Soal: Seperti diketahui, Al-Liwa’ dan ar-Rayah yang digunakan oleh Nabi saw. dan para sahabat ra. adalah bendera dan panji yang bertuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad Rasûlullâh”. Bagaimana status bendera dan panji tersebut. Bagaimana pula seharusnya sikap kaum Muslim dalam memperlakukan bendera tersebut?Jawab:
Al-Liwa’ dan ar-Rayah, dari aspek bahasa, masing-masing digunakan untuk konotasi bendera dan panji. Al-Liwa’, dalam kamus Al-Muhîth, diambil dari kata lawiya. Al-Liwâ’—dengan dipanjangkan waw-nya—adalah bendera. Jamaknya: Alwiyah. Adapun ar-Rayah diambil dari kata rawiya: Ar-Rayah adalah bendera. Bentuk jamaknya: rayat.1
Ibn Hajar al-Asqalani menjelaskan:
اللِّوَاءُ بِكَسْرِ اللَّامِ وَالْمَدِّ هِيَ الرَّايَةُ وَيُسَمَّى أَيْضًا الْعَلَمُ وَكَانَ الْأَصْلُ أَنْ يُمْسِكَهَا رَئِيسُ الْجَيْشِ ثُمَّ صَارَتْ تُحْمَلُ عَلَى رَأْسِهِ. وَقَالَ أَبُو بَكْرِ بْنُ الْعَرَبِيِّ اللِّوَاءُ غَيْرُ الرَّايَةِ فَاللِّوَاءُ مَا يُعْقَدُ فِي طَرَفِ الرُّمْحِ وَيُلْوَى عَلَيْهِ. وَالرَّايَةُ مَا يُعْقَدُ فِيهِ وَيُتْرَكُ حَتَّى تَصْفِقَهُ الرِّيَاحُ وَقِيلَ اللِّوَاءُ دُونَ الرَّايَةِ وَقِيلَ اللِّوَاءُ الْعَلَمُ الضَّخْمُ وَالْعَلَمُ عَلَامَةٌ لِمَحِلِّ الْأَمِيرِ يَدُورُ مَعَهُ حَيْثُ دَارَ.
Al-Liwa’, dengan dikasrah huruf Lam-nya dan dipanjangkan huruf Waw-nya, adalah rayah; juga disebut bendera (‘alam). Bendera ini asalnya dipegang oleh panglima tentara dan diemban di atas kepalanya. Abu Bakar bin al-‘Arabi mengatakan, Al-Liwa’ berbeda dengan ar-Rayah. Al-Liwa’ dipasang di ujung tombak dan meliuk-liuk. Adapun ar-Rayah, panji yang dipasang di ujung tombak, dan dibiarkan ditiup angin. Ada yang mengatakan, al-Liwa’ berbeda dengan ar-Rayah. Ada yang mengatakan, al-Liwa’ adalah bendera yang besar. Bendera adalah tanda posisi panglima, dan mengikuti ke mana pun ia berada.”2
At-Tirmidzi menjelaskan perbedaan al-Liwa’ dengan ar-Rayah:
فَتَرْجَمَ بِالْأَلْوِيَةِ وَأَوْرَدَ حَدِيثِ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم دَخَلَ مَكَّةَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ ثُمَّ تَرْجَمَ لِلرَّايَاتِ وَأَوْرَدَ حَدِيثَ الْبَرَاءِ أَنَّ رَايَةَ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَتْ سَوْدَاءَ مُرَبَّعَةً من نمرة وَحَدِيث بن عَبَّاسٍ كَانَتْ رَايَتُهُ سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ.
Beliau menjelaskan al-Liwa’ dan mengemukakan hadis Jabir, bahwa Rasulullah saw. telah memasuki Makkah, dan al-Liwa’-nya berwarna putih. Beliau kemudian menjelaskan ar-Rayah, dan mengemukakan hadis al-Barra’, bahwa panji Rasulullah saw. berwarna hitam persegi empat, terbuat dari kain wol; juga hadis Ibn ‘Abbas yang menyatakan bahwa ar-Rayah beliau berwarna hitam, sedangkan Liwa’-nya berwarna putih (HR at-Tirmidzi dan Ibn Majah).
Al-Liwa’ berwarna putih, bertuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” dengan tulisan berwarna hitam. Bendera ini diserahkan kepada panglima atau komandan pasukan, sekaligus menandai keberadaannya. Ia dibawa ke mana pun posisi panglima atau komandan pasukan tersebut berada. Ketika Nabi saw. memasuki Kota Makkah, bendera Nabi saw. berwarna putih.3 Begitu juga ketika Nabi saw. mengangkat Usamah bin Zaid sebagai panglima untuk menyerang Romawi, Nabi saw. menyerahkan bendera berwarna putih melalui tangannya.4
Adapun ar-Rayah berwarna hitam, bertuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” dengan tulisan berwarna putih. Panji ini bersama para komandan regu, pleton, kompi, batalion, brigade, resimen, divisi dan detasemen. Dalilnya, Rasulullah saw. yang ketika itu menjadi panglima Perang Khaibar bersabda:
لَأُعْطِيَنَّ الرَّايَةَ غَدًا رَجُلاً يُحِبُّ اللهَ وَرَسُوْلَهُ، وَيُحِبُّهُ اللهُ وَرَسُوْلُهُ، فَأَعْطَاهَا عَلِيًّا
“Sungguh, besok aku akan memberikan panji ini kepada orang yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya.” Beliau pun memberikan panji itu kepada Ali (HR al-Bukhari dan Muslim).
Posisi Ali ra. ketika itu adalah sebagai komandan regu, pleton, kompi, batalion, brigade, resimen, divisi, atau detasemen dalam Perang Khaibar yang dipimpin oleh Nabi saw. Ini dikuatkan oleh riwayat lain, dari al-Hisan al-Bakri, yang berkata: Kami tiba di Madinah. Ketika itu Rasulullah sedang di atas mimbar, sementara Bilal berdiri di depan beliau dengan memanggul pedang, persis di depan beliau dengan panji-panji berwarna hitam. Aku pun bertanya, “Ini panji-panji apa?” Mereka menjawab, “Amru bin al-‘Ash baru tiba dari peperangan.”
Ini menjelaskan, bahwa panji hitam yang bertuliskan, “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” tersebut jumlahnya banyak, sementara panglimanya hanya satu, yaitu Amr bin al-‘Ash.
Ini pun membuktikan bahwa ar-Rayah (panji) berwarna hitam ini dipegang oleh komandan regu, pleton, kompi, batalion, brigade, resimen, divisi, atau detasemen.
Adapun al-Liwa’ (bendera) dipegang oleh panglima pasukan. Ini dalam konteks peperangan. Dalam konteks damai, atau setelah berakhirnya peperangan, panji-panji berwarna hitam “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” dengan tulisan berwarna putih itu disebar kepada pasukan; yang dikibarkan di atas regu, pleton, kompi, batalion, brigade, resimen, divisi, atau detasemen. Ini sebagaimana dalam hadis Hisan bin al-Bakari tentang pasukan Amr bin al-‘Ash di atas.
Karena Khalifah adalah panglima tertinggi, al-Liwa’ (bendera) berwarna putih, yang betuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” dengan tulisan berwarna hitam itu bisa dikibarkan di Kantor Khilafah. Pasalnya, dialah kepala negara, sekaligus panglima tertinggi, yang bukan hanya simbolik, tetapi riil. Adapun badan dan lembaga pemerintahan dan negara hanya boleh mengibarkan ar-Rayah (panji), bukan al-Liwa’ (bendera). Alasannya, karena bendera putih ini khusus untuk panglima tentara, yang sekaligus menandai tempat dan kedudukannya.
Jadi, badan dan lembaga pemerintahan dan negara, bahkan rakyat secara umum boleh membawa dan mengibarkan ar-Rayah (panji) berwarna hitam di gedung-gedung dan rumah-rumah mereka, terutama pada momen-momen Hari Raya, kemenangan dan sebagainya.
Bendera ini, baik ar-Rayah yang berwarna hitam maupun al-Liwa’ yang berwarna putih, sama-sama bertuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” di atasnya. Pasalnya, bendera ini bukan sekadar bendera, tetapi merupakan identitas Islam, kaum Muslim dan negaranya. Bahkan untuk mempertahankan bendera ini, Ja’far bin Abi Thalib sanggup mengorbankan apapun yang dia miliki hingga gugur sebagai syahid saat Perang Mu’tah.
Sebagai identitas Islam, kaum Muslim, dan negaranya, bendera ini tidak hanya dikibarkan dan dijaga, tetapi juga dihormati. Bendera ini tidak boleh dinjak, dijadikan bantal, dibawa atau diletakkan di tempat-tempat yang identik dengan penghinaan; seperti dibawa ke kamar mandi, dijadikan serbet, keset dan sejenisnya. Dasarnya adalah tindakan Nabi saw.:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم كَانَ إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَ خَاتِمَهُ، وَفِي لَفْظٍ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَبِسَ خَاتِماً نَقَشَهُ: مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ، فَكاَنَ إِذَا دَخَلَ الْخَلاَءَ وَضَعَهُ.
“Sungguh Rasulullah saw., ketika memasuki kamar mandi, meletakkan cincinya.” Dalam redaksi yang lain dinyatakan, “Rasulullah saw. telah memakai cincin yang diukur dengan kalimat: Muhammad RasululLâh. Jika masuk kamar mandi, beliau selalu melepasnya.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Meski tentang status hadis ini banyak pendapat, sebagian ulama menyatakan hadis ini sahih, atau hasan, seperti at-Tirmidzi dan al-Hakim. Mereka yang melemahkan riwayat ini tidak mengatakan hukumnya makruh, tetapi lebih baik apa saja yang terdapat Asma Allah di dalamnya, dijauhkan dari tempat-tempat yang kotor, sesuai dengan kemampuan untuk mengagungkan Allah, serta menjaga kesantunan terhadap Asma-Nya yang agung.
Penarikan kesimpulan mengenai larangan menginjak, menjadikan bantal, membawa, atau meletakkan bendera yang bertuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” di tempat-tempat yang identik dengan penghinaan, berdasarkan hadis di atas, karena faktanya sama-sama mengandung lafzh al-Jalâlah yang terdapat di atasnya. Karena itu, apapun sikap dan tindakan yang dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk menghinakan bendera yang bertuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” tersebut jelas tidak boleh.
Bentuk penghinaan yang dilarang tidak saja dalam bentuk verbal, dengan menempatkan di tempat yang identik dengan penghinaan, tetapi juga penghinaan dalam bentuk non-verbal; seperti menyatakan bahwa bendera tersebut bendera teroris, bahkan dikriminalisasi. Ini juga merupakan bagian dari sikap dan tindakan penghinaan, yang tidak dibolehkan.
Sebaliknya, sebagai identitas Islam, kaum Muslim dan negaranya, bendera ini seharusnya dihormati sebagaimana mestinya. Dalam hal ini, penghormatan terhadap bendera ini tidak bisa dikategorikan sebagai pengkultusan (pensucian), tetapi sekadar menampakkan penghormatan saja. Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menyatakan:
تَحِيَّةُ الْعَلَمِ لَيْسَتْ تَقْدِيْسًا بَلْ هِيَ اِظْهَارُ الاِحْتِرَامِ فَقَطْ وَهِيَ جَائِزَةٌ .
Menghormati bendera tidak identik dengan pengkultusan, tetapi sekadar menampakkan penghormatan saja. Itu boleh.
WalLâhu a’lam. [KH. Hafidz Abdurrahman]
Catatan kaki:
- Lihat, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, Dar al-Ummah, Beirut, cet. I, 1426 H/2005 M, hlm. 169.
- Lihat: Ibn Hajar al-Asqalani, Fath al-Bari, VI/126.
- HR Ibn Majah dari Jabir bin ‘Abdillah.
- HR an-Nasa’i dari Anas bin Malik.