Apakah Q.S. al-Maidah: 51 sudah tidak relevan untuk saat ini? Apakah pemimpin non-Muslim dihalalkan bagi kaum Muslim? Ini pertanyaan yang mengemuka akhir-akhir ini. Jawabannya sebenarnya sudah jelas. Bagi orang yang mengimani al-Qur’an, atau masih menyebut dirinya Muslim, tidak akan mengatakan, bahwa al-Qur’an itu tidak relevan. Terlebih, ketika ayat-ayat al-Qur’an tersebut hukumnya tidak dinasakh.
Dengan begitu, hukum tersebut berlaku di mana pun dan sampai kapan pun. Jika logika ini digunakan, maka jawaban untuk pertanyaan kedua juga sudah jelas. Memilih, menjadikan dan mengangkat pemimpin non-Muslim jelas tidak dihalalkan bagi orang Islam. Mengenai penjelasan tentang point ini sudah banyak dijelaskan. Karena itu, tulisan ini hanya fokus menjelaskan point pertama, “Apakah Q.s. al-Maidah: 51 sudah tidak relevan untuk saat ini?”
Konsekuensi Keimanan kepada Islam
Islam adalah agama yang lengkap, sempurna dan tidak ada yang kurang. Begitulah, Allah SWT menyatakan dalam kitab suci-Nya:
اَلْيَوْمَ يَئِسَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِن دِينِكُمْ فَلَا تَخْشَوْهُمْ وَاخْشَوْنِ ۚ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
“Pada hari ini orang-orang Kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Q.s. al-Maidah: 03]
Karena itu, apapun yang telah disyariatkan di dalam kitab-Nya, atau melalui lisan Rasul-Nya, baik dalam masalah akidah, ibadah, pemerintahan, ekonomi, politik, sosial, pendidikan, budaya, sanksi hukum, juga akhlak, semuanya wajib diyakini sebagai syariat-Nya, dan diterapkan di tengah-tengah kehidupan secara kaffah.
Karena itu, bagi orang Islam yang mengimani kelengkapan dan kesempurnaan syariat Islam, tidak boleh memilih-milih hukum Allah. Begitulah, Allah SWT berfirman:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا مُّبِينًا
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang Mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang Mukmin, jika Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata..” [Q.s. al-Ahzab: 36]
Bahkan, jika sampai pada menerima sebagian, dan menolak sebagian, atau dengan kata lain, “Ayat ini relevan”, dan “Ayat ini tidak relevan”, maka status orang Islam tersebut bisa dinyatakan murtad dari Islam. Begitulah, Allah SWT menegaskan:
أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ ۚ فَمَا جَزَاءُ مَن يَفْعَلُ ذَٰلِكَ مِنكُمْ إِلَّا خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا ۖ وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَىٰ أَشَدِّ الْعَذَابِ ۗ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ
“Apakah kamu beriman kepada sebahagian al-Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” [Q.s. al-Baqarah: 85]
Berdasarkan ayat ini, Abu Bakar as-Shiddiq radhiya-Llahu ‘anhum ketika menjadi Khalifah, terpaksa harus menyatakan perang kepada orang-orang yang menolak membayar zakat, meski mereka masih mengerjakan shalat. Ketika ditanya oleh ‘Umar, jawaban Abu Bakar jelas dan tegas, “Kami tidak akan membiarkan orang yang memisahkan antara hukum shalat dengan zakat.”
Karena itu, Imam ‘Abd al-Qahir al-Baghdadi, dalam kitabnya al-Farq Bain al-Firaq, dengan tegas menyatakan:
وَالصَّحِيح عندنَا ان اسْم مِلَّة الاسلام وَاقع على كل من أقرّ بحدوث الْعَالم وتوحيد صانعه وَقدمه وانه عَادل حَكِيم مَعَ نفى التَّشْبِيه والتعطيل عَنهُ وَأقر مَعَ ذَلِك بنبوة جَمِيع انبيائه وبصحة نبوة مُحَمَّد صلى الله عَلَيْهِ وَسلم ورسالته الى الكافة وبتأبيد شَرِيعَته وَبِأَن كل مَا جَاءَ بِهِ حق وَبِأَن الْقُرْآن منبع احكام شَرِيعَته وبوجوب الصَّلَوَات الْخمس الى الْكَعْبَة وبوجوب الزَّكَاة وَصَوْم رَمَضَان وَحج الْبَيْت على الْجُمْلَة فَكل من أقرّ بذلك فَهُوَ دَاخل فِي اهل مِلَّة الاسلام.
“Yang benar menurut kami, bahwa nama agama Islam disematkan kepada setiap orang yang mengakui alam ini baru, mengesakan penciptanya, bahwa Dia Maha Dahulu, Maha Adil dan Bijaksana, dengan menolak menyerupakan-Nya (dengan yang lain), serta menolak sifat-sifat-Nya. Selain itu, dia mengakui kenabian semua Nabi, juga keabsahan kenabian dan kerasulan Muhammad Shalla-Llahu ‘alaihi wa Sallama, kepada seluruh umat manusia, juga syariatnya berlaku sepanjang masa. Meyakini, bahwa apa yang baginda bawa adalah haq, dan al-Qur’an adalah sumber hukum syariat-Nya. Meyakini kewajiban shalat lima waktu ke Ka’bah, kewajiban zakat, puasa Ramadhan, haji ke Baitullah secara keseluruhan. Siapa saja yang mengakuinya, maka dia termasuk pemeluk agama Islam.”
Beliau melanjutkan:
وَينظر فِيهِ بعد ذَلِك فان لم يخلط ايمانه ببدعة شنعاء تُؤَدّى الى الْكفْر فَهُوَ الموحد السنى وان ضم الى ذَلِك بِدعَة شنعاء نظر فان كَانَ على بِدعَة الباطنية اَوْ البيانية أَو المغيرية أَو المنصورية أَو الجناحية أَو السبابية أَو الخطابية من الرافضة أَو كَانَ على دين الحلولية أَو على دين اصحاب التناسخ أَو على دين الميمونية أَو اليزيدية من الْخَوَارِج أَو على دين الحايطية أَو الحمارية من الْقَدَرِيَّة أَو كَانَ مِمَّن يحرم شَيْئا مِمَّا نَص الْقُرْآن على إِبَاحَته باسمه أَو أَبَاحَ مَا حرم الْقُرْآن باسمه فَلَيْسَ هُوَ من جملَة امة الاسلام.
“Setelah itu, harus dilihat terlebih dahulu: Jika keimanannya tidak bercampur dengan bid’ah yang buruk, yang mengantarkannya pada kekufuran, maka dia termasuk Ahli Tauhid dan Sunni. Tetapi, jika (keimanannya) bercampur dengan bid’ah yang buruk, maka harus dilihat dulu: Jika dia mengikuti bid’ah Bathiniyyah, Bayaniyyah, Mughiriyyah, Manshuriyyah, Janahiyah, Sababiyah dan Khathabiyah dari kalangan Syiah Rafidhah, atau mengikuti agama Khululiyah, atau agama para pengikut Reinkarnasi, atau agama Maimunah, dan Yazidiyah dari kalangan Khawarij, atau agama Hayithiyah dan Himyariyah dari kalangan Qadariyah, atau orang yang mengharamkan sesuatu yang dinyatakan mubah oleh al-Qur’an dengan namanya, atau memubahkan apa yang diharamkan oleh al-Qur’an dengan namanya, maka dia tidak termasuk umat Islam.”
Inilah konsekuensi keimanan yang harus dilaksanakan, dan diterima, jika menyalahi apa yang seharusnya dipegang erat oleh seorang Muslim.
Konsekuensi Lain
Jika ucapan orang yang mengatakan, bahwa Q.s. al-Maidah: 51 tidak lagi relevan, karena alasan konteks ayat itu adalah konteks peperangan, sedangkan sekarang tidak, maka sama saja dengan membatasi apa yang tidak dibatasi oleh Allah SWT. Padahal, kaidah ushulnya mengatakan:
اَلْعُمُوْمُ يَبْقَى بِعُمُوْمِهِ مَا لَمْ يَرِدْ دَلِيْلُ التَّخْصِيْصِ
“Keumuman konteksnya tetap berlaku berdasarkan keumumannya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.”
Karena itu, mengkhususkan apa yang tidak dikhususkan oleh Allah dan Rasul-Nya jelas keliru. Itu jika konteks pernyataan tersebut karena alasan perang dan tidak.
Tetapi, jika konteks pernyataan tersebut karena penolakan terhadap syariat Islam, khususnya terkait dengan kepemimpinan non-Muslim, maka pernyataan tersebut sama dengan menganggap:
- Allah SWT tidak Maha Tahu, sehingga hukum yang diturunkan 14 abad yang lalu, tidak lagi relevan untuk konteks kekinian. Jika demikian, maka pernyataan tersebut sama dengan mengingkari ke-Maha Tahu-an Allah SWT. Allah SWT berfirman:
أَلاَ يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيْفُ الْخَبِيْرُ
“Apakah (pantas), Allah menciptakan itu tidak mengetahui? Dia Maha Lembut dan Maha Mengetahui.” [Q.s. al-Mulk: 14]
- Agama dan syariat Islam ini kurang, sehingga membutuhkan penyempurnaan. Ini juga merupakan bentuk pengingkaran terhadap firman Allah SWT:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا ۚ
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” [Q.s. al-Maidah: 03]
- Umat manusia saat ini membutuhkan Nabi dan Rasul baru, yang menjelaskan syariat bagi mereka yang relevan dengan zaman dan tempat mereka. Ini juga sama dengan mengingkari kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw. sebagai Nabi dan Rasul terakhir:
وَلَكِنْ رَسُوْلُ اللهِ وَخَاتَمَ النَّبِيِّيْنَ
“Tetapi, dia adalah Rasulullah dan penutup para Nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu..” [Q.s. al-Ahzab: 40].
Peringatan Nabi
Karena itu, Rasulullah saw. 14 abad yang lalu dengan tegas dan keras telah mengeluarkan peringatan kepada umatnya:
أَهْلَكَ أُمَّتِيْ رَجَلاَنِ عَالِمٌ مُتَهَتِّكٌ وَجَاهِلٌ مُتَنَسِّكٌ
“Ada dua orang yang celaka di antara umatku: orang berilmu yang melakukan perbuatan tanpa mengindahkan kehormatannya, dan orang bodoh yang suka beribadah.” [Hr. al-Mawardi, dalam Tashil an-Nadhri wa Ta’jil ad-Dhafr fi Akhlaq al-Mulk, hal. 97].
Dalam riwayat lain, Nabi saw. bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِيْ مُنَافِقٌ عَلِيْمُ اللِّسَانِ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan akan menimpa umatku, adalah adanya orang Munafik, yang lisannya seperti orang berilmu.” [Hr. al-Mawardi, dalam Tashil an-Nadhri wa Ta’jil ad-Dhafr fi Akhlaq al-Mulk, hal. 97].
Dalam hadits Hudzaifah al-Yaman dituturkan:
كان الناس يسألون رسول الله ﷺ عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني فقلت يا رسول الله إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر قال نعم قلت وهل بعد ذلك الشر من خير قال نعم وفيه دخن قلت وما دخنه قال قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر قلت فهل بعد ذلك الخير من شر قال نعم دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها قلت يا رسول الله صفهم لنا قال هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا قلت فما تأمرني إن أدركني ذلك قال تلزم جماعة المسلمين وإمامهم قلت فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام قال فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك
“Ketika itu orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw. tentang kebaikan, tetapi aku bertanya kepada baginda tentang keburukan, karena khawatir keburukan itu akan menimpaku. Aku bertanya, “Ya Rasulullah, ketika kami hidup di zaman Jahiliyah dan keburukan, maka Allah telah mendatangkan kebaikan ini kepada kami. Apakah setelah kebaikan ini akan ada keburukan lagi?” Baginda menjawab, “Iya.” [Hudzaifah bertanya] “Apakah setelah keburukan ini ada kebaikan lagi?” Baginda menjawab, “Iya. Di dalamnya ada kabutnya.” Aku bertanya, “Apa kabutnya?” Baginda menjawab, “Kaum yang berpegang tidak dengan petunjukku. Kamu tahu mereka, dan kamu mengingkarinya.” Aku bertanya, “Apakah setelah kebaikan itu ada lagi keburukan?” Baginda menjawab, “Iya, mereka adalah para penyeru di atas neraka Jahannam. Siapa saja yang memenuhi seruan mereka, mereka akan ceburkan ke neraka Jahanam.” Aku bertanya, “Mohon jelaskan sifat mereka kepada kami, ya Rasulullah.” Baginda bersabda, “Mereka kulitnya sama dengan kita, berbicara dengan bahasa kita.” Aku bertanya, “Apa Engkau titahkan kepada kami, jika itu kami jumpai.” Baginda menjawab, “Terikatlah dengan jamaah kaum Muslim dan imam mereka.” Aku bertanya lagi, “Jika mereka tidak lagi mempunyai jamaah dan imam?” Baginda menjawab, “Tinggalkanlah semua kelompok itu, meski kamu harus menggigit akar pohon dengan gigi gerahammu, hingga kematian menjemputmu, dan Engkau tetap seperti itu.” [Hr. Bukhari]
Inilah peringatan Nabi saw. dan peringatan ini benar-benar terjadi hari ini. Karena itu, solusinya sebagaimana dalam hadits Hudzaifah al-Yaman tadi, menjauhi para penyeru yang menyerukan kita masuk neraka Jahannam. Mereka hebat, karena kulitnya sama dengan kita, yaitu sama-sama Muslim, atau satu suku dan bangsa. Mereka juga menggunakan bahasa, istilah bahkan nash-nash yang sama. Tetapi, di balik semua itu tujuannya busuk, untuk menjerumuskan kita ke neraka Jahannam.
Maka, tidak boleh mengikuti mereka. Tidak boleh mengikuti kelompok mereka. Pada saat yang sama, diperintahkan mengikuti kelompok yang tetap berpegang teguh kepada al-haq, yang berjuang demi kemuliaan Islam dan kaum Muslim. Kelompok yang berjuang mengembalikan kehidupan Islam secara kaffah dalam kehidupan.
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan akan menimpa umatku, adalah adanya orang Munafik, yang lisannya seperti orang berilmu.” [Hr. al-Mawardi, dalam Tashil an-Nadhri wa Ta’jil ad-Dhafr fi Akhlaq al-Mulk, hal. 97].