[Al-Islam no. 851, 10 Rajab 1438 H – 7 April 2017 M]
Tentu penting untuk mengenalkan kembali panji Rasul saw, yakni al-Liwa’ dan ar-Rayah. Pasalnya, saat ini masih banyak Muslim tidak mengenal panji Rasulnya sendiri, yakni panji tauhid.
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Ashqalani di dalam Fathu al-Barî (vi/126) menyebutkan: Al-Liwa’ adalah rayah; juga disebut ‘alam (bendera). Bendera ini asalnya dipegang oleh panglima tentara dan diemban di atas kepalanya. Abu Bakar bin al-‘Arabi mengatakan, al-Liwa’ berbeda dengan ar-Rayah. Al-Liwa’ dipasang di ujung tombak dan dililitkan. Adapun ar-Rayah dipasang di ujung tombak dan dibiarkan ditiup angin. Ada yang mengatakan, al-Liwa’ berbeda dengan ar-Rayah. Ada yang mengatakan, al-Liwa’ adalah bendera besar, tanda posisi panglima dan mengikuti ke mana pun ia berada.
Imam at-Tirmidzi cenderung membedakan ar-Rayah dengan al-Liwa’. Saat menjelaskan al-Liwa’, beliau mengemukakan hadis dari Jabir ra., bahwa Rasulullah saw. telah memasuki Makkah dan al-Liwa’-nya berwarna putih. Saat menjelaskan ar-Rayah, beliau mengemukakan hadis dari al-Barra’ ra., bahwa Rayah (Panji) Rasulullah saw. berwarna hitam persegi empat, terbuat dari kain wol; juga hadis Ibn ‘Abbas yang menyatakan bahwa Rayah beliau berwarna hitam, sedangkan Liwa’ beliau berwarna putih.
Rayah dan Liwa’ Rasul saw.
Rayah dan Liwa’ Rasul saw. digambarkan secara detil dalam banyak hadis, baik warnanya, bentuknya maupun tulisannya. Tentang warnanya, hadis-hadis sahih dengan jelas menyebutkan bahwa Liwa’ Rasul saw. berwarna putih dan Rayah beliau berwarna hitam. Ibnu ‘Abbas ra. menuturkan:
«كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللَّهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- سَوْدَاءَ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضَ»
Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’ beliau berwarna putih (HR at-Tirmidzi, al-Baihaqi, ath-Thabarani dan Abu Ya’la).
Jabir bin Abdullah ra. juga menuturkan:
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- دَخَلَ مَكَّةَ يَوْمَ الْفَتْحِ وَلِوَاؤُهُ أَبْيَضُ
Nabi saw. memasuki Makkah pada hari Fathu Makkah dan Liwa’ beliau berwarna putih (HR at-Tirmidzi, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ibnu Hibban).
Bentuk Rayah dan Liwa’ Nabi saw. itu persegi empat. Al-Barra’ bin ‘Azib ra. menuturkan:
أَنَّ رَايَة رَسُول اللَّه صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَتْ سَوْدَاء مُرَبَّعَة مِنْ نَمِرَة
Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam, persegi empat, terbuat dari kain wol Namirah (HR at-Tirmidzi, an-Nasai dan al-Baghawi).
Pada Rayah dan Liwa’ Rasulullah saw. tertulis kalimat tauhid Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh, sebagaimana hadis penuturuan Ibnu Abbas ra.:
كَانَتْ رَايَةُ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سَوْدَاءَ وَلِوَاءُهُ أَبْيَضَ مَكْتُوْبٌ فِيْهِ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ مُحَمَّدٌ رَسُوْلُ اللهِ
Rayah Rasulullah saw. berwarna hitam dan Liwa’ beliau berwarna putih; tertulis di situ lâ ilâha illa AlLâh Muhammad RasûlulLâh (HR Abu Syaikh al-Ashbahani dalam Akhlâq an-Nabiy saw).
Makna Panji Rasulullah saw.
Liwa’ dan Rayah Rasul saw. merupakan kemuliaan bagi pemegangnya. Saat Perang Khaibar, misalnya, para sahabat termasuk Umar bin al-Khaththab amat berharap mendapatkan kemuliaan diberi mandat memimpin detasemen dengan diserahi ar-Rayah oleh Rasul saw. Namun, Ali bin Abi Thaliblah yang akhirnya mendapat kemuliaan itu. Rasulullah saw. menyerahkan ar-Rayah dalam berbagai peperangan kepada panglima pasukan kaum Muslim. Di antaranya, dalam Perang Mu’tah, Rasul saw. menyerahkan ar-Rayah kepada Zaid bin Haritsah. Jika ia syahid, ia digantikan oleh Ja’far bin Abi Thalib. Jika Ja’far syahid, ia digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Yang terakhir diserahi ar-Rayah adalah Usamah bin Zaid sebagai panglima pasukan untuk melawan Romawi.
Rayah Rasul saw. itu merupakan panji tauhid dan menjadi lambang eksistensi kaum Muslim dalam peperangan. Para sahabat pun mempertahankan ar-Rayah dengan taruhan nyawa agar ar-Rayah itu tidak jatuh. Dalam Perang Uhud, Mush’ab bin Umair mempertahankan ar-Rayah yang ia pegang hingga kedua lengan beliau putus tertebas oleh musuh, namun beliau masih terus mendekap Rayah itu dengan sisa kedua lengannya hingga akhirnya ia syahid. Rayah itu lalu dipegang oleh Abu ar-Rum bin Harmalah dan ia pertahankan hingga tiba di Madinah.
Namun, makna Rayah dan Liwa’ Rasul saw itu bukan terbatas dalam peperangan saja, apalagi berhenti sekadar simbol. Keduanya mengekspresikan makna-makna mendalam yang lahir dari ajaran Islam. Liwa’ dan Rayah Rasulullah saw. merupakan lambang akidah Islam. Pada al-Liwa` dan ar-Rayah tertulis kalimat tauhid: Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh. Kalimat inilah yang membedakan Islam dan kekufuran, yang menyelamatkan manusia di dunia dan akhirat.
Maka dari itu, sebagai simbol syahadat, panji tersebut akan dikibarkan oleh Rasulullah saw. kelak pada Hari Kiamat. Panji ini disebut sebagai Liwa` al-Hamdi. Rasulullah saw. bersabda:
«أَنَا سَيِّدُ وَلَدِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ فَخْرَ وَبِيَدِى لِوَاءُ الْحَمْدِ وَلاَ فَخْرَ وَمَا مِنْ نَبِىٍّ يَوْمَئِذٍ آدَمُ فَمَنْ سِوَاهُ إِلاَّ تَحْتَ لِوَائِى…»
Aku adalah pemimpin anak Adam pada Hari Kiamat dan tidak ada kesombongan. Di tanganku ada Liwa` al-Hamdi dan tidak ada kesombongan. Tidak ada nabi pada hari itu Adam dan yang lainnya kecuali di bawah Liwa’-ku (HR at-Tirmidzi).
Liwa’ dan Rayah Rasul saw. juga merupakan pemersatu umat Islam. Kalimat tauhid Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh adalah kalimat yang mempersatukan umat Islam sebagai satu kesatuan tanpa melihat lagi keragaman bahasa, warna kulit, suku, bangsa ataupun mazhab dan paham yang ada di tengah umat Islam.
Imam Abdul Hayyi Al-Kattani menjelaskan rahasia bahwa jika suatu kaum berhimpun di bawah satu panji/bendera, itu berarti panji/bendera itu menjadi tanda kesatuan pendapat mereka (ijtimâ’i kalimatihim) dan persatuan hati mereka (ittihâdi qulûbihim). Dengan demikian mereka bagaikan satu tubuh (ka al-jasad al-wâhid) (Abdul Hayyi al-Kattani, Nizhâm al-Hukûmah an-Nabawiyyah [At-Tarâtib al-Idâriyyah], I/266).
Liwa’ dan Rayah Rasul saw. itu bisa dimaknai sebagai identitas Islam dan kaum Muslim. Pasalnya, Liwa’ dan Rayah Rasululah saw. ini tidak hanya dikibarkan dan dijaga, tetapi juga dihormati. Rayah Nabi saw. itu tidak boleh diinjak, dijadikan bantal, dibawa atau diletakkan di tempat-tempat yang identik dengan penghinaan; seperti dibawa ke kamar mandi, dijadikan serbet, keset dan sejenisnya. Dalilnya bahwa “Rasulullah saw. memakai cincin yang diukir dengan kalimat: Muhammad RasululLâh. Jika masuk kamar mandi, beliau selalu melepas cincin itu.” (HR Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, al-Baihaqi dan al-Hakim).
Faktanya, pada Liwa’ dan Rayah Rasul saw. sama-sama tertulis lafzh al-Jalâlah. Karena itu apapun sikap dan tindakan yang bertujuan untuk menghinakan al-Liwa’ atau ar-Rayah yang bertuliskan “Lâ ilâha illalLâh Muhammad RasûlulLâh” jelas dilarang.
Bentuk penghinaan yang dilarang tidak hanya dalam bentuk verbal, dengan menempatkan di tempat yang identik dengan penghinaan, tetapi juga penghinaan dalam bentuk non-verbal; seperti menyatakan bahwa bendera tersebut bendera teroris, bahkan dikriminalisasi.
Tentu aneh sekali jika penghinaan dan pelecehan itu datang dari seorang Muslim. Bagaimana mungkin seorang Muslim melecehkan panji Tauhid, padahal kalimat tauhid itulah yang akan menyelamatkan dia di akhirat kelak dari siksa neraka? Bagaimana mungkin seorang Muslim, yang mengaku menjadi pengikut Nabi saw., yang di akhirat berharap mendapat syafaat beliau, justru membenci dan merendahkan panji Rasulullah saw? Bagaimana mungkin seorang Muslim yang berdoa agar di akhirat dinaungi di bawah Liwa’ al-Hamdi Rasul saw. justru memusuhi panji itu saat di dunia?
Memang ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasul saw. juga menyerahkan Rayah berwarna kuning atau merah. Dari situlah hukum kebolehan menggunakan panji lain bersamaan dengan al-Liwa’ dan ar-Rayah. Namun loyalitas dan penghormatan terhadap panji lain itu tidak boleh melebihi loyalitas dan penghormatan kepada Liwa’ dan Rayah Rasul saw. Alasannya, jika seperti itu maka penggunaan panji lain itu sudah termasuk dalam seruan ‘ashabiyah jahiliyah, yang dilarang tegas oleh Rasul saw., sebagaimana sabdanya:
«…وَمَنْ قَاتَلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِعَصَبَةٍ أَوْ يَدْعُو إِلَى عَصَبَةٍ أَوْ يَنْصُرُ عَصَبَةً فَقُتِلَ فَقِتْلَةٌ جَاهِلِيَّةٌ …»
Siapa yang berperang di bawah panji ‘ummiyyah (kesesatan), marah karena ‘ashabiyah, menyerukan ‘ashabiyah atau membela ‘ashabiyah, lalu terbunuh, maka ia mati jahiliah (HR Muslim, an-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).
Penisbatan al-Liwâ’ dan ar-Râyah dalam hadis dan atsar kepada Rasul saw. menegaskan Liwa’ dan Rayah itu merupakan syiar Islam. Apalagi kalimat tauhid yang menjadi ciri khas keduanya merupakan kalimat pemisah antara iman dan kekufuran. Kalimat ini menyatukan kaum Muslim dalam ikatan yang hakiki, yakni ikatan akidah Islam. Karena itu Liwa’ dan Rayah Rasul saw. itu harus diagungkan dan dijunjung tinggi, menggantikan syiar-syiar jahiliah yang menceraiberaikan kaum Muslim dalam sekat-sekat ‘ashabiyah. Allah SWT berfirman:
﴿ذلِكَ وَمَن يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى الْقُلُوبِ ﴾
Demikianlah (perintah Allah). Siapa saja yang mengagungkan syiar-syiar Allah, sungguh itu timbul dari ketakwaan kalbu (TQS al-Hajj [22]: 32).
Syaikh an-Nawawi al-Bantani (w. 1316 H), menjelaskan ayat tersebut, bahwa di antara sifat terpuji yang melekat pada orang yang bertakwa adalah mengagungkan syiar- syiar Allah, yakni syiar-syiar Dîn-Nya (an-Nawawi al-Bantani, Syarh Sullam at-Tawfiq, hlm. 103, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Jakarta, 1431 H).
Alhasil, seperti dinyatakan oleh Imam Muhammad asy-Syaibani dalam As-Siyar al-Kabîr dan oleh Imam as-Sarakhsi dalam Syarhu as-Siyar al-Kabîr, Liwa’ kaum Muslim selayaknya berwarna putih dan Rayah mereka berwarna hitam sebagai bentuk peneladanan kepada Rasul saw. Umat Islam juga seharusnya menjunjung tinggi dan menghormati Liwa’ dan Rayah Rasul saw. itu serta berjuang bersama untuk mengembalikan kemulian keduanya sebagai panji tauhid, identias Islam dan kaum Muslim sekaligus pemersatu mereka. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []