, akan dipersetankan dan dihilangkan martabat kemanusiaannya. Berbagai kelompok intelektual di dunia Barat bisa melihat bahwa ketika sebagian besar kelompok etnik/budaya bisa menerima peran global AS, ternyata dunia Islam lah yang justru mengindikasikan penolakan yang masih terlihat vokal. Maka tidak heran apabila ada individu yang kerap menyerang Islam dan ini juga menjadi sumber pencitraan negatif terhadap Islam dan muslim.

Secara global muslim harus benar-benar paham tentang Islam dan umat yang berdiam di Barat harus berani untuk menghadapi tantangan merepresentasikan Islam secara benar. Mereka harus, apabila dimungkinkan, untuk bekerja memiliki media mereka sendiri sehingga muslim dengan berbagai latarbelakang dan keahlian mampu untuk bersatu membela Islam.

Perlu juga diingat bahwa media yang kuat hanya bisa dibangun ketika masyarakat yang berideologis bernaung dibawah panji negara. Khilafah adalah solusi komprehensif untuk menjawab kebohongan media yang dikuasai oleh kaum Kapitalis. (rusydan; www.khilafah.com)
[1] Katharine Graham, pemilik Washington Post, berbicara di hadapan markas CIA Langley, Virginia di tahun 1988, sebagaimana dikutip oleh majalah Regardie’s, Januari, 1990.
Kutipan David McGowan, dalam bukunya Derailing Democracy, (Common Courage Press, 2000), h.109.

[2] Ben H. Bagdikian, The Media Monopoly, Edisi ke-6, (Beacon Press, 2000),

[3] Time, 28 Februari 2005

[4] Guardian, 28 April 1998

[5] Samuel Huntingdon, ‘The Clash of Civilisations and the remaking of the world order’

3 comments

  1. abu zaid kamal

    Saatnya khilafah Memimpin dunia

  2. Memang sulit cari media yang objektif dan independen, dlm menyiarkan informasi..
    Tapi, fakta tsb jadi pelajaran bwt kita spy lebih cerdas mencerna informasi.
    Bwt media2 Islam, Moga2 bisa mengimbangi media2 yang ada. spy lbh byk umat cerdas …

  3. muhammadirwandi

    Assalamu’alaikum
    ini memang fakta yang harus kita terima. salah satu titik paling lemah dakwah islam dewasa ini adalah kita belum memiliki broadcast/ stasiun televisi sendiri yang independent hingga kita mampu menyampaikan pesan secara sempurna dan ummat dapat memiliki pilihan informasi yang sehat dan menguatkan iman.
    semoga ini juga jadi bagian dari strategi dakwah rekan-rekan di Hizbuttahrir Indonesia ini.
    Wassalam

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*