Oleh : Adil Nugroho (Pemerhati Sosial Politik)
Genap sudah 1 tahun kasus pembunuhan Siyono terjadi. Mengingatkan kepada kita tampilan penanganan di hampir setiap dugaan terorisme. Paling baru adalah statemen dari Wakapolri bahwa terduga teroris terbanyak dari latar veteran Afghanistan. Pernyataan ini se-mainstream dengan cara pandang AS terhadap para Mujahidin sebagai teroris dalam pusaran Global War On Terorrism. Sebuah patron proyek perang yang dikomandani oleh AS dengan pendekatan The War System. Dan Indonesia sesungguhnya menggunakan The Criminal Justice System. Dalam sistem ini setiap terduga teroris mestinya tidak disudahi langsung melainkan harus diadili dalam proses persidangan yang jujur dan adil. Secara faktual banyak kasus penanganan dugaan terorisme lebih terkesan sebagai justifikasi dan publikasi kasus dengan menggunakan hasil investigasi dan narasi tunggal dari Polri.
Dan jika kita jeli melihat detil persoalan terorisme maka kesan menonjol yang dirasakan oleh publik adalah kuatnya opini yang dibentuk. Implikasi dari opini tersebut adalah kesan terorisme sebagai ancaman internasional sekaligus ancaman nasional. Meski sebenarnya sama-sama berstatus extra ordinary crime namun korupsi lebih bernuansa konflik kepentingan antar elit penguasa/politik dengan mempengaruhi psikologi massa. Sebaliknya terorisme lebih terkesan sebagai warning terhadap rakyat yang direpresentasikan terhadap orang atau kelompok agar searah dengan kepentingan para penguasa status quo. Dalam kerangka ini maka penguasa dalam konteks War on Terrorism (WOT) akan mencoba melakukan berbagai cara berikut organ-organ negaranya. Bahkan menghimpun tokoh personal maupun kelompok untuk meraih sukses penanganan WOT.
Termasuk dukungan internasional sebagaimana yang ditunjukkan oleh apresiasi the Kingdom of Saudi Arabia (KSA) melalui kunjungan Raja Salman. Apresiasi dan info bantuan untuk keluarga Densus 88 serta penyerahan secara simbolik kenang-kenangan dari KSA melalui Menhannya kepada Tito Karnavian adalah salah satunya. Sementara secara psikologi massa di tingkat publik masyarakat muslim utamanya semakin dihantui oleh perasaan mencekam dan perasaan curiga yang teramat terhadap setiap perilaku dugaan terorisme. Betapa bom panci Bandung telah mampu membawa kesan publik begitu menakutkannya ancaman terorisme lebih daripada ancaman sistemik korupsi, narkoba, dan lain lain dalam bingkai neo liberalisme semua bidang.
Sementara di sisi lain umat islam disibukkan dengan bahaya paham takfiri Wahaby dan paham Komunisme hingga tidak menyadari begitu bahayanya ketergantungan ekonomi melalui pintu investasi yang diperkuat oleh kerangka perundang-undangan sebagai legitimasi. Mengurai dan merajut darimana dan bagaimana seharusnya penanganan terorisme disikapi menjadi sebuah pertanyaan dengan jawaban yang jujur dan adil. Ironisnya kejujuran dan keadilan hakiki itu tidak bisa direferensi dari produk aturan manusia yang penuh vested interest. Seberapapun hebatnya pembahasan tentang substansi revisi UU Terorisme tidak akan mampu membuat rumusan yang jelas tentang terorisme sebenarnya.
Diantara tidak jujur dan tidak adilnya pembahasan terorisme adalah tidak beraninya istilah terorrism state sebagai numlecatuur yang diadopsi. Padahal jika kita obyektif melihat sebab-sebab terjadinya terorisme faktor terbesarnya karena kesenjangan kebijakan negara baik di tingkat global maupun domestik. Harusnya ada koreksi sistemik terkait dengan sumber referensi kebijakan negara yang menimbulkan berbagai problem menggurita di berbagai negara terutama negeri-negeri muslim. Dipaksakannya paham negara Demokrasi dan intervensi politik oleh negara-negara besar di bawah komando AS dalam konteks Global War on Terrorism (GWOT) di berbagai negeri muslim tidakkah dilihat sebagai biang persoalan sengkarut dunia internasional. Penegasan Bush “bersama Amerika melawan terorisme” atau “bersama terorisme berhadapan dengan Amerika” nampaknya masih digunakan sebagai prinsip polugri yang diikuti berbagai negara. Termasuk Indonesia. Di sinilah letak dominasi persepsi tentang rumusan terorisme, siapa dan apa bentuk serta bagaimana cara penanganannya dijadikan sandaran. Hanya Amerika yang berhak menentukan rumusannya. Dan negeri-negeri yang lain mengikuti kerangka arahannya. Parahnya di tingkat domestik kerangka arahan itu telah menjadi sebuah bisnis nyawa yang diperebutkan oleh antar elit. Benar-benar biadab.
Apalagi upaya menyengaja WOT ditarik ke dalam sebuah rumusan penuh dengan prejudice. Hingga terkesan rendahnya apresiasi terhadap munculnya wacana alternatif solusi di tengah persoalan yang mendera. Seperti halnya indikator-indikator teroris dengan simpulan-simpulan tendensius. Bercita cita untuk merealisasikan khilafah state menolak nation state, berjenggot, menjadikan AS sebagai common enemy dan lain-lain adalah kerangka intelektual penuh dengan nuansa pemaksaan intelektualitas. Rakyat dipaksa agar mau tidak mau meyakini dan mengikuti dogma Demokrasi, toleransi, kebebasan dalam berbagai hal. Itu semua dianggap sebagai jembatan terealisasinya kesetaraan.
Perlu kesadaran yang mendasar dan menyeluruh untuk memahami bagaimana seharusnya realitas terorisme. Bukan dilihat dalam kacamata kepentingan barat dan timur atau asing dan aseng yang penuh kebencian terhadap islam dan umatnya. Melainkan sebuah kesadaran yang bebas dari dikte sebagai seorang muslim. Kesadaran itu harusnya mendorong semua kaum muslimin dari berbagai kalangan untuk menyadari sepenuhnya bahwa Islamlah sumber referensi melihat terorisme secara jujur dan adil yang hakiki. Islam yang menjadi ideologi pilihan hidup yang memuat ajaran syariah dan khilafah. Allahu a’lam bis showab.[]