Hasil pemeriksaaan dengan tujuan tertentu atas penerapan kontrak karya Freeport tahun anggaran 2013 hingga 2015 menemukan enam pelanggaran lingkungan.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menemukan adanya potensi kerugian negara akibat operasional PT Freeport Indonesia di Papua sebesar Rp 185,58 triliun. Penyebabnya adalah sejumlah pelanggaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan asal Amerika Serikat itu.
Temuan ini dituangkan BPK dalam hasil pemeriksaaan dengan tujuan tertentu atas penerapan kontrak karya Freeport Indonesia tahun anggaran 2013 hingga 2015. Dari dokumen yang diterima Katadata, BPK menemukan setidaknya enam pelanggaran lingkungan.
Pelanggaran pertama adalah penggunaan tanpa izin kawasan hutan lindung dalam kegiatan operasional pertambangan Freeport seluas minimal 4.535,93 hektare. Alkibatnya, negara berpotensi merugi sekitar Rp 270 miliar.
Potensi kerugian tersebut muncul karena Freeport tidak memiliki izin sejak 2008 hingga 2015 sehingga negara kehilangan potensi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Hal ini mengacu pada terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2008 tentang jenis dan tarif atas jenis PNBP yang berasal dari penggunaan kawasan hutan.
Pelanggaran kedua adalah terdapat kelebihan pencairan jaminan reklamasi Freeport sebesar US$ 1,43 juta atau Rp 19,4 miliar sesuai kurs tengah Bank Indonesia per 25 Mei 2016. Berdasarkan penghitungan ulang BPK, dana tersebut seharusnya masih ditempatkan pada Pemerintah Indonesia.
Dalam penghitungan ulang itu, BPK menemukan adanya penghitungan tim pengawas Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) yang tidak konsisten dan hasil penilaian yang tidak akurat. Selain itu, ada ketidaksesuaian antara laporan reklamasi dan kenyataan di lapangan.
Analisis sistem informasi geografis menunjukkan pelaksanaan reklamasi beberapa blok yang tumpang tindih. Selain itu, sistem penilaian dari Tim Direktorat Jenderal Minerba Kementerian ESDM juga tidak memadai.
Ketiga, Freeport belum menyerahkan kewajiban penempatan dana pasca tambang kepada Pemerintah Indonesia untuk periode 2016. Nilainya sebesar US$ 22,286 juta atau sekitar Rp 293 miliar.
Keempat, penyebab potensi kerugian negara paling besar adalah dampak pembuangan limbah operasional penambangan (tailing) di sungai, hutan, estuary, dan ada yang telah mencapai kawasan laut. Nilainya mencapai Rp 185 triliun.
Namun, mengenai pencemaran lingkungan ini, pada 17 April 2012 Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Mimika dan Freeport Indonesia menandatangani perjanjian partisipasi pembangunan berkelanjutan untuk sistem pengelolaan tailing. Dalam kerja sama itu, Freeport memberikan dana sekitar Rp 343,13 miliar untuk dua daerah tersebut.
Dari jumlah tersebut, Kabupaten Mimika mendapatkan Rp 155 miliar, sementara Provinsi Papua sebesar Rp 187 miliar. “Dana partisipasi itu merupakan indikasi PT Freeport Indonesia menyadari adanya dampak lingkungan terhadap ekosistem akibat pembuangan tailing,” tulis BPK dalam laporan hasil pemeriksaannya, Kamis (27/4).
Kelima, BPK juga menemukan kegiatan operasional pertambangan Deep Mill Level Zone (DMLZ) serta memperpanjang tanggul barat dan timur dilakukan tanpa izin lingkungan. DMLZ merupakan salah satu tambang bawah tanah milik Freeport.
BPK mencatat, analisis dampak lingkungan (Amdal) yang dimiliki Freeport sejak 1997 tidak mencakup adanya DMLZ. Artinya, kawasan tambang bawah tanah itu di luar lingkup dari Amdal yang telah dikantongi Freeport.
Hingga kini, Freeport dinyatakan masih mengurus addendum Amdal. Dalam laporan triwulanan Freeport kepada Dirjen Minerba ESDM, disebutkan bawa pada triwulan IV 2015, tambang bawah tanah DMLZ masih dalam proses persiapan produksi dan dalam tahap pengembangan.
Meski belum mendapat izin Amdal, induk usaha Freeport Indoenesia yakni Freeport McMoRan Inc telah menyatakan memulai produksi dari cebakan bijih DMLZ pada September 2015 dengan menggunakan metode block cave. Hal ini tertuang dalam laporan form 10-K per 31 Desember 2015 yang ditujukan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa (Securities and Exchange Commission) Amerika Serikat.
Atas dasar itu, BPK menilai Freeport melanggar dua ketentuan pemerintah yang tertuang dalam UU Nomor 32 Tahun 2009. Salah satunya Pasal 40 yang menyebutkan bahwa dalam hal usaha atau kegiatan mengalami perubahan, penanggung jawab usaha dan atau kegiatan wajib memperbarui izin lingkungan.
Pelanggaran keenam, pemeriksaan BPK menemukan pengawasan Kementerian ESDM dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) atas pengelolaan lingkungan Freeport belum dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku. BPK menilai kedua kementerian tersebut belum optimal mengawasi dan memantau atas amblesan permukaan akibat tambang bawah tanah Freeport.
Menanggapi hasil pemeriksaan BPK tersebut, Juru Bicara Freeport Indonesia Riza Pratama mengatakan potensi dampak kegiatan pertambangan dan pengelolaannya di Freeport telah dijabarkan dalam dokumen Rencana Pengelolaan lingkungan (RKL) dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL). Kedua dokumen rencana itu dirancang untuk meminimumkan dampak negatif dan memaksimumkan dampak positif.
“Dengan demikian pelaksanaan RKL dan RPL akan membantu mempertahankan keberlanjutan proses dan fungsi lingkungan hidup serta produktivtas, keselamatan, dan mutu lingkungan hidup,” kata Riza kepada Katadata, Kamis (27/4). (katadata.co.id, 27/4/2017)